Minggu, 08 Februari 2009

MATA UANG KERAJAAN-KERAJAAN ACEH

Oleh: Rusdi Sufi

Di bagian utara Pulau Sumatra, jauh sebelum terbentuk-nya Kesultanan Aceh, Kerajaan Pasai sudah tumbuh menjadi sebuah kerajaan terpenting di antara kerajaan yang ada pada masa itu. Kerajaan Pasai ini terbentang mulai dari ujung Tamiang di bagian timur hingga ke Kuala Ulim di bagian barat. Ibukota kerajaannnya bernama Samudra, Samadra atau disebut juga Syamtalera.
Menurut catatan sejarah, sejak anad XII dan abad XIII sudah berlangsung hubungan perdagangan antara Negeri Cina di timur dan India (Cambay) di barat dengan Kerajaan Pasai. Pedagang-pedagang Cina yang menggunakan perahu-perahu jong yang berniaga pada kota-kota pelabuhan dalam wilayah Kerajaan Pasai waktu itu telah mempergunakan mata uang perak yang bernama ketun sebagai alat tukar dalam mendapatkan barang-barang dari penduduk setempat. Uang ketun ini bentuknya panjang, lebar, dan beratnya hampir sama dengan ringgit Spanyol yang kemudian diedarkan oleh orang-orang Portugis di beberapa kerajaan di Aceh. Mata uang ketun ini beredar dan berlaku hingga masa datangnya orang-orang Portugis yang pada tahun 1521 berhasil menduduki Kerajaan Pasai.
Orang-orang Portugis ini selanjutnya juga mengedarkan mata uang ringgit yang bergambar tiang yang populer dengan sebutan ringgiet Spanyol (ringgit Spanyol), namun orang-orang Aceh menamakan mata uang ini dengan nama ringgiet meriam (ringgit meriam). Dinamakan demikian karena pada mata uang ini terdapat dua buah pilar (tiang) yang menyerupai meriam. Mata uang ringgit meriam ini dikenal secara luas di Aceh dan dinamakam juga reyal yang dalam istilah disebut rieyeu. Pada masa Kerajaan Aceh riyal ini cukup populer sebagai alat tukar khususnya dalam transaksi lada. Sebagaimana disebutkan dalam karya Pieter van Dam bahwa alat pembayaran dalam pembelian lada di Aceh digunakan uang reyal. Jika sebelumnya datang orang-orang Belanda dan Inggris ke Aceh harga lada sekitar 8 riyal per bahar (1 bahar ± 375 lbs. Inggris), maka setelah datang pedagang-pedagang tersebut naik menjadi 20 riyal per bahar, dan ketika datang pedagang-pedagang Perancis naik lagi hingga menjadi 48 reyal per bahar.
Selain reyal atau ringgit meriam ini orang-orang Portugis mengedarkan pula tiga jenis mata uang tembaga, yaitu:
1. Mata uang tembaga yang ukurannya sebesar ringgit meriam, dengan tulisan Arab di salah satu sisinya yang berbunyi empat kepeng, disebut dengan nama duet (duit).
2. Mata uang tembaga yang agak lebih kecil dengan tulisan Arab yang berbunyi dua kepeng. Mata uang ini tidak mempunyai nama dalam istilah Aceh.
3. Mata uang tembaga berbentuk kecil dengan tulisan Arab berbunyi satu kepeng.
Mata uang-mata uang tersebut di atas, kemudian hilang dari peredaran bersamaan dengan diusirnya orang-orang Portugis dari kerajaan-kerajaan di Aceh (Pasai dan Pedir).
Selain jenis mata uang tersebut di atas menurut Tome Pires di kerajaan-kerajaan pada bagian timur Sumatra di pusat-pusat kerajaan telah digunakan jenis-jenis mata uang tertentu sebagai alat tukar dalam perdagangan. Di Kerajaan Pedir terdapat mata uang dari timah yang bentuknya kecil yang disebut keuh (istilah Aceh) dan mata uang dari emas yang disebut drama serta mata uang yang dibuat dari perak yang disebut tanga yaitu sejenis mata uang yang menyerupai uang Siam. Selain di Pedir, di Kerajaan Pasai juga terdapat mata uang emas yang menurut Tome Pires juga disebut drama. Mungkin apa yang disebut Tome Pires dengan drama yaitu yang populer disebut masyarakat setempat deureuham. Istilah ini berasal dari kata Arab, namun jenis mata uang ini dibuat dari perak.
T. Ibrahim Alfian yang merupakan satu-satunya sarjana Indonesia di luar penulis-penulis Belanda yang membahas tentang mata uang emas kerajaan-kerajaan di Aceh mengatakan bahwa mata uang emas yang pernah diketemukan di bekas Kerajaan Pasai adalah mata uang emas pertama dan dianggap sebagai deureuham tertua. Mata uang emas ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malikal-Zahir (1297-1326). Selain itu, T. Ibrahim Alfian juga menyebutkan bahwa mata uang emas ini ditiru oleh Kerajaan Aceh, setelah kerajaan itu menaklukkan Pasai pada tahun 1624. Pedangang-pedangang Pasai yang pergi ke Malaka memperkenalkan pula sistem penempaan mata uang emas ini kepada penduduk Malaka.
Kerajaan Aceh Darussalam baru mengeluarkan mata uang sendiri yaitu pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayatsyah al-Kahhar (1537-1568), yang populer dengan sebutan Sultan Al-Kahhar. Menurut sumber lokal (Kisah Lada Sicupak). Sultan Al-Kahhar pernah mengirim utusan kepada Sultan Turki dan sebaliknya oleh Sultan Turki dikirim ke Aceh ahli-ahli dalam berbagai bidang ketrampilan seperti ahli dalam pembuatan senjata (penuangan meriam) dan juga para ahli dalam pembuatan mata uang. Kepada orang-orang Turki inilah Sultan Al-Kahhar menyuruh membuat mata uang emas yang juga disebut dengan nama deureuham (dirham), menurut nama mata uang Arab. Sultan Aceh menetapkan ringgit Spanyol sebagai kesatuan mata uang yang hendak dilaksanakan itu. Ditetapkan pula bahwa dari sejumlah emas untuk satu ringgit Spanyol dapat ditempa menjadi 4 deureuham sehingga 4 deureuham sama dengan satu ringgit Spanyol. Selanjutnya, mutu emas yang diperlukan untuk mata uang emas harus pula memenuhi syarat, yaitu kadarnya harus sikureung mutu (sembilan mutu). Berdasarkan jenis logam yang digunakan untuk membuat deureuham, maka mata uang ini dinamakan meuih (mas).
Dari orang-orang Inggris Sultan membeli mata uang tembaga yang di atasnya dibubuhi gambar seekor ayam betina, yang dinamakan duet manok (mata uang ayam betina). Sultan menetapkan pula bahwa untuk 1000 duet manok ini sama nilainya dengan 1 ringgit Spanyol. Adapun hitungan mata uang ditetapkan oleh sultan ini adalah, 1 ringgit meriam sama dengan 4 meuih (mas) sama dengan 250 duet manok (duit ayam betina).
Selain membuat mata uang emas yang disebut deureuham, Kerajaan Aceh pada waktu itu juga membuat mata uang dari timah yang dinamakan keuh. John Davis yang menjadi nakhoda pada kapal Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman yang datang ke Kerajaan Aceh pada masa Sultan Alaudin Riayatsyal al-Mukammil (1568-1604) menyebutkan ada dua jenis mata uang yang utama yang beredar di Kerajaan Aceh pada waktu itu, yaitu mata uang emas yang bentuknya sebesar uang sen di Inggris dan mata uang timah yang disebut cashes (yang dimaksud mungkin yang dinamakan oleh orang Aceh keuh, orang Portugis menyebutnya caxa, dibuat dari timah dan kuningan, Belanda menyebutnya kasja atau kasje). Selain kedua jenis mata uang utama tersebut, terdapat pual jenis-jenis mata uang lain seperti yang disebut kupang (mata uang dibuat dari perak), pardu (juga dibuat dari perak yang ditempa oleh Portugis di Goa) dan tahil. Adapun nilai dari masing-masing mata uang tersebut adalah nilai 1600 cashes sama dengan 1 kupang; 4 kupang sama dengan satu deureuham, 5 deureuham (uang emas) sama dengan 4 schelling (sic) Inggris, 4 uang emas sama dengan 1 pardu dan 4 pardu sama dengan 1 tahil.
Sistem mata uang tersebut di atas tidak mengalami perubahan hingga pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Di bawah sultan ini ia menetapkan suatu ketentuan terhadap mata uang emas yaitu dari jumlah emas yang sama tanpa mengubah kadar emasnya, 1 uang emas (1 deureuham) dijadikan 5 deureuham. Meskipun nilai emas yang sebenarnya telah dikurangi, tetapi nilai peredarannya masih tetap dapat dipertahankan seperti sebelumnya. Jadi 4 deureuham emas tetap bernilai 1 ringgit Spanyol dalam peredarannya.
Di bawah pemerintahan Sultanah Tajul Alam Safiatuddinsyah (1641-1675) putri Sultan Iskandar Muda, dilakukan lagi pengurangan timbangan emas dari sebuah deureuham; bahkan sultanah ini juga mengurangi pula kadar emasnya. Dari sejumlah emas untuk menempa satu ringgit Spanyol ia menyuruh tempa menjadi enam buah deureuham dengan mengurangi kadar emasnya dari 9 menjadi 8 mutu meuih atau menurut hitungan emas Belanda menjadi 19,2 karat. Walaupun demikian deureuham ini tidak berubah dalam nilai sirkulasinya seperti sebelumnya. Sultanah ini juga memerintahkan supaya dikumpulkan semua deureuham yang telah diperbuat sebelum masa pemerintahannya untuk kemudian dilebur menjadi deureuham baru. Itulah sebabnya mungkin deureuham-deureuham yang berasal dari sultan-sultan yang memerintah di Kerajaan Aceh sebelum sultanah ini sangat sukar diperoleh.
Baik deureuham yang berasal dari Kerajaan Pasai maupun deureuham dari Kerajaan Aceh bentuknya kecil, tipis dan bulat, bergaris tengah ± 1 cm, beratnya tidak lebih dari 9 grein Inggris (1 grein sama dengan 0,583 gram). Dalam karya T. Ibrahim Alfian dapat kita lihat bahwa berat deureuham ini mulai dari 0,50 gr (yang paling rendah) sampai 0,60 gr (yang paling tinggi) dan deureuham ini umumnya terbuat dari emas 18 karat. Huruf-huruf yang terdapat pada kedua muka/sisi uang tersebut dicetak timbul dengan aksara Arab yang relatif kasar di dalam lingkaran titik-titik timbul sebagai garis pinggirnya.
Di sisi bagian muka mata uang ini umumnya tertera nama sultan dengan memakai gelar Malik Az-Zahir. Hal ini berlaku baik bagi deureuham yang dikeluarkan oleh Sultan-sultan Pasai sendiri maupun untuk deureuham yang dikeluarkan oleh sultan-sulatan yang memerintah di Kerajaan Aceh. Ini terjadi karena sultan-sultan di Kerajaan Aceh meniru kebiasaan sultan-sultan Pasai dengan memberi gelar Malik az-Zahir pada deureuham-deureuham mereka. Namun demikian tidak semua sultan Kerajaan Aceh membubuhi gelar Malik az-Zahir ini karena sesudah pemerintahan Sultan Ali Riayatsyah (1571-1579), sultan-sultan berikutnya tidak menggunakannya lagi.
Sementara pada muka/sisi lain terdapat tulisan dalam bentuk ungkapan yang berbunyi as-sultan al-adil, dan sebagaimana pada deureuham-deureuham Pasai, tulisan/ungkapan ini juga digunakan oleh sultan-sultan di Kerajaan Aceh hingga masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah al-Mukammil (1589-1604). Mulai masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) ungkapan ini tidak dipakai lagi.
Deureuham yang dikeluarkan oleh Sultan Iskadar Muda pada sisi mukanya terdapat tulisan namanya yaitu Sultan Iskandar Muda dan pada sisi lainnya tertulis Johan berdaulat fil-Alam. Pada masa Tajul Alam Safiatuddinsyah pada deureuham yang dikeluarkannya ditulis namanya sendiri Safiatuddinsyah pada satu sisi dan pada sisi/muka lainnya tertera nama Paduka Sri Sultan Tajul Alam. Pada semua deureuham yang pernah dikeluarkan oleh sultan-sultan di Kerajaan Aceh tidak dinyatakan tahun pembuatannya. Hal ini mungkin dimaksudkan untuk tetap menjamin nilai sirkulasinya hingga pada masa-masa pemerintahan sultan berikutnya.
