Minggu, 08 Februari 2009

Dewan Rakyat dan Anggota yang Mewakili Daerah Aceh

Oleh: Rusdi Sufi

Pada tahun 1914 Perang Dunia I meletus yang melibatkan beberapa negara Eropa. Salah satu akibat daripada perang tersebut adalah hubungan antara negara-negara Eropa dengan daerah jajahannya menjadi terganggu, misalnya negeri Belanda yang menjajah Indonesia. Mereka khawatir hubungan antara negeri induk (Belanda) dengan daerah jajahan (Indonesia) terputus. Sementara di Indonesia pada waktu itu gerakan kebangsaan sedang tumbuh dan berkembang. Oleh karenannya, pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa di Indonesia mencoba untuk "mengambil hati" rakyat Indonesia yang telah bangkit kesadaran nasionalnya. Kepada rakyat Indonesia di-janjikan pemberian konsesi untuk turut dalam pemerintahan. Janji ini dikenal dengan nama November-belofte atau janji bulan November. Selain itu, untuk menyalurkan aspirasi rakyat Indonesia Belanda mendirikan sebuah lembaga yang diberi nama Volksraad atau Dewan Rakyat. Didirikan pada 16 Desember 1916 dan mulai aktif bekerja pada bulan Mei 1918.1
Dewan Rakyat ini beranggotakan 60 orang dan ketuanya orang Belanda. Dari 60 orang anggota ini 30 orang adalah penduduk asli Indonesia (pribumi) dan 30 orang lainnya non-pribumi, di antaranya paling sedikit 25 orang dan paling banyak 27 orang Belanda. Selebihnya atau paling sedikit 3 atau paling banyak 5 orang warga nonpribumi lainnya, yaitu yang disebut Vreemde-Oosterlingen atau Timur Asing yang terdiri dari orang-orang Cina dan Arab. Ketua Dewan Rakyat diangkat oleh Kerajaan Belanda (Kroon). Dari jumlah 60 orang anggota dewan ini, 38 orang dipilih oleh berbagai daerah pemilihan, sedangkan 22 orang lainnya diangkat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dewan Rakyat ini bersidang dua kali dalam setahun. Namun bila sepertiga dari jumlah anggota dewan menganggap perlu, maka dapat diadakan sidang luar biasa. Sidang biasa setiap tahun dibuka oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Meskipun kondisi keamanan di daerah Aceh pada saat Volksraad dibentuk juga dapat disebut baik, namun untuk memenuhi ketentuan pembentukan Dewan Rakyat yang secara terpaksa telah dipersiapkan itu, pemerintah Hindia Belanda juga mengangkat seorang anggota asal daerah Aceh (Berdasarkan pasal 55 ayat 3 "Indische Staatsregeling" atau I.S.). Anggota dewan yang ditunjuk itu adalah seorang tokoh terkenal bernama Teuku Chik Muhammad Thayeb, Uleebalang Kenegerian Peureulak, bahagian Aceh Timur. Ia seorang terpelajar yang sejak bersekolah di Bandung pada tahun 1913 sudah aktif dalam Pergerakan Indonesia dan sudah mengenal serta bergaul rapat dengan tokoh-tokoh kebangsaan di Jawa pada waktu itu seperti Iwa Kusuma Sumantri. Karenanya, Teuku Chik Muhammad Thayeb sebagai putra bangsa Indonesia di Dewan Rakyat menjadi lebih dikenal.2
Perlu pula diketahui bahwa pada ssat DR. C. Snouck Hurgronje akan bercuti ke negeri Belanda, dalam suratnya mengenai perlu dilanjutkan pengawasan terhadap pemuda-pemudi Indonesia yang sedang belajar di Jawa, selaku penasehat pemerintah Hindia Belanda di bidang kebumiputraan, ia telah memperingatkan supaya pemerintah Hindia3 Belanda tetap waspada terhadap pemuda Teuku Muhammad Thayeb. Karenanya, tidaklah mengherankan jika tindakan dan sikap anggota Dewan Rakyat ini telah sangat menjengkelkan pemerintah Hindia Belanda di lembaga tersebut. Usul-usulnya bernada keras, juga terdengar sinis; dan selalu menentang pemerintah Hindia Belanda. Karena vokalnya ini pemerintah tidak menghabiskan masa jabatannya, yang seharusnya selama 4 tahun seperti yang berlaku bagi setiap anggota Dewan Rakyat yang diangkat. Ia hanya dua tahun saja dibenarkan menjadi anggota Dewan Rakyat (1918-1920).
Setelah Teuku Chik Muhammad Thayeb diberhentikan sebagai anngota Dewan Rakyat, pemerintah tidak langsung mengangkat anggota lain yang mewakili daerah Aceh sebagai penggantinya. Lowongan itu terbuka sampai tujuh tahun lamanya. Baru pada tahun 1927 pemerintah mengangkat lagi seorang anggota asal daerah Aceh. Anggota yang diangkat ini yaitu Teuku Nyak Arif, Panglima Sagi XXVI Mukim, salah satu sagi dalam daerah Aceh Besar. Teuku Nyak Arif adalah lulusan OSVIA4, seorang tokoh yang cukup populer dan tidak kurang kerasnya (vokal) dari anggota sebelumnya yang mewakili Aceh, sehingga membuat pemerintah Hindia Belanda kewalahan.
Perasaan kebangsaan Indonesia yang semakin meluap-luap menjelang lahirnya Sumpah Pemuda pada bulan Oktober 1928 telah mendorong Teuku Nyak Arif pada tanggal 18 Juni 1928 mengucapkan pidatonya di Dewan Rakyat dengan semangat yang berapi-api. Teuku Nyak Arif berpidato dengan perasaan yang penuh keharuan dan kecintaan tanah air serta mengumandangkan kata-kata dan pengertian Indonesia dengan menekankan bahwa kesatuan nasional merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Sedangkan syarat untuk itu, kata Teuku Nyak Arif, telah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Tegasnya Indonesia sudah harus segera merdeka bebas dari penjajahan Belanda.5
Selain memperjuangkan kepentingan rakyat di daerah Aceh, di Dewan Rakyat Teuku Nyak arif juga turut memperjuangkan bidang pendidikan nasional yang mencakup usul-usul pemberian kesempatan yang luas kepada rakyat Indonesia untuk melanjutkan pendidikan di sekolah-sekolah yang lebih tinggi. Di samping itu juga mengusulkan perbaikan gaji guru-guru serta peningkatan mutu guru di Indonesia dan memberi kecaman-kecaman pedas terhadap politik pemerintah di bidang perekonomian dan perpajakan yang dianggap mencekik penghidupan rakyat yang memang sudah hidup melarat.
Salah satu usaha menuju ke persatuan bangsa Indonesia, Teuku Nyak Arif dalam satu sidang Dewan Rakyat telah menolak kebijaksanaan pemerintah yang hendak menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah dan sebaliknya ia mengusulkan supaya bahasa Melayu (bahasa Indonesia) tetap dipergunakan.
Perjuangan Teuku Nyak Arif lainnya selama masa jabatan sebagai anggota Dewan Rakyat yang sangat menonjol ialah turut sertanya ia dalam pembentukan Fraksi Nasional di Dewan Rakyat tersebut, yang dibentuk pada tanggal 27 Januari 1930, bersama-sama dengan Suangkupon, R.P. Suroso, Dwijo Sewoyo, Mukhtar, Datuk Kayo, Sutadi dan Pangeran Ali. Fraksi Nasional antara lain bertujuan untuk mencapai Indonesia merdeka dalam waktu secepat mungkin.
Dalam membela kepentingan-kepentingan rakyat tidak jarang terjadi perdebatan-perdebatan sengit antara Teuku Nyak Arif dengan anggota-anggota bangsa Belanda dalam sidang-sidang Dewan Rakyat. Suatu contoh perlu diutarakan di sini, tentang perdebatannya dengan anggota yang bernama Mr. Fruin, sekretaris Deli Plantervereeniging dari organisasi Politiek Economische Bond (didirikan bulan Januari 1919) yang kemudian pindah ke Vaderlandsche Club. Mr. Fruin membela kepentingan perkebunan Belanda begitu gigih, sementara Teuku Nyak Arif menentangnya. Karena perdebatan ini dan suara-suara vokal yang selalu dilontarkan oleh Teuku Nyak Arif di Dewan Rakyat, sehingga ia digelari dengan sebutan "rencong Aceh", yang siap sedia dan kapan saja menikam lawan-lawannya tanpa kenal ampun.6 Dalam aksi Inlandsche Meerderheid (kelebihan jumlah anggota pribumi) dalam Dewan Rakyat yang diadakan di daerah Aceh, Teuku Nyak Arif juga tidak tinggal diam, dia tetap memperjuangkannya.
Masa jabatan Teuku Nyak Arif di Dewan Rakyat berlangsung selama 4 tahun penuh, yaitu dari semenjak pengangkatannya pada tahun 1927 sampai tahun 1931. Selanjutnya sebagai pengganti Teuku Nyak Arif untuk mewakili daerah Aceh, pemerintah Hindia Belanda mengangkat seorang keturunan sultan Aceh bernama Tuanku Mahmud, yang menjabat sebagai hoofd ambtenaar ter beschikking (pegawai tinggi diperbantukan, mula-mula pada kantor gubernur, kemudian Residen Aceh). Tuanku Mahmud adalah seorang lulusan Bestuur School (Sekolah Pemerintahan) di Batavia (Jakarta).
Pada mulanya pemerintah mengusulkan dua orang calon untuk anggota Dewan Rakyat yang berasal dari Aceh, yaitu Tuanku Mahmud dan Teuku Chik Johan Alamsyah, uleebalang Kenegerian Peusangan dalam wilayah Bireun (Aceh Utara). Namun akhirnya pemerintah memilih atau mengangkat Tuanku Mahmud saja. Pengangkatan ini berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda bertanggal 15 Mei No. 1 dan berlaku terhitung mulai tanggal 15 Juli 1931. Masa jabatan Tuanku Mahmud berakhir pada tahun 1935. Akan tetapi, dengan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda bertanggal 4 Mei 1935 No. IX, ia diangkat kembali untuk masa jabatan selanjutnya selama 4 tahun, yaitu sampai tahun 1939. Bahkan setelah itu diperpanjang lagi sampai menjelang ber- akhirnya pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia pada bulan Maret 1942.
Berbeda dengan kedua anggota Dewan Rakyat asal daerah Aceh yang telah diangkat sebelumnya, Tuanku Mahmud tergolong seorang tokoh yang moderat dalam Dewan Rakyat.7 Ia pernah menjadi anggota Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputera yang didirikan pada tahun 1929, sebuah perkumpulan yang oleh pihak Belanda sebagai Links-Midden (kiri tengah).8 Dengan kepribadiannya yang disebut wellevend en beschaafd (sopan dan beradab, suka menenggang).9 Tuanku Mahmud dikatakan telah berhasil menarik perhatian banyak teman-teman seprofesi dalam Dewan Rakyat ataupun masyarakat biasa, baik orang Belanda maupun Indonesia, mengenai caranya memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyat di daerah Aceh.
Tidak lama setelah Tuanku Mahmud diangkat sebagai anggota Dewan Rakyat, lahirlah "Petisi Sutardjo", yang meng-hendaki kemerdekaan bangsa Indonesia. Di Dewan Rakyat terjadi perdebatan-perdebatan sengit sehubungan dengan petisi tersebut. Pada waktu diadakan pemungutan suara, ternyata 26 orang menyokong petisi itu, sedang 20 orang menolaknya. Anggota Tuanku Mahmud tidak turut memberikan suara.10 Akan tetapi, terlepas dari semua itu, nasib "Petisi Soetardjo" akhirnya menemui ke-gagalan juga karena ditolak oleh pemerintah pusat di Den Haag, yang menganggap bahwa bangsa Indonesia belum lagi matang untuk diberikan kemerdekaan.
Di dalam sidang-sidang Dewan Rakyat selalu menyampaikan usulnya agar menghapus pemerintah militer dalam wilayah-wilayah di daerah Aceh.11 Dan usul ini akhirnya berbuah, yaitu dalam periode 1938-1940 dari enam buah wilayah yang diperintah oleh militer (tentara), lima buah diperintah oleh pamong (sipil) Belanda.12 Tuanku Mahmud memahami, bahwa dalam wilayah-wilayah demikian (militer), pasti dilakukan tindakan-tindakan dengan cara kekerasan terhadap rakyat oleh tentara Belanda.
Di bidang pemerintahan adat di Aceh yang dilaksanakan oleh para uleebalang berdasarkan korte verklaring, Tuanku Mahmud memaklumi, bahwa di kalangan pemuda uleebalang telah timbul hasrat untuk hidup dalam alam demokrasi. Ia memahami, bahwa struktur pemerintahan adat semakin lama semakin terasa sudah ketinggalan zaman. Karenanya, Tuanku Mahmud mengusulkan dalam Dewan Rakyat agar pemerintah Hindia Belanda berusaha ke arah itu. Akan tetapi, betapapun besar artinya usul ini, namun pemerintah tetap menganggap bahwa usul seperti itu belum tiba masanya untuk di-pertimbangkan13
Ketika mendekati masa berakhirnya peran pemerintah Hindia Belanda di Indonesia, hari Jumat 10 Mei 1940, negeri Belanda diduduki oleh Jerman (Nazi). Ratu Belanda Wilhelmia beserta keluarganya yang diikuti oleh pemerintah pusat Belanda terpaksa pindah ke London. Ketegangan-ketegangan akibat perang Jepang di Cina yang sudah berlangsung sekian lama, dan terus-menerus adanya rong-rongan dari pihak nasionalis anggota-anggota bangsa Indonesia di Dewan Rakyat, menjadikan pemerintah Hindia Belanda semakin terjepit. Jika di atas telah disinggung tentang tidak turut sertanya Tuanku Mahmud memberi suara kepada "Petisi Sutardjo", maka pada pergolakan politik masa-masa belakangan telah membuat ia melihat lain terhadap nasib dan kepentingan tanah air Indonesia. Hal ini ditandai pada waktu diumumkannya "Atlantic Charter" oleh Presiden Amerika Serikat Roosevelt bersama Perdana Menteri Churchill yang menyatakan, bahwa Perang Dunia II yang sudah dimulai di Eropa sejak tahun 1939 telah usai, maka semua bangsa yang selama ini terjajah akan diberikan kemerdekaan.
Pada tanggal 23 Agustus 1941, 28 orang anggota Dewan Rakyat, termasuk Tuanku Mahmud, menyampaikan pertanyaan kepada pemerintah Hindia Belanda, apakah pemerintah menyetujui maksud "Atlantic Charter". Jika ya, bagaimanakah konsekuensi-konsekuensinya bagi bangsa Indonesia di Hindia Belanda. Jawaban pemerintah oleh penanya diharapkan dapat diperoleh dalam sidang Dewan Rakyat yang sedang berlangsung, karena dianggap hal itu sangat menentukan bagi nasib bangsa Indonesia untuk masa-masa mendatang. Namun ternyata bahwa pemerintah Belanda masih keberatan memberikan jawaban yang kongkrit.

Catatan Akhir

1S.L. van der Wal, De Volksraad en de Staatkundige Ontwikkeling Van Nederlands-Indiƫ, Jilid I, 1964, hal. 1.

2Mailr. No. 338x/36.

3DR. Snouck Hurgronje, Ambtelijke Adviezen van Snouck Hurgronje 1899-1936, Jilid I dihimpun oleh E. Gobee dan C. Adriaanse, hal. 44-46.

4Mengenai riwayat hidup Teuku Nyak Arif dapat dilihat dalam Mardanas Safwan, Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif, (Jakarta: Proyek Biografi Pahlawan Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978).

5Kumpulan pidato anggota-anggota volksraad, Mailr. 338x/36.

6Lihat Koran, Bintang Timoer, tahun 1930.

7S.L. van der Wal, op.cit., Jilid II, hal. 178.

8Ibid., hal. 190. Dalam Dewan Rakyat terdapat kelompok-kelompok yang oleh Belanda disebut Uiterst-link (kiri habis), Links-midden (kiri tengah), Midden-rechts (kanan tengah) dan rechts (kanan). Dengan Kelompok kiri habis dimaksudkan kaum nasionalis, sedangkan kelompok kanan, duduk orang-orang (pemerintah) Belanda.

9A.J. Piekaar, Atjeh en de Oorlog met Japan, 1949, hal. 14-15.

10S.L. van der Wal, op.cit., hal 239-240.

11Lihat Handelingen Volksraad, tahun 1935-1942

12Paul Van't Veer, De Atjeh Oorlog, (Amsterdam, 1969), hal. 294.

13A.J. Piekaar, op.cit., hal.

Tidak ada komentar: