Minggu, 08 Februari 2009

GERAK GERIK POLITIK DI ACEH TAHUN TIGA PULUHAN

Oleh: Rusdi Sufi

Seperti hanya di Pulau Jawa, perkembangan gerakan-gerakan politik di daerah Aceh pada kurun waktu tahun tiga puluhan, telah sangat mengkhawatirkan pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya pengawasan terhadap tokoh-tokoh politik ditingkatkan. Para tokoh pergerakan dan pengikut-pengikutnya khususnya yang nonkoperatif diawasi dengan ketat. Di antara mereka yang dianggap berbahaya dan paling ekstrim terhadap pemerintah ditangkap dan dibuang ke luar daerahnya, khususnya ke Tanah Merah, Boven Digul, Irian.1
Di antara tokoh gerakan politik di Aceh yang ditangkap Belanda ialah Teuku Muhammad Ali Basyah, bekas uleebalang Matangkuli Kecamatan Lhok Sukon. Ia dituduh ikut menyebarkan ajaran komunis di Aceh. Karenanya dituntut 5 tahun 4 bulan penjara dan kemudian berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah tanggal 11 Desember 1931 Teuku Muhammad Ali Basyah diinternir ke Tanah Merah, Irian. Tokoh lainnya yaitu Muhammad Hanafiah bekas pimpinan Partai Komunis Indonesia Bireun dan Samalanga. Ia dituntut 6 tahun penjara dan kemudian dengan Surat Keputusan Pemerintah tanggal 3 Juli 1931 No. 11 juga diasingkan ke Tanah Merah Irian.2 Abdul Muluk seorang propagandis Partai Komunis Indonesia asal Minangkabau karena ucapan-ucapannya menyinggung pemerintah dalam suatu rapat umum di Kutaraja dituntut 7 tahun penjara. Minggu, berasal dari Jawa, pada mulanya menjabat sebagai Ketua I Partai Komunis Indonesia di Samalanga dan kemudian menjadi pimpinan komunis di Kutaraja, dituntut 4 tahun penjara. Demikian pula dengan Muhammad Din sebagai ketua Partai Komunis Indonesia di Blang Kejeren dituntut 15 tahun penjara.3
Pengawasan terhadap gerak-gerik tokoh-tokoh pergerakan tidak hanya terhadap yang komunis, tetapi juga yang nasionalis dan agama. Untuk meningkatkan pengawasan ini, pemerintah Belanda di Aceh, juga membentuk apa yang dinamakan Veldpolitie (Polisi Lapangan)4 sebagai penjaga keamanan yang dipersenjatai. Kedatangan Mr. Iwa Kusuma Sumantri salah seorang tokoh Partai Nasional Indonesia dari Jawa ke Aceh di mana ia menemui Teuku Chik Muhammad Thayeb, ulebalang Peureulak yang pernah menjadi anggota volksraad pertama sebagai wakil yang ditunjuk dari Aceh, sangat mengkhawatirkan pihak pemerintah Belanda di Aceh.5 Kegiatan-kegiatan Mr. Iwa Kusuma Sumantri selama di Aceh mendapat sorotan dan pengawasan pihak pemerintah. Demikian juga gerakan-gerakan keagamaan seperti Muhammadiyah, Sumatra Thawalib dan Ahmadiyah, menjadi perhatian Belanda. Kunjungan Mohammad Zain Jambek, tokoh Muhammadiyah asal Minangkabau ke Tapak Tuan, Aceh Selatan, dikhawatirkan Belanda akan menimbulkan gejolak dan ketidaktenangan di daerah itu.6 Khusunya terhadap Muhammadiyah karena dikhawatirkan akan ditunggangi oleh unsur-unsur politik, menyebabkan pemerintah melarang Muhammadiyah membentuk cabang-cabangnya di Kabupaten Aceh Barat/Selatan yang dianggap rawan oleh Belanda.7
Kedatangan tokoh-tokoh gerakan Persatuan Muslimin Indonesia (PMI) dari Deli ke Aceh pada tanggal 6 Desember 1932 di bawah pimpinan Haji Syuib el Jubusi dan Mansur Daud gelar Datuk Panglimo Kayo yang berasal dari Minangkabau telah mendapat sambutan dari tokoh-tokoh pergerakan Aceh.8 Di antara tokoh-tokoh ini adalah Cut Seuman dari Lhokseumawe, Teuku Chik Peureulak, kedua iparnya Teuku Tjik Peusangan dan Teuku Tjik Samalanga, Teuku Tjik Meureudu, Teuku Mahmud Pidie, Teuku Hasan dan Teuku Muhammad Ali.9 PMI dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan dan bersemboyan bahwa Islam lah yang mengusai Indonesia, Islam menentang penjajahan serta dengan non-cooperatie menuju kemerdekaan Indonesia, telah menimbulkan berbagai reaksi dari pemerintah Belanda. Surat-surat kabar berbahasa Belanda seperti Deli Courant dan De Java Bode yang terbit di Medan dan Batavia (Jakarta), membahas secara khusus aksi-aksi pergerakan Persatuan Muslimin Indonesia di Aceh.10 Pemerintah menganggap aksi gerakan ini lebih berbahaya dari gerakan-gerakan yang bersifat keagamaan lainnya yang ada di Aceh, seperti Muhammadiyaj, Ahmadiyah, Sumatra Thawalib dan Jong Islamiitenbond (Serikat Pemuda Islam). Menurut Pemerintah, di dalam gerakan PMI terdapat unsur-unsur keagamaan dan nasionalisme juga karena ikut sertanya beberapa tokoh ulebalang terkemuka Aceh, baik sebagai simpatisan maupun sebagai anggota.11
Suatu persoalan berbau politik lainnya yang menonjol pada tahun tiga puluhan, ialah masalah pemakaian bahasa pengantar pada sekolah-sekolah rakyat (volkschool) di seluruh daerah Aceh. Mulai tahun 1931, pemerintah Hindia Belanda menghendaki supaya bahasa Aceh dipergunakan sebagai bahasa pengantar pada seluruh sekolah rakyat di Aceh sebagai pengganti bahasa Melayu (bahasa Indonesia) yang sudah dipakai sebelumnya. Menurut pemerintah, dengan bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar akan memudahkan murid-murid untuk lebih cepat mengerti atau menangkap pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh guru-guru mereka. Selain itu juga supaya rakyat dapat membaca dan menulis bahasa ibunya dengan menggunakan huruf latin menurut cara tulisan fonetis seperti yang telah diciptakan oleh DR. Snouck Hurgronje. Dengan demikian, bahasa Aceh sebagai bahasa literatur akan dapat hidup kembali.12 Di daerah-daerah yang tidak menggunakan bahasa Aceh seperti di Gayo, Alas, Tamiang dan Singkil, bahasa Melayu akan tetap dipertahankan sebagai bahasa pengantar.13
Di kalangan cendikiawan Aceh hasil didikan Barat yang terdiri dari beberapa Ulebalang terkemuka, pada mulanya tidak menyetujui maksud pemerintah Hindia Belanda tersebut.14 Mereka menganggap usaha yang akan dilakukan pemerintah tersebut untuk mencegah berkembangnya bahasa Melayu/Indonesia seperti yang telah diikrarkan bersama melalui Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Selain itu juga untuk menghalang-halangi rakyat Aceh menguasai bahasa Melayu yang amat diperlukan dalam berkomunikasi dengan suku-suku lain di sekitarnya dan juga untuk mengembangkan ekonomi mereka.
Pemerintah telah menetapkan tanggal 1 Juli 1932 sebagai permulaan bahasa Aceh secara resmi dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat, khususnya pada daerah-daerah yang dominan didiami oleh etnis Aceh.15 Para tokoh cendekiawan Aceh yang mengetahui maksud pemerintah Hindia Belanda tersebut membentuk sebuah panitia untuk membahas lebih lanjut masalah itu. Panitia ini diketuai oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan Glumpang Payong yang kemudian lebih populer dengan sebutan Hasan Dik (sebutan yang diberikan Belanda yang artinya Hasan gemuk) dan wakilnya Teuku Cut Hasan. Pada tanggal 6 Maret 1932 dengan mengambil tempat di Deli Bioscoop (sekarang Garuda) diadakan suatu rapat terbuka. Hasil rapat memutuskan, para cendikiawan Aceh menentang maksud pemerintah tersebut.16 Untuk menghadapi protes ini, pada tanggal 20 Maret 1933, Gubernur Aceh yang pada waktu itu dijabat oleh A.Ph. van Aken dan inspektur sekolah bumi putera yang bernama Nieuwenhuizen yang kebetulan berada di Aceh mengadakan suatu pertemuan dengan sekitar 20 orang ulebalang (zelfbestuurders) di Pendopo Gubernur. Maksudnya untuk menerangkan kepada para tokoh intelektual Aceh tentang keinginan yang sesungguhnya mengenai masalah tersebut kepada wakil-wakil masyarakat Aceh.17 Dalam hal ini rupa-rupanya pemerintah bersedia untuk tetap mempergunakan bahasa Melayu pada beberapa sekolah rakyat di Aceh, namun dalam jangka waktu lima tahun, kemudian hasilnya akan diperbandingkan dengan sekolah yang menggunakan bahasa Aceh se- bagai bahasa pengantar. Menurut Y. Yongejans yang menjabat Residen di Aceh sejak 5 Maret 1936 hingga bulan September 1938, pada tahun 1939 dari 328 jumlah sekolah rakyat yang ada di seluruh Aceh, 210 buah di antaranya telah menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar dan selebihnya tetap menggunakan bahasa Melayu/bahasa Indonesia.18
Namun demikian, ketidakpuasan dari sebagian intelek Aceh terhadap masalah itu hingga tahun 1939 masih ada. Mereka tetap menganggap pemerintah telah menghalang-halangi perkembangan bahasa Melayu/Indonesia di Aceh, yang sangat diperlukan masyarakat dalam berkomunikasi dan mengembangkan pengetahuan serta perekonomian mereka.19 Masalah ini juga tetap menjadi perhatian pemerintah. Karena pada permulaan tahun 1940, Department van Onderwijs en Geredienst (Departemen Pendidikan dan Agama), masih mengirimkan wakilnya ke Aceh untuk menyelidiki kemungkinan-kemungkinan penyelesaiannya dan mengadakan penyempurna-an-penyempurnaan yang berhubungan dengan masalah itu.20
Aksi-aksi politik berarti lainnya yaitu pada tahun 1938 dan sesudahnya di Aceh muncul keinginan para cendekiawan untuk membentuk suatu Dewan Aceh sebagai suatu badan perwakilan wadah para intelek muda Aceh agar dapat berpartisipasi dalam pelaksanaan pemerintahan di Aceh, di luar pemerintahan adat yang ada.21 Selain itu, ada juga aksi yang dilakukan oleh mereka yang menginginkan pemulihan kembali Kesultanan Aceh yang telah terhapus sejak diadakan perjanjian singkat oleh Belanda dengan sebagian pemuka-pemuka Aceh pada permulaan abad XX. Pada tahun 1939 berdiri sebuah organisasi para ulama yang dikenal dengan nama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Meskipun organisasi ini kelihatannya (dari statuta) tidak bergerak dalam bidang politik, tetapi ternyata dalam praktek, yang secara samar-samar mulai kelihatan sejak kongresnya yang pertama tahun 1940, keadaannya menjadi lain. Benih-benih permusuhan terhadap Belanda sungguh-sungguh ditanamkan, terutama melalui organisasi kepanduan yang bernama Kasyafatul Islam. Organisasi inilah yang akhirnya menjadikan dirinya sebagai wujud gerakan anti pemerintah yang sangat membahayakan Belanda.22
Kongres pertama PUSA tepatnya dilaksanakan pada tanggal 20 sampai dengan 24 April 1940 dengan mengambil tempat di Kuta Blang Asan Sigli. Dalam kongres ini kelihatan kekuatan PUSA yang demikian besar. Walaupun umurya masih satu tahun, berbagai kekuatan dalam masyarakat seperti kelompok ulama maju yang fanatik, kelompok pemuda konservatif atau yang beraliran nasionalistis modern, para uleebalang anti Belanda menyatukan persepsi dan menyalurkan aspirasinya dalam organisasi ini. Semua cabang yang ada di Aceh mengirimkan wakil-nya. Turut pula diundang peserta tamu dari luar Aceh seperti Mahmud Yunus dari Padang dan Encil Rahmah El Jumsiyah dari Padang Panjang. Tampaknya pemerintah Belanda waktu itu tidak cukup mempunyai kekuatan untuk membendung atau membubarkan kongres tersebut, walaupun ada pembicara yang diturunkan dari podium karena kritiknya yang tajam terhadap pemerintah.23
Hasil kongres/keputusan yang penting antara lain: 1. Pembentukan Pemuda PUSA dan Muslimat PUSA masing-masing di-pimpin oleh Amir Husin Al Mujahid dan Teungku Nyak Asna Daud Beureueh (istri Teungku Mohd. Daud Beureueh), 2. Menetapkan hukum yang menyangkut dengan berbagai masalah agama dan mengawasi PUSA agar selalu dalam geraknya sejalan dengan ketentuan agama, dibentuk pula Majlis Tanfiziah Syariah PUSA di bawah pimpinan Teungku H. Hasballah Indrapuri, 3. Pembentukan bagian penyiaran dan penerbitan PUSA dengan tugas utama menerbitkan majalah resmi PUSA.24 Tugas utama bagian Pemuda ialah mengorganisir gerakan kepanduan Kasyafatul Islam yang telah disebutkan di atas. Dengan demikian, kegiatan pemuda menjadi terkoordinir dan kekuatannya semakin tampak dalam masyarakat. Sementara bagian penyiaran dan penerbitan berhasil menerbitkan majalah yang diberi nama Penyoeloeh. Majalah ini dipimpin oleh Teungku Ismail Yakob, diterbitkan di Bireun dan dicetak di Medan. Untuk mensejajarkan dengan organisasi-organisasi Islam lainnya di Aceh, pada akhir tahun 1940 PUSA telah masuk menjadi anggota MIA (Majlis Islam A'la Indonesia).
Demikian sekelumit gambaran mengenai gerak-gerik politik yang terjadi di daerah Aceh pada tahun tiga puluhan. Semoga tulisan ini dapat memperluas wawasan pembaca tentang Aceh tempoe doeloe.


Catatan Akhir ­

1Jan Pluvier, Indonesiƫ: Kolonialisme Ovafthankelijkheid Neo-Kolonialisme. 1978, hal. 29.

2Memorie van Overgave van A.H. Philips, Aftredend Gouverneur van Atjeh en Onderhoorigheden 31 Mei 1932. Mailr. 1624-'32.

3Memorie van Overgave van O.M. Goedhart, aftredend Gouverneur van Atjeh en Onderhoorigheden, 30 Mei 1929, hal. 55, Mailrs. No. 134/29.

4A.J. Piekar, Atjeh en de Oorlog met Japan. 1942, hal. 13.

5Memorie van Overgave van O.M. Goedhart, op.cit., hal. 60.

6Ibid., hal. 61.


7A.J. Piekar, op.cit., hal. 17.

8Lihat "Polietike Actie in Atjeh door P.M.I. Propagandisten", dalam De Java Bode, 8 Desember 1932.

9De Deli Courant, 7 Jnauari 1933.

10De Java Bode, 8 Desember 1932 dan De Deli Courant 7 Januari 1933.

11De Deli Courant, Ibid.

12J. Jongejans, Land en volk van Atjeh Voeger en Nu. 1939, hal. 254-255.

13Ibid.

14Memorie van Overgave A. Ph. van Aken, op.cit., hal. 137.

15J. Jongejans, Loc.cit.

16De Deli Courant, 5 Maret 1932.

17Ibid., 21 Maret 1933.

18J. Jongejans, op.cit., hal. 256.

19"Welke Voertoal op de Atjehsche Scholen", De Telegraaf, 19 November 1939.

20Ibid.

21A.J. Piekar, op.cit., hal. 14.

22Ibid., hal. 32-33.


23Ibid., hal. 33.

24H. Ismuha, "Lahirnya Persatuan Ulama Seluruh Aceh 30 Tahun Yang Lalu", Sinar Darussalam, No. 14 tahun 1969.

1 komentar:

Marxause mengatakan...

bermanfaat sekali buat generasi sekarang seusia saya. terimakasih pak... salam dari lamteumen