Sesudah pemerintahan Tajul Alam tidak ada lagi sultan-sultan Kerajaan Aceh yang menempa mata uang deureuham. Baru pada masa pemerintahan Sultan Syamsul Alam (1723) ditempa sejenis mata uang seng yang dinamakan keueh Cot Bada. Penamaan demikian karena mata uang ini beredar di wilayah Cot Bada saja yang memiliki pasar yang sangat ramai. Nilainya 140 keueh Cot Bada ini sama dengan 1 ringgit Spanyol. Selanjutnya pengganti Sultan Syamsul Alam yaitu Sultan Alauddin Akhmadsyah (1723-1735) menempa lagi pecahan mata uang timah yang juga dinamakan keueh. Ia menetapkan bahwa 800 keueh ini bernilai 1 ringgit Spanyol. Dengan demikian, mata uang berlaku di Kerajaan Aceh pada waktu itu, yaitu 1 ringgit Spanyol sama dengan 4 deureuham, 1 deureuham sama dengan 200 keueh.
Pembuatan mata uang keueh terus berlanjutnya pada pemerintahan sultan-sultan selanjutnya hingga yang terakhir yaitu Sultan Alauddin Mahmudsyah (1870-1874). Sejak waktu itu dan seterusnya Kerajaan Aceh terlibat perang dengan Belanda.
Bentuk uang keueh yang dikeluarkan oleh masing-masing sultan tidak serupa. Variasinya terdapat pada nilai untuk setiap ringgit Spanyol pada masa pemerintahan masing-masing. Tulisan yang tedapat di atasnya tidak begitu terang, kadang-kadang pada sisi depannya terdapat aksara Arab yang berbunyi bandar atjeh dar-as-salam dan di sisi lainnya terdapat tiga buah figur semacam pedang yang dibaringkan dan di atasnya diberi beberapa buah titik. Gagang pedang ini kadang-kadang mengarah ke kiri dan kadang-kadang ke kanan. Beberapa mata uang keueh ini ada yang memuat tahun pembuatannya, tetapi kebanyakan tidak. Pembuatan mata uang keueh ini memakai tuangan yang dibuat dari tembaga dan batu. Acuan batu terbuat dari batu pasir berwarna abu-abu yang lazim dipakai untuk batu-batu nisan. Acuan-acuan ini teridri dari atas dua buah balok kecil yang sama besar dengan sebuah saluran terbuka di antaranya di mana timah dapat mengalir ke dalam acuan tersebut. Cara pembuatannya persis sama seperti orang menuang peluru-peluru masa dulu dan menuang rantai untuk membuat jala penangkap jala ikan.
Berbeda dengan deureuham yang berlaku di seluruh Kerajaan Aceh, sirkulasi mata uang keueh ini terbatas di wilayah Aceh Besar saja. Di Pidie misalnya mata uang ini tidak berlaku sebagai alat tukar. Di sini ulebalangnya mendapat izin untuk menempa/mengeluarkan mata uang sendiri yang dinamakan gupang (kupang) dan busok yang terbuat dari perak. Pembuatnya adalah orang-orang Keling.
Pada mata gupang terdapat gambar, sedangkan pada busok tidak. Pada sebuah sisi gupang terdapat tulisan yang dapat dibaca yaitu paduka Sultan Alauddinsyah, pada sisi satunya tertulis 6 (=peng) azizul berkat. Adapun sistem nilai terhadap mata uang yang beredar di Pidie adalah 1 ringgit Spanyol sama dengan 4 deureuham atau meuih, 1 meuih sama dengan 4 gupang, 1 gupang sama dengan 2 busok dan 1 busok sama dengan 3 peng. Mata uang peng ini dibuat dari tembaga pada masa kompeni Inggris dan Belanda yang bernilai 2½ duet (duit).
Demikian sekilas gambaran tentang mata uang kerajaan-kerajaan di Aceh tempoe doeloe (Disarikan dari makalah yang pernah dipresentasikan dalam Seminar tentang Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra di Cisarua, Bogor tahun 1992).

Tidak ada komentar: