Minggu, 08 Februari 2009

SUMBER-SUMBER SEJARAH ISLAM DI ACEH

Oleh: Drs. Rusdi Sufi


I
Semua kejadian atau peristiwa masa lampau telah berlalu. Peristiwa-peristiwa yang menyangkut dengan proses Islamisasi seperti yang pernah terjadi di Aceh tidak dapat dijumpai lagi dan tidak mungkin diulang kembali. Kita yang hidup masa sekarang tidak dapat menyaksikan dan mengamati lagi secara langsung semua kejadian yang menyangkut proses Islamisasi tersebut. Namun demikian apa yang kita anggap telah berlalu itu tidak seluruhnya lenyap. Kita mungkin masih dapat menyaksikan kegiatan-kegiatan atau kepingan-kepingan tertentu dari peristiwa yang berhubungan dengan masalah Islamisasi itu meskipun tidak secara lengkap atau utuh.
Bagian-bagian dari peristiwa masa lampau yang telah lenyap itu masih dapat sampai pada kita, yaitu melalui jejak-jejak yang ditinggalkan dari peristiwa yang bersangkutan. Adanya apa yang disebut jejak sebagai peninggalan masa lampau itu sangat tergantung keadaan. Dengan kata lain jejak itu tidak selalu ada. Seperti diketahui, makin jauh ke belakang jejak ini semakin ter-batas. Hal ini disebabkan selain karena aus atau hilang ditelan masa juga karena ulah manusia, baik disengaja maupun tidak disengaja.
Kesadaran manusia akan perlunya jejak-jejak masa lampau itu adalah bagian dari kesadaran bahwa yang lampau itu tidak sama dengan sekarang. Bahkan yang lampau menjadi beda dengan sekarang oleh faktor waktu. Karena seungguhnya masa sekarang merupakan perpanjangan dari masa lampau. Tidak ada masa lampau, maka tidak ada masa sekarang. Pandangan yang demikian itu disebut kesadaran waktu yang dapat ber- kembang menjadi kesadaran sejarah.1 Dengan demikian semakin tinggi kesadaran orang akan sejarahnya semakin cenderung untuk menjaga, melestarikan, dan menghimpun jejak-jejak masa lampau, khususnya yang dianggap penting.
Jejak masa lampau itu biasanya disebut dengan istilah sumber sejarah. Karena jejak itu merupakan sumber informasi untuk kepentingan membuat sejarah sebagai kisah atau cerita. Demikian pentingnya sumber sejarah itu untuk memberikan informasi/keterangan tentang masa lampau hingga ada yang mengatakan bahwa tidak ada sumber tidak ada sejarah, yang orang Inggris menyebutnya no documents no history. Di dalam sumber sejarah ini kita tidak saja mendapatkan informasi tentang masa lampau, tetapi juga ada yang berupa evidensi (bukti) dari kejadian masa lampau. Oleh karena jejak sejarah merupakan sumber sejarah yang esensial, maka tugas seorang sejarawan pada tahap permulaan dalam usahanya untuk membuat sejarah sebagai kisah ialah mencari sumber dan mengumpulkan sumber sejarah itu sendiri.
Mengingat peristiwa sejarah seperti Islamisasi di Aceh terdiri atas banyak aspek yang menyangkut berbagai aktivitas manusia seperti politik, ekonomi, sosial, agama, kebudayaan, dan sebagainya, maka jejak sejarah atau sumber sejarah yang ditinggalkan juga banyak ragam. Oleh karenanya untuk memudahkan kita melacak sumber sejarah perlu dibuat klasifikasi atau penggolongan. Secara sederhana disini saya mengklasifikasikannya dalam dua kelompok. Pertama sumber yang material dan kedua yang non material. Yang dimaksud dengan sumber material adalah semua jejak hasil aktivitas manusia yang berwujud baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Sedangkan sumber yang non material yaitu yang tidak berwujud, tidak dapat dilihat dan diraba, hanya dapat diketahui karena terdapat dan berlaku dalam suatu masyarakat seperti tradisi/adat istiadat, norma-norma, legenda, bahasa, dan sebagainya.
Mengingat relevansi antara penulisan sejarah Islam dengan sumber-sumber sejarah Islam di Aceh, maka yang saya anggap paling esensial untuk diutarakan di sini yaitu sumber yang material. Telah disinggung di atas bahwa sumber material ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis. Adapun yang dimaksud sumber tertulis, yaitu apa saja warisan masa lampau yang ditinggalkan manusia dalam bentuk tulisan, yang dapat memberikan keterangan atau informasi tentang masa lampau itu sendiri. Sementara sumber tidak tertulis yaitu, semua benda yang merupakan warisan budaya masa lampau yang dapat memberi informasi kepada kita, dimana pada benda itu tidak terdapat tulisan.
II
Dari karya-karya sejarah (sumber sejarah) kita dapat mengetahui bahwa di wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Propinsi Daerah Istimewa Aceh pernah ada kerajaan yang bercorak Islam seperti Pasai, Perlak, Pedir, Daya, dan Aceh Darussalam. Kerajaan-kerajaan ini telah mewariskan jejak-jejak atau sumber-sumber sejarah yang sangat berguna untuk merekonstruksi hal-hal yang berhubungan dengan sejarah Islam di Aceh. Sumber-sumber sejarah tersebut ada yang tertulis dan tidak tertulis. Diantara sumber tertulis yang paling penting adalah yang sekarang disebut naskah kuno2 yang merupakan khazanah hasil budaya masyarakat Aceh tempo dulu yang Islami. Naskah ini berupa tulisan tangan yang ditulis di atas kertas. Ia adalah karya para intelektual Islam, baik ulama, ilmuwan, maupun pujangga. Jumlahnya relatif/tidak terhitung sehingga tidak berlebih-lebihan bila salah seorang pakar ilmu sosial asal Perancis Henry Chambert Loir yang pernah meneliti naskah di Aceh mengatakan bahwa Aceh adalah gudang naskah di Nusantara. Naskah ini sampai sekarang masih tersebar di tengah masyarakat Aceh. Di samping itu ada yang sudah simpan pada lembaga-lembaga resmi milik pemerintah dan swasta seperti di Pusat Dokumentasi dan Informasi (PDIA) Banda Aceh, Museum Negeri Aceh, Perpustakaan dan Museum Ali Hasjmy dan Perpusatakaan Tanoh Abe.
Ia ditulis dengan huruf Arab dalam bahasa Melayu/Jawi, bahasa Aceh, dan bahasa Arab. Dari hasil kajian yang dilakukan, baik oleh orang Indonesia maupun asing untuk kepentingan ilmu pengetahuan, dapat diketahui bahwa naskah tersebut berisi tentang banyak hal. Ada yang mengenai ilmu agama, ilmu pengetahuan dan teknologi, sejarah, sastra, hikayat, dan sebagianya. Dengan demikian jelas bahwa naskah merupakan salah satu sumber sejarah Islam yang sangat esensial di Aceh. Ia merupakan khazanah hasil budaya masyarakat Aceh atau mereka yang menetap di Aceh, dimana di dalamnya memuat berbagai informasi tentang aktivitas manusia di Aceh pada masa lampau.
Jejak atau sumber sejarah lain yang berasal dari kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam tersebut yaitu batu nisan/makam, yang juga penting untuk mengungkapkan sejarah Islam di Aceh. Batu nisan ini pun tidak terkira jumlahnya, tersebar di seluruh pelosok Aceh. Bahkan ada juga di beberapa tempat di luar wilayah Aceh. Di Malaysia malah diistilahkan dengan batu Aceh . Bentuk nisan ini beragam,3 ada yang memiliki tulisan/epigrafi dan ada yang tidak. Perhatian para pakar dan peminat untuk meneliti batu nisan Aceh ini sudah dimulai sejak zaman kolonial. Pada tahun 1906 di bawah pimpinan J.J. de Vink petugas bidang kepurbakalaan pemerintah Hindia Belanda, melakukan penelitian ter-hadap makam-makam kuno di kecamatan Samudera (Aceh Utara) dan pada makam Kandang XII di Kuta Raja (Banda Aceh).4 Hasilnya untuk penulisan sejarah Islam di Aceh sungguh menggembirakan. Misalnya yang dilakukan oleh C. Snouck Hurgronje pada bekas kerajaan Pasai (makam Ratu Nahrasiyah). Hasil telaahannya tentang makam ini kemudian dikemukakan sebagai orasi ilmiah pada tanggal 23 Januari 1907 dalam rangka Dies Natalis Universitas Leiden.5 Demikian pula yang dilakukan oleh J.P. Moquette juga pada bekas kerajaan Pasai dan kerajaan Aceh Darussalam. Pada kedua tempat ini J.P.Moquette berhasil menelusuri kronologi raja-raja atau sultan-sultan yang pernah memerintah di kedua kerajaan tersebut. Hal ini didasarkan atas bukti-bukti epigrafi yang ada pada nisan-nisan/makam raja-raja Pasai dan nisan raja-raja Aceh yang ter-dapat pada kompleks Kandang XII. Berdasarkan hasil bacaannya yang kemudian dibandingkan dengan beberapa sumber lokal (naskah hikayat raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu), J.P.Moquette berkesimpulan bahwa nama Sultan as-Saleh yang tertera di salah satu nisan di bekas kerajaan Pasai itu merupakan Sultan pertama dan pendiri kerajaan tertua bercorak Islam di Indonesia.6 Pada makam Kandang XII, J.P.Moquette berhasil pula membaca sejumlah nama sultan yang memerintah di kerajaan Aceh Darussalam, seperti Sultan Ali Mughayat Syah, Sultan Salahuddin, Sultan Alaiddin Al-Kahar, Sultan Ali Riayat Syah dan Sultan Yusuf. Sayang, penelitian tentang nisan-nisan ini semenjak tahun 1922 tidak dilakukan lagi oleh pemerintah Kolonial Belanda.7 Padahal masih cukup banyak nisan yang merupakan warisan budaya Islam ini belum terungkap.
Baru sesudah kemerdekaan pemerintah mulai menaruh perhatian lagi terhadap sumber sejarah ini. Misalnya selama Pelita I dan Pelita II, Bidang Permuseum Sejarah dan Kepurbakalaan, telah melakukan inventarisasi terhadap warisan budaya ini, dan lebih dari 200 buah komplek makam ini berhasil diinventarisir. Dalam upaya mengkaji nisan-nisan Aceh ini, kita perlu angkat salut kepada Bapak Prof.Dr. Hasan Muarif Ambary yang telah mencurahkan banyak perhatian untuk mengungkapkannya. Di antaranya bagian dari desertasinya yang ditulis dalam bahasa Perancis pada tahun 1984. Selain itu juga kepada DR. Othman bin Yatim dari Malaysia yang menulis disertasi tentang Batu Aceh. Demikian pula Haji Syukri Daud dan Bustami Aji yang telah berhasil membaca epigrafi pada tiga buah batu nisan di komplek makam Tuan di Kandang kampung Pande Banda Aceh sehingga sedikit banyak telah mulai terungkap perkembangan Islam di Aceh Besar pada periode-periode awal.
Perlu kita ketahui bahwa batu nisan Aceh merupakan salah satu bukti tentang kehebatan budaya Aceh pada masa lampau, yang hingga kini masih banyak tersebar dalam masyarakat. Ada yang terpelihara/terurus dan ada yang tidak. Berdasarkan kenyataan sekarang, masyarakat awam banyak yang tidak mengerti makna yang terkandung dari warisan budaya tersebut. Hal ini bukan tidak mungkin di suatu saat batu nisan ini akan punah ditelan masa. Sehingga akan hilang pula jejak sejarah tersebut sebagai suatu bukti untuk penulisan sejarah Islam di Aceh.
Jejak lain yang dapat di-jadikan sebagai sumber penulisan sejarah Islam di Aceh yaitu bangunan-bangunan lama. Sayang kita di Aceh tidak memiliki istana/kraton, hanya tinggal nama saja atau (komplek kraton). Namun masih tersisa sebuah monumen yang disebut Gunongan, yang konon dibangun pada masa kejayaan Aceh Darussalam. Bangunan ini tentunya dapat dijadikan bukti tentang kehebatan kerajaan Aceh pada masa jayanya. Pengkajian terhadapnya pernah dilakukan oleh8 R.A. Hoesein Djayadiningrat pada tahun 1914/1915. Selain itu, masih terdapat pula bangunan lainnya untuk masjid-masjid kuno, seperti Masjid Raya Baiturrahman,9 yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Masjid Indrapuri, Masjid kampung Jawa, Masjid Montasik, Masjid Leupung, Masjid Bueracan Meureudu, Masjid Peukan Bada, dan sebagainya. Pada masjid-masjid ini tercermin adanya persentuhan budaya Islam dan budaya tempatan (lokal). Misalnya pada sejumlah masjid ter-sebut dijumpai arsitektur yang bercorak tradisional.
Selanjutnya sumber sejarah lain yang dapat menginformasikan tentang Islam di Aceh yaitu mata uang.10 Dari penelitian yang pernah dilakukan oleh para pakar asing dapat diketahui bahwa di bekas kerajaan Pasai, Pedir, dan Aceh Darussalam terdapat jenis-jenis mata uang yang dikeluarkan sendiri oleh Sultan-sultan/Sultanah-sultanah yang memerintah di kerajaan-kerajaan tersebut. Mata uang ini ada yang dibuat dari emas yang disebut deureuham dan yang dibuat dari timah disebut keuh. T. Ibrahim Alfian yang merupakan satu-satunya sarjana Indonesia di luar penulis asing telah mengkaji pula tentang mata uang emas di kerajaan-kerajaan Aceh. Dari hasil kajiannya ia mengatakan bahwa mata uang emas yang pernah diketemukan di bekas kerajaan Pasai adalah mata uang emas deureuham tertua.11 Mata uang emas ini pertama dikeluarkan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malikul Zahir (1297-1326), putra Sultan Malik as Saleh. Selain itu, T. Ibrahim Alfian juga menyebutkan bahwa mata uang emas ini kemudian ditiru oleh kerajaan Aceh Darussalam dan oleh para pedagang Pasai yang pergi ke Malaka mem-perkenalkan pula sistem penempaan mata uang emas ini kapada penduduk Malaka.12 Berdasarkan penelitiannya terhadap mata uang emas ini T. Ibrahim Alfian dapat merekonstruksi secara kronologis sultan-sultan yang memerintah di kerajaan Pasai dan kerajaan Aceh Darussalam.
Deureuham dan keuh hingga sekarang masih terdapat dalam masyarakat, khususnya pada lokasi bekas kerajaan Pasai, Pedir, dan Aceh Darussalam. Tidak jarang oleh mereka yang menemukan deureuham ini menjual ke toko emas dan kemudian diantaranya ada yang dileburkan. Begitu pula dengan keuh, banyak sekali yang dilebur untuk dijadikan timah. Hal yang demikian ini tentunya sangat disayangkan, karena bukan tidak mungkin jejak-jejak masa lampau yang sangat berguna untuk penulisan sejarah Islam di Aceh akan punah.
Sebenarnya ada beberapa sumber sejarah Islam lainnya yaitu berupa sumber material, yang masih terdapat dalam mayarakat Aceh. Misalnya berjenis ragam hias, per-hiasan, jenis-jenis senjata, tenunan, peralatan rumah tangga dan sebagainya. Namun diantara sejumlah sumber sejarah Islam di Aceh yang khas, unik dan penting untuk di-kemukakan di sini, yaitu yang telah disebutkan di atas.
III
Sejarah selalu ditulis kembali sesuai dengan jiwa zaman. Setiap generasi berhak menulis dan mengintepretasikan sendiri masa lampaunya. Suatu kenyataan bahwa sejarah terus ditulis orang, di semua peradaban dan disepanjang waktu.13 Karena sejarah itu memang perlu diketahui oleh manusia. Demikian pula misalnya dengan sejarah Aceh, khususnya sejarah Islam di Aceh.
Mengingat demikian pentingnya sumber-sumber sejarah Islam yang masih tersebar dalam masyarakat yang dapat dijadikan bahan guna penulisan kembali sejarah Islam di Aceh oleh generasi yang akan datang maka sumber-sumber tersebut harus di-selamatkan, jangan sampai suatu saat ada yang mengatakan tidak ada sumber tidak ada sejarah, no documents, no history. Maka untuk kepentingan ini perlu adanya penanganan terpadu dan serius dari lembaga-lembaga terkait disamping menumbuhkembangkan ke-sadaran masyarakat untuk ikut bertanggung jawab atas sumber-sumber sejarah yang amat penting tersebut

Catatan Akhir
1Mengenai kesadaran sejarah masyarakat Aceh dapat dilihat dalam Rusdi Sufi, Tingkat Kesadaran Sejarah Siswa SMTA dan Masyarakat di Kodya Banda Aceh, Jakarta: PPKPS, Direktorat Jarahnitra, Depdikbud, 1986
2Di antara mereka yang telah mengkaji naskah Aceh ini untuk kepentingan penulisan ilmiah, misalnya H.K.J Cowan, De Invloed Van Den Landbouw op De Zeden De Taal en Letterkunde Der Atjehers. Teuku Iskandar, De Hikajat Atjeh. G.W.J. Drewes, Hikajat Kisah Oelat, Hikajat Ealia Toedjoeh dan Hikajat Prang Sabi. Syed M. Naguib Al Attas, De Mysticism of Hamzah Fansuri, Ahmad Daudi, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry. Imran T.A., Adat Meukuta Alam, T. Ibrahim Alfian, Kronika Pasai, dan Adnan Hanafiah, Hikayat Nun Parisi.
3Mengenai bentuk-bentuk batu nisan Aceh ini dapat dilihat dalam Hasan Muarif Ambary, Persebaran Kebudayaan Aceh Di Indonesia melalui Peninggalan Arkeologi Khususnya Batu-batu Nisan, Jakarta: 1987.

4Lihat dalam 50 Tahun Lembaga Purbakala Dan Peninggalan Nasional 1913-1963, Jakarta: Proyek Pelita PKN Depdikbud, 1977, hal. 110.

5Tiechelman, "Een Marmeren Paralgraf te Koeta Kareung", Cultureel Indie, 1940, hal 106-211.

6J.P. Moquette, "De Oudste Vorsten Van Samudra Pase", Rapporten Van de Comminisie in Nederlandsch-Indie Voor Oudheidkundig Onderzock, 1913, hal. 1-12.

7Lihat dalam J. Kreemer, Atjeh, Deel I, Leiden, E.J. Brill, 1922, hal 49-57.

8Hoesein Djajadiningrat, "De Stichting Van het Goenongan Geheeten Monument te Koetaradja", TBG, No. 57, 1916, hal 561-576.

9Asal usul masjid telah diteliti oleh J. Kreemer, "De Groote Moskete Koeta-Radja", NION V, 1920. K.F.H Van Langen, "De Overgave de Nieuwe Mesjid Raja te Koeta-Radja an het Atjesche Volk", TNI X, 1882. C.J. Staal, "De Mesjid Raja in Atjeh", De Indische Gids, 1882.

10Penelitian tentang mata uang di bekas kerajaan yang bercorak Islam di Aceh, misalnya pernah dilakukan oleh H.K.J. Cowan, "Bijdrage tot de Kennis der Geschiedenis Van het rijk Samudra Pase", T.B.G., 1938. J. Hulshoff Pol. "De Gouden Munten Van Noord Sumatra", 1929. F.W. Stamnuneshaus, "Atjehsche Munten", Cultureel Indie, 1946. K.F.H. Van Langen, "De Inrichting Van het Atjehsche Statsbertuur Onder het Sultanaat", BKI, 37, 1888, hal 181-470.

11T. Ibrahim Alfian, Mata Uang Emas Kerajaan-Kerajaan di Aceh. Banda Aceh, Depdikbud Proyek PPDIA, 1986.

12Ibid. hal. 9. Lihat juga dalam William Show and Mohd. Kassim Haji Ali, Malacca Coin, Kuala Lumpur, Muzium Negara, 1970, hal. 2.

13Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya, 1995.

Tidak ada komentar: