Senin, 23 Februari 2009

Aspek Sosial Budaya Masyarakat Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo dan Rusdi Sufi

Aceh sebagai sebuah entitas suku dan wilayah tentu sangat berbeda dengan suku atau wilayah lainnya di Indonesia. Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pluralistis dan “terbuka”. Di daerah Nanggroe Daruusalam ini terdapat 8 subetnis, yaitu Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Kedelapan subetnis tersebut mempunyai sejarah asal-usul dan budaya yangg sangat berbeda antar satu dengan yang lain. Misalnya, menurut sejarahnya, subetnis Aneuk Jamee merupakan pendatang yang berasal dari Sumatra Barat (etnis Minangkabu) sehingga budaya subetnis Aneuk Jamee mempunyai kemiripan dengan budaya etnis Minangkabau.

A. Mitos/Sejarah Keberadaan Masyarakat Aceh
Pada waktu masih sebagai sebuah kerajaan yang dimaksud dengan Aceh adalah wilayah, yang sekarang dikenal dengan nama Aceh Besar yang di dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk, yaitu salah satu kabupaten atau daerah tingkat II di Nanggroe Aceh Darussalam. Semasa kerajaan, Aceh Rayeuk (Aceh Besar) sebagai inti Kerajaan Aceh (Aceh proper). Karena daerah inilah pada mulanya yang menjadi inti kerajaan dan telah menyebarkan sebagian penduduknya ke daerah-daerah lain di sekitarnya (daerah takluk) yang Belanda menamakanya (Onderhorigheden). Sebutan Aceh juga digunakan oleh orang-orang di daerah takluk di luar Aceh Rayeuk (Aceh Besar) dalam wilayah Kerajaan Aceh, untuk menyebut nama ibukota kerajaan yang sekarang bernama Banda Aceh. Mereka yang mendiami pesisir Timur seperti Pidie, Aceh Utara hingga Aceh Timur dan Pesisir Barat dan Selatan, jika mau ke ibukota kerajaan (Banda Aceh) mengatakan mau pergi ke Aceh dan sebutan ini masih ada yang menggunakannya sampai sekarang.
Selain sebagai nama daerah Aceh juga merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai penduduk asli yang mendiami Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sekarang terdapat 20 daerah tingkat II yang didiami oleh delapan kelompok etnis, yaitu etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Semua etnis ini adalah penduduk asli yang dalam istilah Belanda disebut inlander (penduduk pribumi).
Mengenai kapan Aceh dan kapan istilah ini mulai digunakan belum ada suatu kepastian konkrit asal muasalnya. Data yang dapat memberi kesimpulan tentang asal muasal etnis Aceh tidak diketemukan. Informasi atau sumber yang berasal dari orang Aceh sendiri tentang hal ini masih berupa kisah-kisah populer yang disampaikan secara turun-temurun (berupa tradisi lisan) yang sulit untuk dipertanggungjawabkan kebenarannya. Para pendatang luar (orang-orang asing) yang pernah mengunjungi ke Aceh sewaktu masih sebagai sebuah kerajaan menyebutkan dengan nama beragam. Orang Portugis misalnya menyebut dengan nama Achen dan Achem, orang Inggris menyebut Achin, orang Perancis menamakan Achen dan Acheh; orang Arab menyebut Asyi, sementara orang Belanda menamakan Atchin dan Acheh. Orang Aceh sendiri menyebut dirinya dengan nama Ureung Aceh (orang Aceh). Memang terdapat beberapa sumber yang menginformasikan tentang asal muasal nama Aceh dan etnis Aceh. Namun sumber-sumber ini ada yang bersifat mistis atau dongeng, meskipun ada juga yang dikutip oleh para penulis asing seperti penulis-penulis Belanda.
K. F. H Van Langen dalam salah satu karyanya tentang Aceh berjudul "De Inrichting Van het Atjehsche Staatbestuur Onder het Sultanaat” (Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan yang dimuat dalam BKI 37 (1888) serta juga yang dikutip dari Laporan Gubernur Aceh dan Daerah Takluknya yang diterima sebagai Lampiran Surat Sekretaris Pemerintahan Umum yang tertanggal 30 Juni 1887 No. 956 dimuat dalam majalah TBG (1889) dengan judul "Iets Omtrent de Oosprong Van Het Atjesche Volk en den Toestand Onder het Voormalig Sultanaat in Atjeh" (Serba-serbi Tentang Asal-Usul Bangsa Aceh dan Keadaan Pada Masa Pemerintahan Kesultanan di Aceh). Disebutkan bahwa menurut cerita-cerita rakyat, penduduk asli Aceh disebut ureueng manteue yang didominasi oleh orang-orang Batak dan juga etnis Gayo. Mereka termasuk dalam keluarga besar Melayu yang asal¬-usulnya juga belum diketahui secara pasti. Untuk menguatkan pendapat ini dijelaskan bahwa di dalam adat Batak dan Gayo masih terdapat unsur-unsur dan kata-kata yang juga dijumpai dalam bahasa Aceh. Meskipun dengan ucapan yang telah berubah di samping unsur-unsur formatip bahasa Batak dan Gayo.
Ada pula yang memperkirakan bahwa etnis Aceh sebagian besar berasal dari Campa, seperti yang diutarakan oleh C. Snouck Hurgronje dalam karyanya The Atjehers (orang-orang Aceh). Hal ini dapat dilihat dari segi bahasa. Menurut bahasa Aceh menunjukkan banyak persamaan dengan bahasa yang digunakan oleh bangsa Mon Khmer, penduduk asli Kamboja, baik dari segi tata bahasa maupun dalam peristilahannya. Mengenai perbandingan atau persamaan antara bahasa Aceh dengan bahasa Campa telah diterbitkan oleh H.K.J. Cowan dengan judul "Aanteekeningen betreffende de verhoding van het Atjesche tot de Mon Khmer talen" dalam BKI 104 (1948).
Seorang ulama Aceh terkenal Aceh pada XIX yaitu Teungku Kutakarang yang populer dengan sebutan Teungku Chik Kutakarang (meninggal 1895) dalam karyanya Tadhkirat al Radikin menyebutkan bahwa orang Aceh terdiri atas tiga pencampuran darah yaitu Arab, Persi, dan Turki. Teungku Chik Kutakarang tidak menyebutkan adanya percampuran dengan suku-suku bangsa lain, seperti India dan lainnya. Pendapat yang lebih masuk akal dikemukakan oleh Julius Jacob, seorang sarjana Belanda dalam karyanya Het Familie en Kampongleven Op Groot Atjeh (1894) (Kehidupan Kampung dan Keluarga di Aceh Besar). Di sini Jakob mengatakan bahwa orang Aceh adalah suatu anthropologis mixtum, suatu percampuran darah yang berasal dari pelbagai suku bangsa pendatang. Ada yang berasal dari Semenanjung Melayu, Melayu-Minangkabau, Batak, Nias. orang¬-orang lndia, Arab, Habsyi, Bugis, Jawa, dan sebagainya. Dapat disebutkan pula bahwa sultan-sultan terakhir yang memerintah di Kerajaan Aceh secara berturut-turut semenjak Sultan Alaidin Ahmadsyah (1727) sampai dengan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874) dan yang terakhir Sultan Muhammad Daudsyah (1874-1903) adalah berasal dari Bugis.
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa berdasarkan asal¬-usulnya etnis Aceh dibagi empat kawom (kaum) atau sukee (suku). Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Alaaidin Al-Kahar (1530-1552). Keempat kawom atau sukee ini yaitu
1. Kawom atau sukee lhee reutoh (kawum atau suku tiga ratus). Mereka berasal dari orang-orang Mante-Batak sebagai penduduk asli.
2. Kawom atau sukee imuem peut (kaum atau suku imam empat). Mereka berasal dari orang-orang Hindu atau India sebagai pendatang.
3. Kawom atau sukee tok Batee (kaum atau suku yang mencukupi batu). Mereka berasal dari berbagai etnis, pendatang dari berbagai tempat.
4. Kawom atau sukee Ja Sandang (kaum atau suku penyandang). Mereka adalah para imigran Hindu yang telah memeluk agama Islam.
Pada awalnya akibat asal usul yang berbeda, keempat kawom ini sering kali terlibat dalam konflik internal. Kawom-kawon ini sampai sekarang masih merupakan dasar masyarakat Aceh dan solidaritas sesama kawomnya cukup tinggi. Mereka loyal kepada pimpinannya. Semua keputusan atau tindakan yang akan diambil selalu melibatkan pimpinan dan orang-orang yang dituakan dalam kawon-kawom itu.
Sesungguhnya etnis Aceh sebagai suatu entitas politik dan budaya mulai terbentuk semanjak awal abad XVI. Hal ini ditandai dengan terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayatsyah (lebih kurang 1514). Pembentukan ini diawali dengan adanya dinamika internal dalam masyarakat Aceh, yaitu terjadinya penggabungan beberapa kerajaan kecil yang ada di Aceh Rayeuk yang selanjutnya dengan penyatuan Kerajaan Pidie, Pasai, Perlak, dan Daya ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Selanjutnya, pertumbuhan dan pengembangan kerajaan ini ditentukan pula oleh faktor eksternal. Karena eksodusnya para pedagang muslim dari Malaka ke ibukota Kerajaan Aceh, setelah ditaklukannya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 dan juga berubalmya rute perdagangan para pedagang muslim dari jalur Selat Malaka ke Jalur Pantai Barat Sumatera. Keadaan ini menyebabkan ibukota Kerajaan Aceh (Banda Aceh) menjadi berkembang dengan penduduknya menjadi lebih kosmopolitan.

B. Karakteristik Kepribadian
Karena posisi geografisnya yang menguntungkan menyebabkan Aceh sarat dengan kontak dan pengaruh dari luar. Salah satu di antaranya ialah agama Islam. Berdasarkan beberapa sumber disimpulkan para sejarawan dan arkeolog bahwa agama Islam pertama masuk ke Nusantara ialah daerah Aceh. Disimpulkan pula bahwa Islam yang masuk ini yaitu Islam yang terlebih dahulu tersebar dan teradaptasi dengan unsur-unsur di daerah Persia dan Gujerat (India). Masuk dan kemudian berkembangnya agama Islam di Aceh telah menjadikan etnis Aceh secara keseluruhan penganut agama Islam. Namun karena Islam yang masuk ini, Islam yang telah berbaur dengan unsur¬-unsur budaya dari mereka yang memasukkan (budaya Persia dan India) telah memberikan corak tersendiri terhadap budaya dan adat istiadat serta agama Islam di Aceh.
Pada masyarakat Aceh antara agama dan budaya telah menyatu sehingga sukar untuk dipisahkan. Hal ini tercermin dalam sebuah ungkapan Aceh yang sangat populer, yaitu adat ngon hukom hanjeuet cree lagee zat ngon sifeut, artinya adat dengan hukum syariat Islam tidak dapat dipisahkan seperti unsur dengan sifatnya. Maksudnya hukum agama Islam yang berlaku itu telah menyatu dengan adat laksana zat dengan sifat Allah yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dengan kata lain dapat disebut bahwa kedua hal itu berjalan sejajar dan jika di antaranya ada yang tidak cocok, dalam arti jika adat bertentangan dengan unsur-¬unsur agama lslam, maka keadaan itu dianggap timpang dan salah.
Di kalangan etnis Aceh terdapat sebuah pedoman hidup yaitu adat bak poteumeureuhom, hukom bak syiah kuala, yang maksudnya adat yakni kebiasaan-kebiasaan, tata cara atau peraturan-peraturan yang telah dibiasakan secara turun-temurun ditetapkan oleh raja atau penguasa (umara) dan hukum-hukum agama Islam difatwakan oleh para ulama. Sehubungan dengan hal tersebut dapat disebutkan bahwa adat pergaulan dan tata cara hidup etnis Aceh telah terjalin rapat dengan nafas Islam yang tidak terpisahkan itu. Ajaran-ajaran agama Islam yang dihayati oleh penduduk (orang Aceh) sejak dahulu masih membekas sampai sekarang. Salah satu warisan pengaruh agama yaitu tradisi bahasa tulisan yang ditulis dalam huruf Arab. Meskipun etnis Aceh mempunyai bahasa sendiri yang disebut bahasa Aceh (termasuk rumpun bahasa Austronesia), tetapi tidak memiliki sistem huruf khas bahasa Aceh asli. Berbagai karya (kitab) yang dikarang oleh para ulama (pada masa kerajaan) ditulis dengan huruf Arab. Ada yang dalam bahasa Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe dan juga bahasa Aceh serta Arab. Dapat dikatakan semua generasi tua mengenal huruf Arab (bahasa Jawi) ini didapatkannya melalui pendidikan agama. Selanjutnya di sini diketengahkan beberapa segi adat istiadat dan pandangan hidup etnis Aceh Menurut Rusdi Sufi ada beberapa karakteristik yang khas dari masyarakat Aceh yaitu,

Memberi Salam
Suatu cara khas etnis Aceh yang juga ada pada suku bangsa Indonesia lain ialah dalam hal bertamu ke tempat seseorang yang belum dikenalnya. Sebelum ia masuk ke rumah yang punya terlebih dahulu ia menyapa penghuninya dengan menggunakan kata assalamu 'alaikum (bukan dengan sesuatu sebutan yang lain dari itu) yang artinya seperti sama-sama kita maklumi, moga-moga anda (sekalian) sejahtera. Ini adalah suatu sikap hidup yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umatnva.
Karena Islam itu damai, maka setiap pemeluknya disuruh supaya ia hidup berdamai dengan sesamanya. Menjawab salam ini wajib hukumnya. Jika ucapan salam itu tidak dijawab karena ketiadaan penghuni umpamanya, maka tamu tadi tidak akan masuk ke dalam rumah yang didatanginya itu, ia segera beranjak dari tempat ini untuk menghindarkan fitnah. Ini sesuai dengan maksud A1 Qur'an surat An-Nur ayat 27 dan 61.

Tangan Kiri atau Kaki
Seorang Aceh tidak akan menyerahkan, menerima sesuatu atau menghimbau seseorang dengan tangan kirinya, baik secara berkelakar apalagi secara bersungguh-sungguhan. Dalam hal ini tangan kiri dianggap paling tidak sopan karena kegunaannya hanyalah untuk membersihkan bahagian tubuh setelah melakukan hajat besar. Pengertian kiri dan kanan dalam pandangan orang Aceh sudah jelas, analog dengan yang tercantum dalam A1 Qur'an surat Al-Haqqah ayat 19 dan 25 atau surat Al Waqiah ayat 8, 9, 41 dan 90 atau surat A1 Insyiqaq ayat 7. Begitu juga halnya bercanda dengan menggunakan kaki, baik kiri ataupun kanan sesuatu yang paling pantang.

Memegang Kepala
Kepala merupakan bahagian tubuh yang ditakdirkan 'Tuhan berada di atas sekali. Di situ dipusatkan indera-indera terpenting seperti otak, mata, telinga, mulut dan lidah, yang kemudian baru berhubungan dengan organ-organ tubuh yang lain ke bawah. Dalam pandangan orang Aceh memegang atau mengambil penutup kepala yang sedang dipakai seseorang, baik secara berkelakar apalagi secara sengaja merupakan hal yang sangat dilarang.

Yang Dituakan
Dalam pergaulan hidup orang Aceh, seseorang yang lebih tua usianya dipandang terhormat. Dengan tua di sini dimaksudkan seseorang yang telah lama hidup dan telah berpengalaman serta dengan sendirinya lebih bijaksana dalam tindak-tanduknya dibandingkan dengan seseorang yang masih berusia muda. Dalam hal ini tidak berarti bahwa seperti halnya sekarang pemuda yang telah bergelar sarjana dipandang tidak terhormat.

Jiran
Jiran atau tetangga merupakan kelompok orang yang paling rapat hubungannya dengan orang Aceh. Kendatipun orang itu mempunyai saudara kandung atau famili yang bagaimanapun besar martabatnya, tetapi jauh daripadanya, namun .jiran atau tetangga yang walaupun tidak seagama dan sesuku dengannya merupakan kelompok orang yang sangat berarti baginya. Oleh karena itu, seorang Aceh tidak akan merasakan asing jika ia berdiam dekat dengan seseorang yang berlainan suku bangsa atau agama yang dianutnya. Dia dapat merasakan hubungan kekeluargaan vang mesra dengan jirannya dalam batas pandangan-pandangan hidupnya.

Damai
Karena cara hidup orang Aceh terjalin dengan unsur-unsur agama Islam seperti telah disinggung di atas, maka sesuai dengan maksud dan tujuan Islam sendiri, pada prinsipnya setiap orang Aceh itu berperasaan damai di hatinya terhadap siapapm sejauh ia tidak dipandang remeh atau dihina oleh sesuatu golongan lain. Makna salam yang diucapkan pada setiap waktu bertemu dan berpisah dimana pun tempatnya itu sebenarnya merupakan ajaran bagi seorang Aceh untuk hidup damai dengan segala makhluk Allah di muka bumi ini.
Dalam pandangan orang Aceh, taloe atau kalah merupakan hal yang sangat negatif. Jika ia merasa taloe atau tersisih dari suatu pergaulan masyarakat, maka ia akan keluar dari kampungya dan pergi berdiam di tempat lain dimana orang belum mengenal dirinya dengan maksud agar ia dapat hidup secara terhormat kembali. Oleh karena itu, prinsip hidup berdamai itu sangat penting bagi seorang Aceh, suatu sikap yang dipertahankan secara sungguh-sungguh. Ihi pula maka setiap sengketa di kampung Aceh selalu dibawa kepada titik perdamaian yang dilakukan oleh kepala kampung bersama anggota-anggota pemerintah kampung itu. Pengertian taloe atau kalah yang disebut di atas bukanlah istilah yang biasa dipergunakan dalam permainan seperti permainan bola.
Sehubungan dengan prinsip hidup damai itu dalam penghidupan orang Aceh dikenal pula sebuah ucapan vang berbunyi sihet bek rho bah habeh maksudnya miring jangan tumpah biarlah, artinya daripada miring-miring atau tanggung-¬tanggung, biarlah tumpah atau sungguh-sungguh sekali asal tidak sampai malu. Prinsip hidup ini berarti bahwa orang Aceh hanya mengenal sahabat yang setiap saja, sahabat yang benar-benar seperasaan dan sependeritaan dengannya dan untuk sahabat yang sedemikian ia rela mengorbankan apa saja, jika perlu nyawapun akan rela dikorbankan.

Dendam
Dalam buku-buku yang dikarang oleh orang-orang Belanda pada masa lalu ada yang menyebutkan bahwa orang Aceh itu pendendam. Gambaran ini sebenarnya keliru. Orang Aceh sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya sebenarnya hanya mengenal kata tueng bila, maksudnya menuntut bela. Seorang Aceh akan menuntut bela atas setiap kerugian yang dideritanya. Menuntut bela menurut Islam adalah wajib. Ini dijelaskan dalam Al Qur'an surat A1 Baqarah ayat 178 atau surat A1 Maidah ayat 45. Akan tetapi, karena prinsip hidup orang Aceh yang lebih menyukai damai itu, maka menjadi tugas bagi eumbah dan ma di sebuah kampung sebagai tokoh-tokoh yang berwibawa untuk bertindak, sehingga semua persoalan sengketa dapat dinetralkan kembali di dalam pergaulan masyarakat di kampung itu.
Memang dalam bahasa Aceh ada perkataan dendam yang disebut dam. Akan tetapi, penggunaannya sangat negatif Jadi, jika dalam praktik terjadi penyimpangan daripada yang disebut di atas, maka orang itu tidak memahami prinsip hidupnya sebagai seorang Aceh.

Pergaulan
Dari beberapa hal yang telah dicoba dijelaskan untuk dikemukakan tadi jelas bahwa bagi setiap orang Aceh tidak merupakan masalah untuk berasimilasi dengan setiap orang di luar sukunya. baik di dalam maupun di luar daerahnya sendiri. Sikap hidup ini sebenarnya sudah ada dalam darah setiap orang Aceh jika diingat bahwa orang Aceh merupakan percampuran darah dengan bangsa lain seperti telah diutarakan di atas.
Kekeluargaan
Pada masa dahulu dimana setiap kaum itu mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka keluarga itu mempunyai arti yang penting sekali. Peperangan di antara satu daerah dengan daerah lain telah membuat setiap keluarga itu amat menonjol dan bertanggung jawab satu dengan yang lain, sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa menurut asal-usulnya bangsa Aceh itu terdiri atas 4 kaum atau suku.

C. Struktur Masyarakat
Berdasarkan pendekatan historis, lapisan masyarakat Aceh yang paling menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan yaitu golongan umara dan golongan ulama. Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah dalam suatu unit wilayah kekuasaan. Contohnya seperti jabatan Sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, Uleebalang sebagai pinpinan unit pemerintahan Nanggroe (negeri), Panglima Sagoe (Panglima Sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unti pemerintahan Mukim dan Keuchiek atau Geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan Gampong (kampung). Kesemua mereka atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniawian atau kelompok elite sekuler.
Sementara golongan ulama yang menjadi pimpinan yang mengurusi masalah-masalah keagamaan (hukom atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius. Oleh karena para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah seorang yang berilmu, yang dalam istilah Aceh disebut ureung nyang malem. Dengan demikian tebntunya sesuai dengan predikat/sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok Ulama ini dapat disebut yaitu :
1. Tengku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan pada suatu unit pemerintahan Gampong (kampung).
2. Imum Mukim (Imam Mukim), yaitu yang mengurusi masalah keagamaan pada tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan.
3. Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang dipandang mengerti mengenai hukum agama pada tingkat kerajaan dan juga pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang.
4. Teungku-teungku, yaitu pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi mereka yang sudah cukup tinggi tangkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chiek
Selain pembagian atas kedua kelompok tersebut di atas, yang paling menonjol dalam masyarakat Aceh tempo doeloe, juga dalam masyarakat Aceh terdapat lapisan-lapisan lain seperti kelompok Sayed yang bergelar habib untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Kelompok ini dikatakan berasal dari keturunan Nabi Muhammad. Jadi kelompok Sayed ini juga merupakan lapisan tersendiri dalam masyarakat Aceh.
Pelapisan masyarakat Aceh juga dapat dilihat dari segi harta yang mereka miliki. Untuk itu maka ada golongan hartawan/orang kaya dan rakyat biasa (Ureung leue). Selain itu, penggolongan masyarakat Aceh dapat dibagi pula kedalam empat kelompok, yaitu golongan penguasa, terdiri atas penguasa pemerintahan dan pegawai negeri; kelompok ulama, yaitu orang-orang yang berpengetahuan di bidang agama; kelompok hartawan (mereka yang memiliki kekayaan), dan kelompok rakyat biasa.

D. Bahasa
Orang Aceh mempunyai bahasa sendiri yakni bahasa Aceh, yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Aceh terdiri dari beberapa dialek, di antaranya dialek Peusangan, Banda, Bueng, Daya, Pase, Pidie, Tunong, Seunagan, Matang dan Meulaboh, tetapi yang terpenting adalah dialek Banda. Dialek ini dipakai di Banda Aceh. Dalam tata bahasanya, Bahasa Aceh tidak mengenal akhiran untuk membentuk kata yang baru, sedangkan dalam sistem fonetiknya, tanda 'eu' kebanyakan dipakai tanda pepet (bunyi e).
Dalam bahasa Aceh, banyak kata yang bersuku satu. Hal ini terjadi karena hilangnya satu vokal pada kata-kata yang bersuku dua, seperti "turun " menjadi" tron", karena hilangnya suku pertama, seperti "daun" menjadi "beuec". Di samping itu banyak pula kata-kata yang sama dengan bahasa-bahasa indonesia bagian timur.
Masyarakat Aceh yang berdiam di kota umumnya mengunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar baik dalam keluarga atau dalam kehidupan sosial. Namun demikian masyarakat Aceh yang berada di kota tersebut mengerti dengan pengucapan bahasa Aceh. Selain itu ada pula masyarakat yang memadukan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Aceh dalam berkomunikasi. Pada masyarakat Aceh di pedesaan, bahasa Aceh lebih dominan dipergunakan dalam kehidupan sosial mereka Dalam sistem bahasa tulisan tidak ditemui sistem huruf khas bahasa Aceh asli.
Tradisi bahasa tulisan ditulis dalam huruf Arab - Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe. Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu. Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah datangnya Islam di Aceh, banyak orang tua orang tua Aceh yang masih bisa membaca huruf Jawi ini.

E. Permainan Tradisional
1. Geulayang Tunang
Geulayang Tunang terdiri dari dua kata yaitu geulayang yang berarti layang-layang dan Tunang yang berarti pertandingan. Jadi geulayang tunang adalah pertandingan layang-layang atau adu layang yang diselenggarakan pada waktu tertentu. Permainan ini sangat digemari di berbagai daerah di Aceh. Mengenai nama permainan ini kadang-kadang juga ada pula yang menyebutnya adud geulayang. Kedua istilah yang disebutkan terakhir sama artinya, hanya lokasinyalah yang berbeda.
Pada zaman dahulu permainan ini diselenggarakan sebagai pengisi waktu setelah mereka panen padi. Sebagai pengisi waktu, permainan ini sangat bersifat rekreatif. Oleh karena itu, permainan ini sering kali dilombakan dalam acara peringatan hari kemerdekaan RI atau event-event lainnya.

2. Geudeue-Geudeue
Geudeue-geudeue atau disebut juga due-due adalah permainan ketangkasan yang terdapat di Pidie. Di samping ketangkasan, gesit, keberanian dan ketabahan pemain geudeue-geudeue harus bertubuh tegap dan kuat. Permainan ini kadang-kadang berbahaya karena permainan ini merupakan permainan adu kekuatan.
Cara memainkannya adalah seorang yang berbadan tegap tampil di arena. Ia menantang dua orang lain yang juga bertubuh tegap. Pihak pertama mengajak pihak kedua yang terdiri dari 2 orang supaya menyerbu kepadanya. Ketika terjadi penyerbuan, pihak pertama memukul dan menghempaskan penyerangnya (pok), sedangkan pihak yang pihak kedua menghempaskan pihak yang pertama.
Dalam tiap permainan bertindak 4 orang juru pemisah yang disebut ureueng seumubla (juri), yang berdiri selang-seling mengawasi setiap pemain.
3. Peupok Leumo
Peupok leumo adalah sejenis permainan yang khas terdapat di Aceh Besar. Permainan ini merupakan suatu permainan mengadu sapi. Permainan ini sebelumnya berkembang di kalangan peternak sapi. Zaman dahulu lazimnya peupok leumo diselenggarakan oleh sekelompok peternak yang berada pada satu lokasi seperti yang berada pada satu kampung atau lebih luas lagi satu mukim, diselenggarakan seminggu sekali. Untuk menentukan hari-hari penyelenggaraan setiap hari minggu, Jumat atau hari-hari lainnya. Dapat juga diselenggarakan pada sore hari, pukul 16.00-18.00.
Selain peupok leumo masih ada lagi acara peupok leumo tunang, yaitu permainan peupok leumo untuk mencari sapi yang akan keluar sebagai pemenang. Acara peupok leumo tunang ini biasanya diselenggarakan oleh sebuah panitia. Waktunya tergantung kepada cuaca dan musim-musim tertentu seperti sehabis panen atau waktu-waktu lain seperti pada hari-hari besar dan sebagainya.

4. Pacu Kude
Pacu kude dapat diartikan duduk di atas kuda yang lari atau dapat diartikan sebagai pacuan kuda. Permainan ini terdapat di Kabupaten Aceh Tengah. Karena daerah ini terdapat padang rumput yang sangat luas serta kuda adalah alat angkutan yang sangat praktis di daerah pegunungan, di samping dipergunakan untuk membajak sawah.
Sehabis panen kuda-kuda ini tidak mempunyai kegiatan apa-apa yang dianggap penting. Waktu-waktu seperti itu sering kuda-kuda tersebut berlari-lari berkelompok. Kebiasaan ini dikoordinir akhirnya terbentuk permainan pacu kude.
Pada awalnya permainan ini adalah permainan informal, tidak ada aturan yang baku untuk dilaksanakan. Namun lama kelamaan, permainan ini ditingkatkan menjadi permainan resmi dan terdapat aturan-aturan yang harus dipatuhi. Akhirnya, pada bulan Agustus 1930 pertandingan pacu kude resmi diselenggarakan dalam rangka memperingati hari kelahiran Ratu Belanda, Welhilmina. Saat ini, pacu kude diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI. Adapun aturan-aturan dalam permainan ini di antaranya joki adalah orang laki-laki berumur 12-20 tahun dan beratnya dibatasi maksimum 40 kg.

5. Peh Kayee
Meuen Peh Kayee disebut juga meuen gok atau meuen sungkeet. Para pemain adalah anak-anak yang sudah bisa berhitung, karena untuk mengakhiri permainan dengan hitungan. Perlengkapan yang dibutuhkan sebuah gagang sepanjang lebih kurang 60 cm yang dipergunakan sebagai alat untuk memukul dan sebuah anak kayu sepanjang lebih kurang 10 sampai 15 cm untuk dipukul oleh pemain, juga dibutuhkan lapanga yang luas. Gagang dan anak kayu biasanya dari pelepah rumbia yang telah dipotong-potong dan dibulatkan dengan maksud tidak mencederai bagi pemainkarena ringan.
Dalam permainan peh kayee ada beberapa istilah, yaitu boh sungkeet, boh peh, dan boh jeungki. Boh Sungkeet adalah bola pertama dalam memulai permainan dengan menyungkit anak yang telah diletakkan diatas lobang yang telah disediakan dengan gagang sekuat mungkin ke arah lawan. Boh Peh adalah bola kedua di mana anak diumpamakan sebagai bola sesudah dilambung ke atas kemudian dipukul sekuat mungkin ke arah lawan. Boh Jeungki adalah bola ketiga dimana anak diletakkan secara membujur yang sebagian berada di dalam lubang dan kemudian dipukul bagian atas sampai naik, setelah naik diusahakan untuk dipukul secara lemah beberapa kali, seandainya tidak dapat dipukul secara lemah barulah dipukul yang kuat ke arah lawan.

F.. Kesenian
1. Saman
Tarian saman diciptakan dan dikembangkan oleh seorang tokoh Agama Islam bernama Syeh Saman. Syair saman dipergunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh. Tarian ini tidak mempunyai iringan permainan, karena dengan gerakan-gerakan tangan dan syair yang dilagukan, telah membuat suasana menjadi gembira. Lagu-lagu (gerak-gerak tari) pada dasarnya adalah sama, yakni dengan tepukan tangan, tepukan dada dan tepukan di atas lutut, mengangkat tangan ke atas secara bergantian.

2. Tari Likok Pulo Aceh
Tarian ini lahir sekitar tahun 1849, diciptakan oleh seorang Ulama tua berasal dari Arab, yang hanyut di laut dan terdampar di Pulo Aceh atau sering juga disebut Pulau (beras). Diadakan sesudah menanam padi atau sesudah, biasanya pertunjukan dilangsungkan pada malam hari bahkan jika tarian dipertandingkan berjalam semalam suntuk sampai pagi. Tarian dimainkan dengan posisi duduk bersimpuh, berbanjar bahu membahu. Seorang pemain utama yang disebut syeh berada di tengah-tengah pemain. Dua orang penabuh rapai berada dibelakang atau sisi kiri/kanan pemain. Sedangkan gerak tari hanya memfungsikan anggota tubuh bagian atas, badan, tangan dan kepala. Gerakan tari pada prinsipnya ialah gerakan olah tubuh, keterampilan, keseragaman/keserentakan dengan memfungsikan tangan sama-sama ke depan, kesamping kiri atau kanan, ke atas dan melingkar dari depan ke belakang, dengan tempo mula lambat hingga cepat.

3. Laweut
Laweut berasal dari kata Salawat, sanjungan yang ditujukan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Sebelum sebutan laweut dipakai, pertama sekali disebut Akoon (seudati Inong). Laweut ditetapkan namanya pada Pekan Kebudayaan Aceh II/PKA II). Tarian ini berasal dari Pidie dan telah berkembang di seluruh Aceh. Gerak tari ini, yaitu penari dari arah kiri atas dan kanan atas dengan jalan gerakan barisan memasuki pentas dan langsung membuat komposisi berbanjar satu, menghadap penonton, memberi salam hormat dengan mengangkat kedua belah tangan sebatas dada, kemudian mulai melakukan gerakan-gerakan tarian.

4. Tari Pho
Perkataan pho berasal dari kata peuba-e, peubae artinya meratoh atau meratap. Pho adalah panggilan/sebutan penghormatan dari rakyat/hamba kepada Yang Maha Kuasa yaitu Po Teu Allah. Bila raja yang sudah almarhum disebut Po Teumeureuhom. Tarian ini dibawakan oleh para wanita, dahulu biasanya dilakukan pada kematian orang besar dan raja-raja, didasarkan atas permohonan kepada Yang Maha Kuasa, mengeluarkan isi hati yang sedih karena ditimpa kemalangan atau meratap melahirkan kesedihan-kesedihan yang diiringi ratap tangis. Sejak berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak lagi ditonjolkan pada waktu kematian, dan telah menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan pada upacara-upacara adat.

5. Seudati
Sebelum adanya seudati, sudah ada kesenian yang seperti itu dinamakan retoih, atau saman, kemudian baru ditetapkan nama syahadati dan disingkat menjadi seudati. Pemain seudati terdiri dari 8 orang pemain dengan 2 orang anak syahi berperan sebagai vokalis, salah seorang diangkat sebagai syekh, yaitu pimpinan group seudati. Seudati tidak diiringi oleh instrument musik apapun. Irama dan tempo tarian, ditentukan oleh irama dan tempo dari lagu yang dibawakan pada beberapa adegan oleh petikan jari dan tepukan tangan ke dada serta hentakan kaki ke tanah. Tepukan dada memberikan suara seolah-olah ada sesuatu bahan logam di bagian dada atau perut yang dilengketkan sehingga bila dipukul mengeluarkan suara getar dan gema.

G. Senjata
Selain meriam dan senjata api, ketika rakyat Aceh melawan Belanda juga mempergunakan senjata-senjata tradisional. Berdasarkan penggunaannya senjata-senjata stradisional yang terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga). Pertama senjata yang berfungsi untuk menyerang, kedua senjata untuk membela diri dan ketiga senjata yang bergerak sendiri. Adapun senjata-senjata untuk menyerang antara lain :
1. Reuncong (Rencong)
Ada empat macam rencong yang menjadi senjata andalan masyarakat Aceh, yaitu pertama reuncong Meucugek. Disebut rencong meucugek karena pada gagang rencong tersebut terdapat suatu bentuk panahan dan perekat yang dalam istilah Aceh disebut cugek atau meucugek Cugek ini diperlukan untuk mudah dipegang dan tidak mudah lepas waktu menikam ke badan lawan atau musuh.
Kedua, Reuncong Meupucok memiliki pucuk di atas gagangnya yang terbuat dari ukiran logam yang pada umumnya dari emas. Gagang dari rencong meupucok ini kelihatan agak kecil pada gagang atau pegangan pada bagian bawahnya. Namun semakin ke ujung gagang ini semakin membesar. Jenis rencong semacam ini digunakan untuk hiasan atau sebagai alat perhiasan. Biasanya, rencong ini dipakai pada upacara-upacara resmi yang berhubungan dengan masalah adat dan kesenian. Ukiran yang terdapat pada gagang rencong bermacam-macam bentuknya, ada yang menyerupai bungan mawar, kembang daun dan lainnya tergantung kepada selera pemakai.
Ketiga, Reuncong Pudoi. Istilah pudoi dalam masyarakat Aceh adalah sesuatu yang dianggap masih kekurangan, atau masih ada yang belum sempurna. Gagang rencong ini hanya lurus saja dan pendek sekali. Jadi, yang dimaksud pudoi atau yang belum sempurna adalah pada bentuk gagang rencong tersebut.
Keempat, Reuncong Meukuree. Perbedaan rencong meukuree dengan jenis rencong lain adalah pada mata rencong. Mata rencong diberi hiasan tertentu seperti gambar ular, lipan, bunga dan lainnya. Gambar-gambar tersebut oleh pandai besi ditafsirkan dengan bermacam-macam kelebihan dan keistimewaan. Rencong yang disimpan lama maka pada mulanya akan terbentuk sejenis aritan atau bentuk yang disebut kuree. Semakin lama atau semakin tua usia sebuah rencong makin banyak pula kuree yang terdapat pada mata rencong yang bersangkutan. Kuree ini dianggap mempunyai kekuatan magis.
2. Siwaih
Senjata ini sejenis dengan rencong yang juga merupakan senjata untuk menyerang. Bentuknya hampir sama dengan rencong tetapi siwaih ukurannya (baik besar maupun panjang) melebihi dari pada rencong. Siwaih sangat langka ditemui, selain harganya yang mahal, juga merupakan bahagian dari perlengkapan raja-raja atau ulebalang-ulebalang.
3. Peudeung (Pedang)
Pedang digunakan sebagai senjata untuk menyerang. Jika rencong digunakan untuk menikam, maka pedang digunakan beriringan dengan itu, yaitu sebagai senjata untuk mentetak atau mencincang. Berdasarkan daerah asal pedang, di Aceh dikenal beberapa macam pedang yaitu peudeung Habsyah (dari negara Abbesinia), Peudeung Poertugis (dari Eropa Barat), Peudeung Turki berasal dari raja-raja Turki.
Berdasarkan bilah atau bentuk mata pedang, masyarakat mengenal nama-nama pedang sebagai berikut peudeung on teubee sejenis pedang yang bilah atau matanya menyerupai daun tebu. Pedang ini dibuat sedemikian rupa, panjangnya kira-kira 100 Cm (sudah termasuk gagangnya). Umumnya terbuat dari besi, bentunya lebih halus dan lebih kecil dari peudeung on jok. Peudeung on jok sesuai dengan namanya menyerupai daun enau atau daun nira. Bentuknya lebih kasar dan tebal dari peudeung on teubee dan sedikit agak pendek dari peudeung on teubee.
Berdasarkan bentuk gagangnya, jenis pedang adalah sebagai berikut pertama, Peudeung Tumpang Jingki, gagangnya seperti mulut yang sedang terbuka dan seakan-akan dapat menahan sandaran benda lain di atasnya. Gagang pedang ini berasal dari tanduk dan matanya dari besi. Panjang keseluruhannya mencapai 70 Cm. Bentuknya hampir serupa dengan peudeung tumpang beunteung yang lazim disebut oleh masyarakat Pidie. Kedua, Peudeung Ulee Meu-apet, pada gagangnya terdapat apet atau penahan untuk tidak mudah terlepas. Jenis pedang ini selalu ditempatkan di dalam sarungnya. Bahkan amat jarang dikeluarkan. Pedang ini dianggap mempunyai kekuatan magis, pantang dikeluarkan disembarangan tempat dan waktu. Ketiga, Peudeung Ulee Tapak Guda, gagangnya menyerupai telapak kaki kuda. Gagangnya dibuat dari tanduk, dan bilahnya dari besi. Panjangnya mencapai 72 Cm. Di samping jenis pedang yang telah disebut di atas, didapati nama-nama lainnya seperti Peudeung ulee iku mie karena gagangnya menyerupai ekor kucing, peudeung ulee iku itek, karena gagangnya menyerupai ekor bebek, Peudeung ulee babah buya karena gagangnya seperti mulut buaya, peudeung lapan sago gagangnya bersegi delapan. Ada satu pedang yang sering diceritakan dan disebut-sebut orangtua di Aceh yaitu peudeung Zulfaka yang mengandung kekuatan magis tinggi karena berasal dari Saidina Ali Radhiallahu'anhu.

H. Adat-Istiadat
1. Upacara Perkawinan
Perkawinan adalah sesuatu yang sangat sakral di dalam budaya masyarakat Aceh sebab hal ini berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan. Perkawinan mempunyai nuansa tersendiri dan sangat dihormati oleh masyarakat. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan serangkaian aktivitas yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari pemilihan jodoh (suami/istri), pertunangan dan hingga upacara peresmian perkawinan.
Suatu kebiasaan bagi masyarakat Aceh, sebelum pesta perkawinan dilangsungkan, terlebih dahulu tiga hari tiga malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca (berinai) bagi pengantin laki-laki dan pengantin perempuan di rumahnya masing-masing. Tampak kedua belah tangan dan kaki pengantin dihiasi dengan inai. Selama upacara meugaca/boh gaca pada malamnya diadakan malam pertunjukan kesenian seperti tari rabana, hikayat, pho, silat, dan meuhaba atau kaba (cerita dongeng).
Pada puncak acara peresmian perkawinan, maka diadakan acara pernikahan. Acara ini dilakukan oleh kadli yang telah mendapat wakilah (kuasa) dari ayah dara baro. Qadli didampingi oleh dua orang saksi di samping majelis lainnya yang dianggap juga sebagai saksi. Kemudian jinamai (mahar) diperlihatkan kepada majelis dan selanjutnya kadli membaca do'a (khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih yang diikuti oleh linto baro dengan fasih pula. Apabila lafadz sudah dianggap sempurna, kadli mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila saksi belum menyetujui, maka linto harus mengulangi lagi lafadz nikah tersebut dengan sempurna.
Setelah selesai acara nikah, linto baro dibimbing ke pelaminan persandingan, di mana dara baro telah terlebih dahulu duduk menunggu. Sementara itu dara baro bangkit dari pelaminan untuk menyembah suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot linto. Setelah dara baro seumah teuot linto, maka linto baro memberikan sejumlah uang kepada dara baro yang disebut dengan pengseumemah (uang sembah).
Selama acara persandingan ini, kedua mempelai dibimbing oleh seorang nek peungajo. Biasanya yang menjadi peungajo adalah seorang wanita tua. Kemudian kedua mempelai itu diberikan makan dalam sebuah pingan meututop (piring adat) yang indah dan besar bentuknya. Selanjutnya, kedua mempelai tadi di peusunteng (disuntingi) oleh sanak keluarga kedua belah pihak yang kemudian diikuti oleh para jiran (tetangga). Keluarga pihak linto baro menyuntingi (peusijuk/menepung tawari) dara baro dan keluarga pihak dara baro menyuntingi pula linto baro. Tiap-tiap orang yang menyuntingi selain menepung tawari dan melekatkan pulut kuning di telinga temanten, juga memberikan sejumlah uang yang disebut teumentuk. Acara peusunteng ini lazimnya didahului oleh ibu linto baro, yang kemudian disusul oleh orang lain secara bergantian.
Apabila acara peusunteng sudah selesai, maka rombongan linto baro minta ijin untuk pulang ke rumahnya. Linto baro turut pula dibawa pulang. Ada kalanya pula linto baro tidak dibawa pulang, ia tidur di rumah dara baro, tetapi pada pagi-pagi benar linto baro harus sudah meninggalkan rumah dara baro. Karena malu menurut adat, bila seorang linto baro masih di rumah dara baro sampai siang.

2. Upacara Peutron Tanoh (Turun Tanah)
Upacara turun tanah (peutron tanoh) diadakan setelah bayi berumur tujuh hari atau 2 tahun. Dalam jangka waktu yang cukup untuk mempersiapkannya, lebih-lebih anak pertama yang sering diadakan upacara cukup besar, dengan memotong kerbau atau lembu. Pada upacara ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekertinya. Orang yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus. Waktu turun dari tangga ditundungi dengan sehelai kain yang dipegang oleh empat orang pada setiap sisi kain itu. Di atas kain tersebut dibelah kelapa agar bayi tadi tidak takut terhadap suara petir. Belahan kelapa dilempar dan sebelah lagi dilempar kepada wali karong. Salah seorang keluarga dengan bergegas menyapu tanah dan yang lain menampi beras bila bayi itu perempuan, sedangkan bila bayi itu laki-laki salah seorang keluarga tersebut mencangkul tanah, mencencang batang pisang atau batang tebu. Kemudian sejenak bayi itu dijejakkan di atas tanah dan akhirnya dibawa berkeliling rumah atau mesjid sampai bayi itu dibawa pulang kembali ke rumah.

I. Tradisi Makan dan Minum
Makanan pokok masyarakat Aceh adalah nasi. Perbedaan yang cukup menyolok di dalam tradisi makan dan minum masyarakat Aceh dengan masyarakat lain di Indonesia adalah pada lauk-pauknya. Lauk-pauk yang biasa dimakan oleh masyarakat Aceh sangat spesifik dan bercitra rasa seperti masakan India. Lauk-pauk utama masyarakat Aceh dapat berupa ikan, daging (kambing/sapi). Di antara makanan khas Aceh adalah gulai kambing (Kari Kambing), sie reboih, keumamah, eungkot paya (ikan Paya), mie Aceh, dan Martabak. Selain itu, juga ada nasi gurih yang biasa dimakan pada pagi hari. Sedangkan dalam tradisi minum pada masyarakat Aceh adalah kopi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada pagi hari kita melihat warung-warung di Aceh penuh sesak orang yang sedang menikmati makan pagi dengan nasi gurih, ketan/pulut, ditemani secangkir kopi atau pada siang hari sambil bercengkrama dengan teman sejawat makan nasi dengan kari kambing, dan sebagainya.


Daftar Bacaan

Abdul Baqir Zein. 1999. Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia. Jakarta: Gema Insani.

Agus Budi Wibowo, 1996. “Memaknai Kepahlawanan Teuku Chik Tunong”, dalam Serambi Indonesia 21 November .
A. Hasjmy. 1996. Wanita Aceh sebagai Negarawan dan Panglima Perang. Jakarta: Bulan Bintang.
Aslam Nur. 2003. Ramadhan..... Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Aceh Utara. A Fascinating Tourism of North Aceh. Lhokseumawe: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Aceh Utara.
Doty Damayanti, 2003. “Mencari Jejak Kejayaan Kerajaan Samudra Pasai”, Kompas 15 November hal. 31.
Elly Darmi, 2002. “Legenda Sang Nago dan Tuanku Tapa”, Naskah lomba Menulis Cerita Rakyat Daerah. Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh.
Hermanto, 2003. “Pesona Wisata Singkil”, dalam Buletin Wisata Aceh. No XXXI/Januari-April 2003. Banda Aceh: Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
H.C. Zentgraaff. 1982/1983. Aceh. Jakarta: Depdikbud, Terj. Firdaus Burhan.
K.F.H. Van Langen. 1888. “De Inrichting van het Atjehsche Staatbestuur onder het Sultanaat”, BKI 5. ‘s-Gravenhage.
M. Arifin Gapi dkk. 1980/1981. Pemetaan Beberapa Objek Sejarah Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh: Unsyiah.
M. Hasan Basri dan Ibrahim Alfian, 1990. Perang Kolonial Belanda di Aceh. Banda Aceh: PDIA.
M. Hisyam. 2002. “Beberapa Catatan Sejarah Tentang Hidup Hamzah Fansuri. Makalah Internasional Menelusuri Jejak Syeikh hamzah al-Fansuri: Intelektual, Sufi, dan Sastrawan tanggal 15-17 Januari.
Muh Nasir Age, 2003. “Mesjid Cot Plieng Kisah Serdadu Jepang Pembakar Mesjid dan Masuk Islam”, Waspada 15 November hal. 13
Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo.2005. Jelajah Aceh. Banda Aceh: Dinas Pariwisata Provinsi NAD.

GELIAT PERDAGANGAN ACEH PADA ZAMAN KESULTANAN

Oleh: Sudirman (BPSNT Banda Aceh)


Abstrak
Dalam perkembangan peradaban Nusantara, Aceh merupakan salah satu kerajaan yang memiliki dasar nilai-nilai kebudayaan kebaharian. Sebagai kerajaan maritim yang kuat di Asia Tenggara, telah mendasarkan politik kerajaan pada penguasaan dalam jalur perdagangan. Sebagai salah satu kota tertua di antara ibukota propinsi dan kota-kota besar yang terdapat di dalam gugusan Kepulauan Nusantara, Banda Aceh bersama-sama dengan Malaka pernah menduduki posisi penting dalam arus lalu lintas perdagangan Timur dan Barat pada abad ke XVI – XVII. Bagaimana sistem ekonomi yang dijalankan oleh kesultanan Aceh pada waktu itu, sehingga telah membawa rakyatnya pada puncak kemakmuran. Faktor prilaku masyarakat yang berjiwa dagang dan Posisi geografi yang terletak pada ujung utara pulau Sumatera dan pada sebuah teluk yang memungkinkan kapal-kapal niaga keluar-masuk ke jurusan Birma, Benggala atau Srilangka, Kalikut, Malaka, dan pantai barat Sumatera memberi keuntungan bagi Aceh dan daerah sekitarnya dalam kontak perniagaan Timur-Barat semenjak dahulu kala.

A. Pendahuluan
Sebelum kedatangan bangsa Barat, kegiatan perdagangan di wilayah Nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan Internasional. Jalan perniagaan melalui laut telah dimulai dari Cina melalui laut Cina, Selat Malaka, India, Teluk Persia, Suriah hingga ke laut Tengah.
Tiada seorangpun kiranya yang membantah bahwa Banda Aceh tergolong ke dalam kelompok kota tertua di antara ibukota propinsi dan kota-kota besar yang terdapat di dalam gugusan Kepulauan Nusantara. Ia bersama-sama dengan Malaka telah pernah menduduki posisi penting dalam arus lalu lintas perdagangan Timur dan Barat.
Dari perkembangan sejarah itu, ada hal yang menarik untuk dicermati, berbagai jenis infrastruktur ekonomi penting seperti transportasi, pelabuhan, keagenan dan lembaga keuangan belum berkembang seperti yang ada sekarang ini. Namun, tidak menghalangi para pedagang untuk mengembangkan usahanya.

B. Pedagang
Pelaku-pelaku yang terlibat dalam perdagangan itu terdiri atas pedagang keliling dan pedagang lokal, pedagang keliling umumnya berasal dari pendatang bangsa asing yang menyinggahi pelabuhan Aceh untuk bongkar-memuat barang dagangan. Mereka terdiri atas bangsa-bangsa Eropa (Portugis, Inggris, Perancis dan Belanda), bangsa Amerika Serikat, bangsa-bangsa India (keling, Malabar, Gujarat) bangsa Turki, bangsa Arab, bangsa Persia, bangsa Birma (Pegu), bangsa Cina, dan pedagang dari Nusantara dan Semenanjung Melayu.
Ibukota kerajaan Aceh menjadi ramai, kadangkala pedagang-pedagang keliling itu menetap dan membentuk kampung-kampung di dalam kota, seperti kampung Keudah, kampung Jawa, kampung Peulanggahan, atau kampung Pande, yang ada di Banda Aceh. Besar kemungkinan nama kampung yang sampai sekarang masih ada, misalnya, kampung Jawa, kampung Pahang, kampung Kedah, kampung Perak, kampung Pegu, dan kampung Keling, merupakan tempat tinggal para pedagang-pedagang tersebut. Pedagang lokal umumnya terdiri atas kaum bangsawan atau orang kaya.
C. Komoditas Dagangan
Aceh pada waktu itu banyak menghasilkan hasil bumi yang sangat dibutuhkan oleh pedagang-pedagang Nusantara dan luar Nusantara. Pada abad ke-17 bahkan semenjak abad ke-14 sutera banyak dihasilkan di daerah Aceh : Para petani mengusahakan sutera dalam jumlah yang besar, yang diolah menjadi berbagai barang yang sangat digemari di seluruh pulau Sumatera. Adapun lada telah menjadi barang ekspor yang pokok. Ekspornya dahulu ke Cina, kemudian meningkat karena permintaan yang mendesak dari pedagang Barat, baik pedagang Islam maupun pedagang non-muslim Eropa. Walaupun pada mulanya tanaman lada belum begitu dikembangkan di Aceh, bahkan pada tahun 1621 M belum mencapai 500 bahar setiap tahun. Hal itu disebabkan keperluan beras yang mendesak sehingga banyak tanaman lada yang dicabut.
Pusat-pusat utama penghasil lada pada waktu itu ke selatan dan barat pulau Sumatera. Kemudian di Semenanjung Melayu, pulau Langkawi dan di Kedah. Pada suatu waktu karena harga lada yang ditetapkan oleh Sultan Iskandar Muda terlalu tinggi, Beaulieu secara diam-diam mencari sendiri lada ke Kedah dan Langkawi.
Di samping mengambil posisi sebagai "enterpot" dari komoditas ekspor, Kota Banda Aceh memerlukan berbagai komoditas impor yang dibutuhkan bagi keperluan penduduk. Sukar sekali kita peroleh angka-angka tentang jumlah satuan barang yang diperniagakan di dalam kota. Namun bagaimanapun, jumlah barang yang dikonsumsi tentu berkaitan erat dengan jumlah penduduk yang mendiami kota dan daerah hinterlandnya. Nicolaus de Graaf, orang Belanda yang datang ke Aceh pada tahun 1641 M, dan Dampier, orang Inggris pada tahun 1688 M, mengatakan kota Banda Aceh mempunyai keliling 2 mil dengan jumlah rumah sekitar 7000 atau 8000 buah. Perkiraan di atas kelihatannya tidak jauh meleset dengan yang dilakukan oleh Anderson pada permulaan tahun 1800 M yang menyatakan pen¬duduk Bandar Aceh Darussalam adalah 36.000 jiwa.
Jenis mata dagangan lain yang diperdagangkan pada waktu itu adalah gajah dan kuda, belerang (tanah cempaga). Hasil hutan yang tinggi harganya adalah kayu cendana, sapang, damar, kemenyan putih, kemeyan hitam, kapur, akar pucuk, minyak rasa mala, kulit kayu masui, lada, bunga bawang, gading, tali dari sabut kelapa dan sutera. Mata dagangan yang didatangkan ke Bandar Aceh Darussalam antara lain ; beras, tembakau, opium, kain, mesiu, dan bahan tembikar, sarang burung, pewarna ; senam (tarum), sidelingam (vermiliun), manjakani (majakane), kesumba, hartal, dan tawas.
Sebaliknya pelabuhan Aceh mengimpor untuk keperluannya sendiri atau untuk diekspor kembali, yang terdiri atas bahan makanan : beras, mentega (minyak barang guci), gula, anggur, kurma. Jenis logam : timah putih, timah hitam, besi batangan, besi biji atau lempengan, baja dan jenis tekstil : yang kebanyakan diimpor dari Gujarat, Benggala, yaitu kain tenun. Beberapa barang kerajinan tangan : berbagai macam tembikar (mangkok, batu, pinggan batu) guci pegu, cermin, paku, sabun, kipas, kertas dasa. Bahan perangsang : candu, kopi, teh, tembakau. Beberapa barang mewah : batu karang (pualam), air mawar peti, dan bahkan budak secara tebusan.
Apabila diperhatikan dari komoditas yang diperniagakan di atas, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi. Komoditas ekspor terdiri atas hasil hutan atau hasil perkebunan dalam bentuk ladang yang tidak menuntut suatu teknologi tinggi atau organisasi sosial yang rumit. Lada merupakan primadona ekspor pada waktu itupun dikerjakan dengan sistem perladangan oleh petani. Apabila petani-petani itu terkonsentrasi pada sebuah areal maka terbentuklah persekutuannya yang disebut seuneubok, sementara jika petani petani itu dimodali oleh orang lain, pemodal tersebut yang umumnya kaum bangsawan dinamai peutuha pangkay.
Transaksi perniagaan telah pula memunculkan sistem takaran, timbangan dan mata uang. satuan takaran atau timbangan yang berlaku tampaknya terkait dengan sistem umum yang berlaku di kawasan barat Nusantara pada waktu itu ; yaitu koyan, bahar, pikul, dan kati.

D. Mata Uang
Transaksi perniagaan telah pula memunculkan sistem takaran, timbangan dan mata uang. Satuan takaran atau timbangan yang berlaku tampaknya terkait dengan sistem umum yang berlaku di kawasan barat Nusantara pada waktu itu ; yaitu koyan, bahar, pikul, dan kati. Satuan mata uang yang dipakai sebagai alat transaksi adalah mata uang asing, yaitu dollar Spanyol atau ringgit meriam dan mata uang lokal, seperti derham, mas, suku, kupang dan busuk.
Menurut catatan sejarah, semenjak abad XII dan abad XIII sudah berlangsung hubungan perdagangan antara negeri Cina dan India (Cambay) dengan kerajaan Pasai. Pedagang-pedagang Cina yang menggunakan perahu-perahu Jong yang berdagang pada kota-kota pelabuhan dalam wilayah kerajaan Pasai pada waktu itu telah mempergunakan mata uang perak yang bernama ketun sebagai alat tukar dalam mendapatkan barang-barang dari penduduk setempat.
Orang-orang Potugis selanjutnya juga mengedarkan mata uang ringgit bergambar tiang yang populer dengan sebutan ringgiet Spanyol (ringgit Spanyol), namun orang-orang Aceh menamakan mata uang itu dengan nama ringgiet meriam. Karena pada mata uang itu terdapat dua buah pilar yang menyerupai meriam. Mata uang ringgit meriam itu dikenal secara luas di Aceh dan dinamakan juga reyal yang dalam istilah Aceh disebut rieyeu, sebagai alat tukar khususnya dalam transaksi lada. Sebagaimana disebutkan dalam karya Pieter van Dam bahwa alat pembayaran dalam pembelian lada di Aceh digunakan uang reyal. Apabila sebelum datang orang-orang Belanda dan Inggris ke Aceh harga lada sekitar 8 riyal per bahar (1 bahar + 375 lbs Inggris), maka setelah datang pedagang-pedagang tersebut naik menjadi 20 riyal per bahar, dan ketika datang pedagang-pedagang Perancis naik lagi hingga menjadi 48 reyal per bahar.
Selain reyal atau ringgit meriam itu orang-orang Portugis mengedarkan pula tiga jenis mata uang tembaga, yaitu mata uang tembaga yang ukurannya sebesar ringgit meriam, dengan tulisan Arab di salah satu sisinya yang berbunyi empat kepeng, disebut dengan nama duet (duit). Mata uang tembaga yang lebih kecil dengan tulisan Arab yang berbunyi dua kepeng. Mata uang itu tidak mempunyai nama dalam istilah Aceh. Mata uang tembaga berbentuk kecil dengan tulisan Arab berbunyi satu kepeng.
Selain mata uang tersebut di atas menurut Tom Pires di kerajaan-kerajaan pada bagian pantai timur Sumatera, di pusat-pusat kerajaan telah digunakan jenis-jenis mata uang tertentu sebagai alat tukar dalam perdagangan. Di Kerajaan Pedir terdapat mata uang dari timah bentuknya kecil yang disebut keuh dan mata uang dari emas disebut drama serta mata uang yang dibuat dari perak yang disebut tanga yaitu jenis mata uang yang menyerupai uang Siam.
Kerajaan Aceh Darusslam baru mengeluarkan mata uang emas sendiri pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayatsyah al-Kahhar (1537-1568 M), yang populer dengan sebutan Sultan al-Kahhar. Menurut sumber lokal (kisah lada sicupak) sultan al-Kahhar pernah mengirim utusan kepada sultan Turki dan sebaliknya oleh Sultan Turki dikirim ke Aceh ahli-ahli dalam berbagai bidang keterampilan seperti ahli dalam pembuatan senjata (penuangan meriam) dan juga para ahli dalam pembuatan mata uang. Kepada orang-orang Turki inilah Sultan al-Kahhar menyuruh membuat mata uang emas yang juga disebut dengan nama deureuham, menurut nama mata uang Arab. Sultan Aceh menetapkan ringgit Spanyol sebagai kesatuan mata uang yang hendak dilaksanakan itu. Ditetapkan pula bahwa dari sejumlah emas untuk satu ringgit Spanyol dapat ditempa menjadi 4 deureuham, sehingga 4 deureuham sama dengan satu ringgit Spanyol. Selanjutnya, mutu emas yang diperlukan untuk mata uang emas harus pula memenuhi syarat, yaitu kadar harus sikureueng mutu (sembilan mutu).
Dari orang-orang Inggris sultan Aceh membeli mata uang tembaga yang di atasnya dibubuhi gambar seekor ayam betina, yang dinamakan duet manok (mata uang ayam betina). Sultan menetapkan pula bahwa untuk 1000 duet manok sama nilainya dengan 1 ringgit Spanyol. Adapun hitungan mata uang yang ditetapkan sultan adalah : 1 ringgit meriam sama dengan 4 meuih (mas), 1 meuih (mas) sama dengan 250 duet manok.
Selain membuat mata uang emas yang disebut deureuham, kerajaan Aceh pada waktu itu juga membuat mata uang dari timah yang dinamakan keuh. John Davis nahkoda pada kapal Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman datang ke kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayatsyah Al Mukammil (1588-1604 M) menyebutkan ada dua jenis mata uang utama yang beredar di kerajaan Aceh pada waktu itu, yaitu mata uang emas yang bentuknya sebesar uang sen di Inggris dan mata uang dari timah yang disebut casches (mungkin keuh dalam bahasa Aceh, orang Portugis menyebutnya caxa, dibuat dari timah dan kuningan, Belanda menyebutnya kasja atau kasje). Selain kedua jenis mata uang utama tersebut, terdapat pula jenis-jenis mata uang lain seperti kupang (mata uang yang dibuat dari perak), pardu (juga terbuat dari perak yang ditempa oleh Portugis di Goa), dan tahil. Adapun nilai dari setiap mata uang tersebut : nilai 1600 casches sama dengan 1 kupang ; 4 kupang sama dengan satu deureuham, 5 deureuham (uang emas) sama dengan 4 schelling Inggris, 4 uang emas sama dengan 1 pardu dan 4 pardu sama dengan 1 tahil.
Sistem mata uang tersebut tidak mengalami perubahan hingga pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Pada masa Sultan Iskandar Muda menetapkan suatu ketentuan terhadap mata uang emas yaitu dari jumlah emas yang sama tanpa mengubah kadar emasnya, 1 uang emas (1 deureuham) dijadikan 5 deureuham. Walaupun nilai emas yang sebenarnya telah dikurangi, tetapi nilai peredarannya masih tetap dapat dipertahankan seperti sebelumnya. 4 deuereuham emas tetap bernilai 1 ringgit Spanyol dalam peredarannya.
Pada masa pemerintahan Tajul Alam Safiatuddin Syah (641-1675 M) puteri Sultan Iskandar Muda, dilakukan lagi pengurangan timbangan emas dari sebuah deureuham ; bahkan ia juga mengurangi pula kadar emasnya. Dari jumlah emas untuk menempa satu ringgit Spanyol ia menyruh tempa menjadi 6 buah deureuham dengan mengurangi kadar emasnya dari 9 menjadi 8 mutu meuih atau menurut hitungan emas Belanda menjadi 19,2 karat. Walaupun demikian deureuham itu tidak berubah dalam nilai sirkulasinya seperti sebelumnya. Sultanah Safiatuddin juga memerintahkan supaya dikumpulkan semua deureuham yang telah diperbuat sebelum masa pemerintahannya untuk kemudian dilebur menjadi deureuham baru. Oleh karena itu, deureuham-deureuham yang berasal dari sultan sebelum ini sangat sulit diperoleh.
Sesudah pemerintahan Tajul Alam, tidak ada lagi sultan-sultan di Kerajaan Aceh yang menempa mata uang deureuham. Baru pada masa pemerintahan Sultan Syamsul Alam (1723 M) ditempa sejenis mata uang yang dinamakan keuh Cot Bada. Disebut demikian karena mata uang itu beredar di wilayah Cot Bada saja yang memiliki pasar sangat ramai. Nilainya 140 keueh Cot Bada itu sama dengan 1 ringgit Spanyol. Selanjutnya pengganti Sultan Syamsul Alam yaitu Sultan Alauddin Ahmadsyah (1723-1735 M) menempa lagi pecahan mata uang timah yang juga dinamakan keueh. Ia menetapkan bahwa 800 keueh itu bernilai 1 ringgit Spanyol. Dengan demikian, mata uang berlaku di Kerajaan Aceh pada waktu itu, yaitu 1 ringgit Spanyol sama dengan 4 deureuham, 1 deureuham sama dengan 200 keueh.
Pembuatan mata uang keueh terus berlanjut pada masa pemerintahan sultan-sultan selanjutnya hingga yang terakhir yaitu Sultan Alauddin Mahmudsyah (1870-1874 M). Semenjak waktu itu dan seterusnya Kerajaan Aceh terlibat perang dengan Belanda.
Berbeda dengan deureuham yang berlaku di seluruh kerajaan Aceh, sirkulasi mata uang keueh itu terbatas di wilayah Aceh Besar saja. Di Pidie, misalnya, mata uang itu tidak berlaku sebagai alat tukar. Di daerah itu ulebalang-ulebalangnya mendapat izin untuk menempa mata uang sendiri yang dinamakan gupang (kupang) dan busok yang dibuat dari perak. Pembuatnya ialah orang-orang Keling.

E. Pasar
Pasar yang terdapat di dalam kota Bandar Aceh Darussalam hendaknya jangan diartikan sebagai pasar moderen yang bersifat konkrit, melainkan lebih bersifat abstrak, artinya produsen dan konsumen melakukan transaksi di tempat-tempat itu, lokasi pasar kelihatannya kerapkali berubah sesuai dengan situasi politik dalam ibukota. Sebagai contoh pada masa permulaan pemerintahan Sultan Alaiddin Jauhansyah (1735-1760), saingannya Sultan Jamal alam Badr al-Munir, menjadikan kampung Jawa sebagai pusat kegiatan perniagaan. Pejabat Kesultanan yang bertanggung jawab terhadap pelabuhan dan pasar di sebut Syahbandar.
Menurut peta-peta ibukota yang dibuat oleh Belanda pada permulaan perang Aceh, lokasi Peukan Aceh terletak pada pertemuan Krueng Daroy dengan Krueng Aceh atau pada lokasi kantor C.P.M sekarang.

F. Pelabuhan
Upaya-upaya perluasan daerah yang di lakukan oleh sultan Aceh menjadikan Aceh meliputi jaringan yang luas. Puncaknya pada Abad ke-17 kerajaan Aceh berdiri kuat ; tidak hanya menguasai pantai-pantai tetapi juga hampir seluruh perniagaan pantai timur dan barat pulau Sumatera dan di Semenanjung Tanah Melayu, seperti Johor, Kedah, Pahang dan Perak, dikendalikan oleh kerajaan Aceh.
Sultan Aceh mewajibkan para penanam lada di setiap daerah kekuasaannya untuk menjual panen lada mereka ke pasar Aceh. Oleh sultan Aceh, hasil rempah-rempat itu dijual kembali kepada bangsa asing melalui pelabuhan di Banda Aceh. Kebutuhan akan tenaga kerja pertanian untuk menanam padi dan lada mendorong sultan untuk mendatangkan tenaga kerja terutama dari daerah-daerah yang ditaklukkannya.
Sultan mengusahakan sebanyak mungkin pedagang untuk berdagang di pelabuhannya. Setiap orang asing yang ingin berdagang di salah satu pelabuhan vasal Aceh harus singgah terlebih dahulu di Banda Aceh dan meminta surat pas sesuai dengan paraturan yang berlaku di kerajaan Aceh.
Perlu diketahui bahwa persepsi pelabuhan pada waktu itu jangan disamakan dengan perkembangan pelabuhan pada zaman sekarang, pada waktu itu pelabuhan kebanyakan hanya dengan memanfaatkan muara-muara sungai, seperti muara sungai Aceh.
G. Pertambangan dan Perindustrian
Industri ringan dan berat berkembang pesat di kerajaan Aceh. Ahli-ahli dalam bidang industri dinamakan pande, seperti pande meueh, pande beusoe, pande kaye, pande kapai, dan sebagainya. Tempat-tempat industri itu dinamakan teumpeuen, bahkan terdapat kompleks sebagai daerah industri, yaitu gampong pande.
Beaulieu menceritakan hasil-hasil hutan yang banyak dihasilkan disebutkan di antaranya ; minyak tanah, di Deli terdapat sumber minyak yang mereka anggap tidak bakal bisa dipadamkan apabila dibakar, dan bisa terbakar di laut : sultan Aceh dengan minyak itu pernah membakar dua kapal Portugis yang sedang diperanginya di dekat Malaka. Belerang (tanah cempaka), sekitar enam jam ke arah timur Banda Aceh banyak menghasilkan belerang seperti halnya di Sabang. Kamper (kapur), di Singkel didapati setiap tahun banyak kamper yang dengan tekun dikumpulkan oleh masyarakat dan dijual sekitar 15,16 real sekati, timbangan 28 ons. Kemenyan, di daerah Barus banyak menghasilkan kemenyan, bahkan kemenyan tersebut dipakai sebagai alat tukar di pasar untuk mendapatkan kebutuhan mereka. Emas, diperoleh dari hasil galian secara kecil-kecilan. Emas tersebut kadang-kadang dimanfaatkan dengan menukarnya dengan beras, senjata dan kain katun dari orang-orang Minangkabau dan dengan lada, garam, dan baja.

G. Penutup
Pengalaman Banda Aceh dalam perniagaan menunjukkan betapa pertautan yang erat antara kegiatan perniagaan dengan kegiatan politik. Kejayaan kota itu sebagai salah satu pusat perniagaan di kawasan barat Nusantara pada permulaan pertama abad ke-17 hendaklah dilihat dalam konteks kemampuan sultan untuk menjadikan Kota Banda Aceh sebagai pusat kekuasaan pada waktu itu. Ketika kekuasaan sultan merosot, posisi Banda Aceh sebagai entrepot itu bukan saja diambil alih oleh pusat-pusat baru, seperti Penang dan Singapura, dengan fasilitas infrastruktur moderen yang dibangun oleh pemerintah kolonial, melainkan juga Kota Banda Aceh terpaksa berbagi kegiatan dagang dengan pelabuhan-pelabuhan lain yang muncul di pantai barat dan utara Aceh. Demikian pula era pelabuhan bebas Sabang yang telah menghidupkan kegiatan perdagangan di Kota Banda Aceh harus juga dilihat dalam kerangka pertautan politik dengan dunia dagang.
Bandar Aceh Darussalam sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Aceh, salah satu Bandar perdagangan yang ramai semenjak abad ke-16. Berbeda dengan Malaka pada periode sebelumnya yang hanya mengambil keuntungan dari fungsinya sebagai pelabuhan transito saja, Bandar Aceh justru menggabungkan kedua unsur, baik sebagai pelabuhan transito maupun daerah agraris penghasil berbagai hasil bumi yang berasal dari daerah pedalaman.
Profesi dagang dalam ajaran Islam adalah usaha yang mulia dan merupakan salah satu aktivitas ekonomi masyarakat yang telah berkembang demikian lama dalam sejarah kehidupan social-ekonomi masyarakat Aceh. Perkembangan profesi ini telah mendorong suatu perubahan yang mendasar pada berbagai aspek sosio-kultural masyarakat Aceh pada masa itu.

Daftar Pustaka

Alfian, T. Ibrahim, Mata Uang Kerajaan-Kerajaan di Aceh (Banda Aceh : Museum Aceh, 1986).
Ar-Raniri, Nuruddin, Bustanussalatin, disusun oleh T. Iskandar (Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka, 1966)
Jacobs Julius, Het Familie en Kampongleven op Groot Atjeh deel II, (Leiden : E. J. Brill, 1894)
Tjandrasasmita, Uka (ed), Sejarah Nasional Indonesia jilid II, (Jakarta : Depdikbud, 1981/1982)
Reid, Anthony, Southeast Asia in the Age of Commerce, New Haven : Yale University Press, jilid II, 1993.
van Dam, Pieter, Beschrijving van de Oost-Indische Compagnie, deel I, (s’Gravenhage : Martinus Nijhoff, 1923.
Van Langen, K.F.H., ”De Inrichting van het Atjehsche Staatsbertuur onder het Sultanaat” dalam BKI 37 (1888).

Kamis, 19 Februari 2009

Krisis Nasional dan Masa Peralihan di Aceh (1965-1967)

Oleh: Rusdi Sufi

I
Tanggal 16 September 1963, Pengadilan Negeri Sigli (ibukota Kabupaten Pidie, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) yang dipimpin oleh hakim Chudari, menjatuhkan hukuman dua tahun penjara atas Thaib Adamy, wakil sekretaris pertama Komite Partai Komunis Indonesia (PKI) Aceh. Thaib Adamy juga sebagai anggota yang mewakili PKI di DPRD-GR Propinsi Daerah Istimewa Aceh pada waktu itu.
Hukuman dijatuhkan berdasarkan tuduhan bahwa Thaib Adamy dalam pidatonya pada rapat umum PKI tanggal 3 Maret 1963 di Gedung Bioskop Purnama Sigli, terbukti telah melakukan kesalahan, yaitu menyiarkan kabar bohong dan menghasut rakyat. Tindakan ini dinilai dapat menimbulkan keonaran dan sekaligus menghina aparat pemerintah. Adapun undang-undang yang dipakai sebagai landasan hukum yang dipergunakan hakim untuk memutuskan perkara ialah pasal-pasal 14-15 Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 dan pasal-pasal 154-160 KUHP, sesuai dengan tuntutan jaksa tinggi pengganti, Muhammad Hasan Basri, SH.
Peristiwa itulah merupakan dari awal malapetaka PKI dan orang-orangnya di Aceh dan terjadi justru pada waktu PKI sedang berada di puncak kejayaannya. Di saat kehidupan berserikat atau berpolitik dengan memakai cara-cara radikal atau revolusioner yang mengejawantahkan diri misalnya, dalam pengerahan massa, pidato atau rapat umum yang disertai yel-yel revolusioner, serta debat dalam badan perwakilan seperti yang lazim digunakan PKI pada waktu itu.
Dua tahun sebelum terjadinya gerakan yang terkenal dengan G. 30 S PKI tahun 1965 yang konon digerakkan oleh PKI, salah seorang tokoh PKI Aceh Thaib Adamy, telah memulai aksinya di daerah ini. Semenjak tahun 1963 sebagai oratornya PKI ia melakukan penggalangan massa melalui rapat-rapat umum pada beberapa ibukota Kabupaten di Aceh. Dalam setiap rapat umum ini Thaib Adamy melakukan semacam kampanye dengan menjelek-jelekkan kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah pada waktu itu. Setelah peristiwa G 30 S terjadi dan kemudian diketahui bahwa dalang dari peristiwa tersebut adalah PKI, maka rakyat dan pemerintah di Aceh baru menyadari bahwa pidato-pidato yang dilakukan oleh Thaib Adamy tersebut merupakan rangkaian pra G 30 S yang telah membawa korban banyak jiwa manusia.
Sebagaimana disebutkan di atas pada 3 Maret 1963, Thaib Adamy berpidato di Sigli Kabupaten Pidie. Karena pidatonya ini dianggap sangat berbahaya bagi keselamatan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, maka atas perintah Panglima Kodam I Iskandar Muda yang pada waktu itu dijabat oleh Kolonel M. Yasin selaku Pedarmilda (Penguasa Daerah Militer Daerah Aceh) Thaib Adamy ditangkap. Penangkapan ini dilakukan pada tanggal 29 Maret 1963, berdasarkan laporan Mayor Abdullah Hanafiah selaku Dandim 0102 Sigli pada waktu itu.
Sidang-sidang Pengadilan Negeri Sigli yang mengadili terdakwa Thaib Adamy pada waktu itu berlangsung di aula Kodim 0102 yang dihadiri serta mendapat perhatian dari rakyat yang antikomunis. Di samping itu, hadir pula simpatian PKI yang dikerahkan oleh organisasi tersebut untuk memberikan semangat bagi terdakwa dengan sorak dan tepuk tangan dicelah-celah pidato terdakwa dengan pengawalan ketat ABRI. Menurut buku Atjeh Mendakwa disebutkan bahwa setiap sidang dihadiri oleh 5.000-10.000 pengunjung. Patut diketahui bahwa partai komunis ini agak berkembang di Kecamatan Samalanga, Aceh Utara karena di daerah kecamatan ini pada tahun-tahun 1930-an merupakan daerah gerakan Sarikat Islam yang kemudian berkembang menjadi Sarikat Islam Merah yang merupakan embrio gerakan komunis. Tidak heran bila sewaktu sidang pengadilan Thaib Adamy diadakan sejak bulan Maret 1963 di Sigli, berduyun-duyun orang komunis dan simpatisannya berdatangan dari Samalanga untuk memberikan support kepada Thaib Adamy.
Perkara Thaib Adamy oleh PKI dianggap suatu proses terhadap diri Thaib Adamy juga adalah proses terhadap PKI, proses terhadap rakyat. “Ini juga merupakan tantangan terhadap ofensip Manipol”, demikian dikatakan Muhammad Samidikin, sekretaris pertama Comite PKI Aceh/anggota CC PKI pada waktu itu. Selanjutnya Muhammad Samidikin berkata bahwa walaupun ini terjadi di Aceh, tetapi mempunyai arti nasional yang penting dan merupakan suatu perkara politik revolusioner yang besar setelah SOB dihapuskan.
Dari enam kali sidang di mana Thaib Adamy berhadapan dengan hakim tunggal Chudari ia membela dirinya sendiri dengan pidato pembelaan tanggal 12 September 1963 yang diberi nama “Atjeh Mendakwa”. Secara yuridis ia dibela kawan dekatnya Syahrial Sandan dan Sofyan, S.H. dengan menghadirkan dua orang saksi pendukung, masing-masing Hasyim M.H. dan T.A. Rahman yang memberatkan terdakwa diajukan jaksa penuntut umum masing-masing Ibrahim Abduh (Bupati KDH Tingkat II Pidie), Mahyuddin Hasyim (wakil ketua DPR-GR Tingkat II Pidie), T. Ibrahim Hussien (Kabag Politik), A.R. Ibrahim (peninjau politik pada kantor Bupati Pidie) dan M. Hasan Yusuf dari Front Nasional/anggota BPH.
Beberapa catatan dari pidato Thaib Adamy pada waktu itu mengumpamakan negara Republik Indonesia sebagai suatu negara “antah berantah” yang dirangkumnya dalam suatu sajak. Ia menyebutnya Sajak Rakyat Aceh Zaman Dahulu Kala. Petikannya sebagai berikut,
Tajak bak geusyik lagee boh pik hana sagoe
Tajak bak bak mukim lagee bieng hana rampagou
Tajak bak aswed lagee langet hana urou
Tajak bak wedana lagee tima hana taloe
Tajak bak bupati lagee jeungki hana sujou
Tajak bak pulisi lagee keudidi keunong talou
Tajak bak tentera lagee nuga kayee jatou
Tajak bak gubernur lagee cinu hana garou
Tajak bak menteri lagee gusi hana gigoe
Artinya:
Pergi (mengadu) kepada kepala kampung bagai gambas tak bersegi
Pergi ke kepala mukim laksana kepiting tak berpenjepit
Pergi kepada aswed laksana langit tak bermatahari
Pergi ke wedana macam timba tak bertali
Pergi kepada bupati bagai penumpuk padi tak berbaji
Pergi kepada polisi bagai burung kedidi kena tali
Pergi ke tentara macam pentungan kayu jati
Pergi ke gubernur macam gayung tak bergagang
Pergi menghadap menteri bagai gusi tak bergigi.

Sajak Thaib Adamy dinilai memang mengada-ada dan tidak logis. Padahal pada masa tempo doloe rakyat Aceh belum mengenal istilah-istilah aswed (asisten wedana), bupati, wedana, dan sebagainya. Karenanya, apa yang disebut sajak Rakyat Aceh oleh Thaib Adamy dinilai jaksa sebagai suatu berita bohong dan isapan jempol belaka. Ia telah menghasut, memecah belah, dan menghina aparat pemerintah di daerah Aceh waktu itu.
Selain itu, dapat disebutkan pula satu lagi ucapan Thaib Adamy yang juga dikatakannya Sajak Rakyat Aceh Zaman Dahulu Kala. Petikannya demikian,
Uek keubeue uek, keubeue mate lam seunamuek
Pakon matee dikah keubeue ?
Hana sou rabe dilon hai po
Pakon han karabe dikah hai Cut ?
Saket pruet dilon hai po
Pakon sakeet dikah hai pruet ?
Bu meuntah dilon hai Po
Pakon meuntah dilon hai bu ?
Kayee basah dilon hai po
Pakon basah dilon hai kayee ?
Ujeun rah dilon hai po
Pakon kalakee dikah cangguek ?
Uleue bathuep dilon hai po
Pakon kabathuep dikah hai uleue ?
Kleueng sama dilon hai po ?
Pakon kasama dikah hai kleueng ?
Siwah tak dilon hai po
Pakon katak dikah hai siwah ?
Galak-galak kutak sigo.
Artinya
Uwak kerbau uwak, kerbau mati dalam kubangan
Mengapa mati dikau kerbau ?
Karena tak ada yang menggembala
Mengapa tak gembala hai buyung ?
Karena aku sakit perut
Mengapa sakit dikau hai perut ?
Karena kumakan nasi mentah
Mengapa mentah dikau hai nasi ?
Karena kayunya basah
Mengapa basah dikau hai kayu ?
Karena hujan menyiramiku
Mengapa kau siram wahai hujan ?
Karena katak memintaku.
Mengapa kau minta hai katak ?
Karena sang ular mematukku
Kenapa kau mematuk hai ular ?
Karena elang menyambarku
Untuk apa kau sambar hai elang ?
Karena siwah (burung rajawali) menyambarku
Mengapa kau sambar wahai siwah ?
Suka-suka kusambar sekali.
Sajak tersebut dinilai jaksa merupakan sinisme terdakwa. Di dalamnya tersimpan suatu perasaan permusuhan, kebencian, dan penghinaan terhadap aparat penguasa/pemerintah saat itu.
Setelah mendekam selama dua tahun dalam penjara Sigli dan begitu keluar dari sana ia disambut oleh kawan-kawannya dengan diadakan suatu rapat umum. Selesai rapat umum ini, populeralitas Thaib Adamy meningkat di kalangan pengikut dan simpatisannya. Ia merupakan tokoh PKI yang didaulat anggotanya untuk menyambut persiapan tibanya hari H yang telah dirancang para pemimpinnya, yaitu apa yang kita kenal kemudian G 30 S/PKI, yang merupakan awal terjadinya krisis nasional di Indonesia.
II
Selanjutnya, mengapa dan bagaimana partai yang beideologi komunis itu dapat hadir di tengah-tengah masyarakat Aceh yang penduduknya semua beragama Islam dan menganut agamanya secara fanatik. Di samping itu juga terdapat ungkapan yang berarti antara adat dengan syariat Islam telah menyatu seperti dikatakan dalam sebuah hadih maja Aceh yang berbunyi Adat ngon hukom lagee zat ngon Sipheuet (adat dan syariat Islam seperti zat dengan sifat).
Secara historis PKI sudah mulai berkembang di Aceh semenjak zaman kolonial Belanda yang dibawa oleh kaum pendatang. Hadirnya kekuasaan kolonial melalui berbagai infrastruktur yang dibangun dalam upaya memantapkan Daerah Aceh menjadi bagian integral dari wilayah Nedelandsch-Indie (Hindia Belanda) tentulah menimbulkan dampak tertentu terhadap ekosistem masyarakat Aceh. Struktur demografis masyarakat Aceh berubah cepat dengan kehadiran pendatang baru untuk bekerja pada sektor moderen, seperti pegawai pemerintah, pegawai kereta api, karyawan perusahaan, buruh kebun atau tambang, dan buruh pelabuhan atau pabrik yang dibangun oleh pemerintah kolonial. Sensus 1930 menunjukkan bahwa hampir 10 persen dari 1.003.62 jiwa penduduk Aceh pada waktu itu adalah pendatang dari luar. Hal ini berarti tiap 10 orang penduduk Aceh satu orang dari luar daerah. Mereka ini terkonsentrasi kalau bukan di kota-kota yaitu di perkebunan atau di kawasan pertambangan (Volkstelling 1930).
Penggunaan tenaga pendatang dalam pengoperasian sektor modern itu tentulah terkait erat dengan kondisi objektif tenaga kerja orang Aceh yang belum memiliki ketrampilan untuk masuk dalam sektor tersebut. Lagi pula sikap anti kafir dan keengganan bekerja sebagai buruh merupakan faktor penarik masuknya tenaga kerja dari luar daerah ke daerah Aceh ini pada waktu itu.
Para pendatang kebanyakan berada di seputar kota-kota dan kantong-kantong perkebunan atau pertambangan yang pada umumnya berada di kawasan Aceh Timur, khususnya di kota Langsa sebagai ibukota kabupaten.. Sementara orang-orang Aceh masih hidup di kampung-kampung (gampong) dengan pertanian sebagai basis kehidupannya. Masyarakat agraris Aceh ini berada di bawah kekuasaan kaum bangsawan sebagai puncak hirarki kekuasaan lokal yang telah mendapat pengakuan dari pemerintah kolonial.
Dengan situasi demikian ideologi komunis mulai merembes masuk ke wilayah Aceh tatkala gerakan tersebut memasuki Hindia Belanda pada akhir dasawarsa tahun 1910-an. Sudah dapat ditebak bahwa gerakan tersebut menapak pertama kali di daerah Aceh lewat pekerja-pekerja yang berasal dari luar kota atau pusat perkebunan dan pertambangan mengingat lokasi tersebut terintegrasi dengan dunia luar. Gembong kaum komunis di Aceh pada waktu itu umumnya berasal dari kaum pendatang. Menurut hasil Laporan Politik Hindia Belanda di Aceh, Mailr No. 899geh/26, Mailr No. 1304geh/33, dan Mailr No. 259geh/39 pada tahun 1920-an, yang memantau setiap kegiatan para aktivis partai komunis menyatakan bahwa mereka berusaha merekrut kaum buruh. Pada lokasi-lokasi perkebunan seperti disebut di atas terdapat dua saudara ipar asal Minangkabau, A. Karim M.S. dan Nathar Zainuddin, Minggu serta Maswan yang berasal dari Jawa, sebagai aktivitis komunis yang menonjol di Aceh pada waktu itu.
Meskipun pada mulanya sasaran propaganda komunis adalah para pekerja kebun, tambang, pelabuhan, buruh kereta api, pegawai pemerintahan lambat laun gerakan ini menjalar pula di kalangan orang Aceh yang telah mendapat pengaruh budaya urban (kota) yang tidak puas dengan struktur sosial masyarakat feodalistik. Hal ini dapat disaksikan misalnya pada diri Cut Din, putra seorang Kadhi Meusapat Meulaboh (Aceh Barat) dan T. Ali Basyah, mantan uleebalang Matang Kuli (Aceh Utara) yang telah diberhentikan oleh pemerintah kolonial Belanda, meskipun posisi mereka tidak begitu berpengaruh dalam menentukan kehidupan partai komunis di Aceh.
Seperti rekan-rekannya di Pulau Jawa, aktivis komunis terus mengambil beberapa tindakan untuk menohok kepentingan Belanda di Aceh. Pada 14-15 April 1926 malam diadakan sebuah rapat di bawah pimpinan Abdul Muluk, seorang propagandis asal Minangkabau yang berdomisili di Medan. Rapat berlangsung di Meunasah Ulee Ceue, Gampong Namploh, Samalanga. Dalam rapat itu membicarakan kegiatan dan usaha yang diperlukan oleh partai tersebut. Untuk itu, Maswan yang bekerja pada kantor Kas daerah, pada tanggal 31 Mei 1926 menggelapkan uang kas daerah sebanyak f 25.000 bagi keperluan pembiayaan operasi mereka. Rapat-rapat gelap serupa dalam upaya menyusun kekuatan kaum komunis juga berlangsung pada tempat-tempat yang lain.
Pemerintah Kolonial Belanda tentulah tidak tinggal diam menghadapi ancaman yang sedang diorganisir oleh kaum komunis itu. Polisi rahasia Belanda bergerak cepat untuk menindas gerakan ini sebelum menjadi besar. Para aktivis komunis di Aceh segera ditangkap dengan bermacam-macam tuduhan. Mereka semuanya dijatuhi hukuman berupa perintah untuk meninggalkan daerah Aceh (interniring). Di antara aktivis yang telah disebutkan di atas, hanya Cut Din yang dilepaskan kembali pada tahun 1932 setelah terlebih dahulu pemerintah kolonial mendapat jaminan dari ayahnya, sedangkan yang lain kebanyakan dari mereka dibuang ke Boven Digul, Irian.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa penangkapan-penangkapan yang terjadi pada aktivis komunis pada akhir tahun 1926 menyebabkan gerakan itu menjadi hilang dari daerah Aceh hingga akhir masa kekuasaan kolonial. Gerakan komunis memulai kembali riwayatnya di tanah Aceh adalah pada bulan November 1945, yaitu sebulan setelah pembentukan Karesidenan Aceh, dengan terbentuknya cabang PKI di bawah pimpinan Saiman di Kutaraja, PKI Aceh tunduk kepada komisaris PKI Sumatra di Medan yang pada waktu itu dijabat oleh A. Karim MS.
Dalam situasi revolusi kemerdekaan untuk membebaskan diri dari usaha kolonial Belanda yang berhasrat menguasai kembali Indonesia cukup dimengerti bila partai komunis ikut ambil bagian yang cukup penting. Karenanya pada bulan-bulan pertama revolusi, A. Karim MS, baik kedudukannya sebagai komisaris PKI Sumatra maupun sebagai residen yang diperbantukan pada kantor Gubernur Sumatra berkali-kali datang ke Aceh untuk menggembleng massa seraya melakukan pertemuan dengan kaum politisi di Kutaraja. Demikian pula onderbouw-onderbouw PKI seperti Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (Sobsi) membuka cabang-cabang baru pada basis-basis tradisional mereka, yaitu pusat pertambangan atau perkebunan, pelabuhan, kereta api, dan pabrik. Di samping itu, ditemukan pula beberapa generasi muda Aceh yang tergiur oleh slogan-slogan revolusioner. Ke dalam kelompok ini dapat digolongkan Thaib Adamy, wakil sekretaris Comite PKI Aceh, yang telah menjalin hubungan akrab dengan A. Karim MS.
Seirama dengan anggaran dasar PKI yang disahkan oleh Kongres VI tanggal 11-13 Januari 1947 di Solo dalam pasal 3 disebutkan PKI berusaha mencapai tujuannya dengan jalan perjuangan kelas yang revolusioner, yaitu perjuangan kelas buruh, tani dan golongan-golongan yang terhisap serta tertindas terhadap kelas berjouis. Sikap anti penindasan dan anti penyalahgunaan kekuasaan yang menjadi slogan PKI sebagaimana kutipan di atas, yang meronai perjuangan politiknya menyebabkan PKI kerap kali berada dalam posisi berhadapan dengan kelompok berkuasa di Aceh. Karenanya tatkala Tgk. A. Husein Al Mujahid dengan TPR (Tentara Perjuangan Rakyat) pada akhir Februari permulaan Maret 1946 melakukan aksi menurunkan kaum bangsawan dari tahta kekuasaannya di Aceh, yang dikenal dengan “Peristiwa Cumbok” atau “Revolusi Sosial”, dua tokoh komunis, yaitu Nathar Zainuddin dan Thaib Adamy ikut ambil bagian. Mereka menganggap gerakan tersebut merupakan gerakan pembebasan dari kesewenang-wenangan kaum ningrat di Aceh sebagai kelas berjouis.
Aliansi diantara PKI dengan kaum pembebas itu tidak selalu kekal.. Manakala kaum komunis menganggap pemerintah yang baru telah melakukan praktik yang serupa. Aktivis kaum komunis pun kembali menggerakkan massa mereka untuk menentang penguasa lewat agitasi politik dan masalah demokrasi. Konflik yang cukup seru antara aktivis komunis dengan kelompok berkuasa di Kutaraja terjadi pada akhir revolusi ketika masing-masing pihak ingin memperkokoh kekuasaannya pada pemilikan ladang minyak dan kebun, terutama di Aceh Timur. Salah satu letupannya dikenal dengan “Langsa Affair” pada bulan Mei 1949. Dan pada saat Aceh menjadi provinsi sendiri, tidak lagi di bawah Provinsi Sumatra Utara, PKI merupakan salah satu partai yang menentangnya. PKI tetap menginginkan Aceh tetap sebagai sebuah karesidenan di bawah Provinsi Sumatra Utara.
Mengingat situasi seperti tersebut di atas dapat dipahami sewaktu status otonomi daerah Aceh diperdebatkan pada tahun 1950-1953 aktivis komunis bergabung dengan kelompok unitaris lain supaya daerah Aceh tunduk sebagai bagian dari Provinsi Sumatra Utara. Sebab dari sudut kepentingan politik, mereka lebih dapat mengecap keuntungan dengan status karesidenan bagi daerah Aceh di bawah Provinsi Sumatra Utara.
Demikian pula tatkala gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DII/TII) meletus Partai Komunis merupakan salah satu unsur yang mendukung garis keras dalam memadamkan gerakan itu. Keberanian aktivis PKI memperjuangkan ide-idenya di Aceh semakin meningkat pada masa demokrasi terpimpin. Pada saat itu pimpinan partai komunis berada di awah pimpinan Muhammad Samadikin asal Jawa, sebagai sekretaris I Comite Daerah Aceh dan Thaib Adamy sebagai wakil sekretaris. Hal demikian terlihat bukan saja pada garis pendiriannya terhadap rencana menerapkan unsur-unsur syariat Islam di Aceh, melainkan juga pada perilaku politik di luar sewaktu mengembangkan pengaruh partai itu terhadap massa. Sebagai contoh Thaib Adamy, wakil sekretaris comite daerah, terpaksa berhadapan dengan Pengadilan Sigli pada bulan Agustus-September 1963 untuk mempertanggungjawabkan pidatonya dalam rapat umum PKI di kota Sigli pada tanggal 3 September 1963, sebagaimana telah disebutkan di atas, yang dianggap oleh penguasa daerah saat itu bersifat menghasut rakyat. Beberapa bulan sebelumnya kejadian mirip di atas juga menimpa sekretaris dan wakil sekretaris comite Aceh Utara, yaitu Ismael dan Ibrahim Sufi.
Sesungguhnya eksistensi PKI di Aceh sebelum 3 September 1965 memang legal, bukan partai terlarang dan sah-sah saja secara nasional seperti partai politik lainnya, kendati kekuatannya tidak begitu besar di elite kekuasaan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 2/211/50 – 129 tanggal 9 September 1961 anggota DPR-GR Daerah Istimewa Aceh jumlahnya 30 orang. PKI hanya diwakili oleh 2 orang anggota, yaitu Thaib Adamy dan Nyak Ismail (kemudian keduanya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Des 2/8/45 tanggal 24 – 4 1966 diberhentikan dengan tidak hormat, terhitung tanggal 30 September 1965). Meskipun di DPR-GR PKI diwakili oleh 2 orang anggota, namun PKI banyak mempunyai kader di lapisan bawah mereka dibujuk dengan cara menerjemahkan PKI sebagai Partai Kejayaan Islam, sedangkan BTI sebagai Barisan Tani Islam, sehingga orang awam Aceh menganggap organisasi tersebut sebagai organisasinya orang-orang Islam.
Memang propaganda dan sistem pengkaderan PKI dilakukan begitu gencar di Aceh seperti melibatkan para petani miskin, buruh-buruh perkebunan, buruh di sektor kota, pegawai pemerintahan golongan bawah bahkan para buruh perkeretaapian Aceh dan lain-lain. PKI dengan para pemimpinya seperti Thaib Adamy, Samadikin asal Jawa, dan Anas HC (Ketua Pemuda Rakyat di Aceh) asal Sumatra Barat memberikan alat-alat pertanian kepada petani dan bibit tanaman keras kepada buruh serta PKI pun menjanjikan kredit kepada pengusaha gurem dan kepada mahasiswa -onderbouw PKI yaitu CGMI- dijanjikan kuliah di Moskow dan RRC.
Namun dalam kenyataan mereka hampir tidak dapat menguasai penduduk di sekitar pesisir pantai (nelayan) seperti Pidie dan Aceh Utara. Ketika bulan Oktober 1965 bukti PKI di Aceh yang kelihatan hebat dan besar itu ternyata tidak berarti apa-apa ketika diamuk oleh massa pemuda Aceh. Banyak rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa ikut pula menjadi menjadi korban pada peristiwa G30 S yang terkenal itu.
Bagi masyarakat Aceh jelas PKI itu harus dibasmi karena PKI tidak bertuhan. Menurut massa pemuda Aceh, orang-orang PKI itu harus dieksekusi hukuman mati dan hukuman mati ini merupakan hukuman yang setimpal dengan gerakan yang dilakukan mereka, yang senantiasa merugikan negara serta mengancam UUD 1945 dan Pancasila.
III
Anggota PKI dan ormas-ormasnya di seluruh daerah Aceh berkisar belasan ribu. Jumlah anggota dapat mencapai belasan ribu ini setelah para pemimpinnya berani melancarkan kecaman-kecaman terhadap pemerintah, khususnya terhadap kebijaksanaan pemerintah daerah. Para pemimpin komunis seperti Thaib Adamy pada masa pra G 30 S rela membiarkan dirinya dihukum karena menghina pemerintah asal masyarakat simpati terhadap perjuangan PKI dan PKI berada di pihak yang benar. Moment-moment seperti itu mereka gunakan untuk membentuk opini publik. Ternyata, taktik yang mereka lancarkan itu berhasil. Satu demi satu masyarakat Aceh menjadi terpengaruh, terutama masyarakat awam yang tidak mengerti tentang masalah politik.
Masyarakat awam menganggap bahwa arah perjuangan PKI cukup bagus, sehingga jumlah anggota maupun simpatisan PKI di daerah Aceh semakin bertambah. Hal ini menyebabkan generasi muda Aceh kala itu menjadi cemas dan berusaha mengimbanginya. Beberapa tokoh mahasiswa yang juga anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) seperti Said Hasan Babud, Ali Basyah Amin, dan lain-lain secara diam-diam menemui Panglima Kodam I/Iskandar Muda yang waktu itu dijabat oleh Brigjend Ishak Djuarsa. Mereka minta agar membatasi ruang gerak PKI di Aceh, mengingat sepak terjangnya semakin mendesak generasi muda yang cinta Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan negara.
Sementara PKI secara terbuka mendesak terus agar pemerintah khususnya pemerintah daerah Istimewa Aceh segera membubarkan HMI. Empat bulan menjelang meletusnya G 30 S, PKI di Aceh telah mempersiapkan barisan angkatan kelimanya dan selalu mengadakan latihan di lapangan Neusu, Banda Aceh. Untuk mengimbangi hal tersebut para mahasiswa yang antikomunis mulai mengadakan aksi gelap yang menyebarkan pamplet yang isinya menyerang PKI. Kemudian membentuk resimen mahasiswa yang berlatih di Mata Ie, yang juga tempat latihan TNI. Selain itu, bermacam cara dilakukan oleh para mahasiswa dan ormas/orpol lainnya di Aceh untuk “menghantam” PKI. Adapun konseptor mahasiswa dalam melawan strategi dan ekspansi PKI di Aceh adalah Noor Majid.
Selain itu, para santri dari seluruh Dayah di Banda Aceh dan Aceh Besar juga turut dalam aksi melawan PKI. Pada masa itu Usman WD (mantam MW Sekjend KAMI Aceh) mengadakan kontak dengan para santri dan turut mengkoordinir rapat-rapat umum yang diadakan oleh barisan antikomunis untuk mengadakan perang urat syaraf terhadap PKI.
Muncullah tokoh-tokoh santri seperti Said Zainal Abidin, Yusuf Isa dan Hamdan. Mereka inilah yang menyebarkan pamflet menghantam PKI di tempat-tempat yang dianggap strategis, sehingga tidak urung ketiga tokoh santri ini terpaksa bersembunyi karena dikejar oleh petugas keamanan.
Pada tanggal 2 Oktober 1965 setelah meletusnya G 30 S para santri siap siaga. Begitu juga para mahasiswa di Kampus Darussalam. Barisan Pancasila ini awalnya menunggu dan belum berani bergerak karena belum ada yang mempelopori atau yang mengomandoinya. Pada 2 Oktober tengah malam diterimalah informasi melalui Noor Majid bahwa PKI lah yang mendalangi peristiwa G 30 S yang telah merenggut 7 jiwa para jenderal Angkatan Darat.
Mereka pun mengadakan rapat dan membentuk markas mahasiswa. Kemudian dari tugu Darussalam para mahasiswa membawa 3 bendera Dewan Mahasiswa dan Bendera Senat menuju Biro Rektor Syiah Kuala, Biro Rektor IAIN dan Dekan Koordinator IKIP Bandung Cabang Banda Aceh. Di sini para mahasiswa membuat pernyataan yang isinya mengutuk G 30 S yang dikatakan dalangnya adalah PKI.
Setelah itu dengan mengendarai tiga mobil para mahasiswa bergerak dari Darussalam membawa bendera merah putih dan mengibarkannya di depan Hotel Nyak Sarong Jl. Muhammad Jam Banda Aceh. Saat itulah bermunculan bendera-bendera ormas pendukung Pancasila dan UUD 1945.
Setelah beredar kabar secara luas bahwa G 30 S benar-benar didalangi oleh PKI yaitu melalui Surat Keputusan No. Kep/Pepelrada-29/10/1965 Panglima Daerah Pertahanan A selaku Penguasa Palaksanaan Dwikora Daerah untuk Daerah Istimewa Atjeh, Brigadir Jenderal Ishak Juarsa menetapkan membekukan dan menghentikan sementara waktu semua kegiatan PKI Aceh dengan organisasi-organisasi onderbouw-onderbouwnya. Selain itu, juga didukung oleh Keputusan-keputusan Musyawarah Alim Ulama se Daerah Istimewa Atjeh, yang antara lain mengambil keputusan ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan haram dianut oleh umat Islam, pelaku/dalang G 30 S adalah kafir harbi yang wajib ditumpas habis, pembubaran PKI dan larangan penyebaran atheisme dalam bentuk apa pun adalah wajib dilakukan.
Di Banda Aceh sebagai ibukota Propinsi Daerah Istimewa Aceh pada saat itu, penumpasan terhadap gerakan PKI paling cepat berlangsung. Menurut seorang informan hanya sekali PKI di daerah ini melancarkan aksinya setelah Letnan Kolonel Untung mengumumkan susunan Dewan Revolusi melalui RRI Jakarta. Mereka menyebarkan selebaran gelap berupa pamflet yang isinya menyebutkan bahwa Kampung Keudah, Banda Aceh akan dibumi hanguskan. Selebaran gelap itu ternyata cukup membuat panik masyarakat di kawasan itu. Namun si pelaku berhasil diamankan setelah Said Umar Al Habsyi (Wadan Kie Legiun Veteran) mengkoordinir masyarakat yang benar-benar Pancasilais berjaga-jaga selama 24 jam. Suasana saat itu atau tiga hari setelah meletusnya G 30 S di Jakarta cukup mencemaskan. Masyarakat mendengar di Jakarta ada penculikan Jenderal TNI AD namun menjadi tanda tanya siapa yang menjadi biang keladi gerakan penculikan tersebut. Bahkan sebagian masyarakat mengira Letnan Kolonel Untung sebagai pahlawan karena berhasil menyelamatkan Presiden Soekarno, seperti yang disiarkan melalui RRI.
Sedangkan massa rakyat yang Pancasilais belum berani mengambil tindakan dan anehnya orang-orang PKI termasuk gembongnya seperti sudah mengetahui apa yang bakal akan menimpa mereka. Orang-orang komunis ini mulai minta perlindungan, baik ke kepolisian yang kala itu bernama distrik Aceh Besar maupun ke Kodam I/Iskandar Muda.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Pangdam I/Iskandar Muda yang pada waktu itu dijabat Brigadir Jenderal TNI Ishak Juarsa. Panglima kodam yang dikenal antikomunis ini mengumpulkan orang-orang komunis yang menyerah itu ke Dodiklat Mata Ie, menunggu perkembangan selanjutnya. Selain ada yang menyerahkan diri, sebagian besar orang-orang PKI di Aceh ada juga yang mencoba melarikan diri dengan menumpang kereta api milik PJKA yang pada waktu itu masih aktif. Namun mereka berhasil “diamankan” oleh massa yang bergerak setelah semuanya terungkap bahwa PKI-lah sebagai dalang dari gerakan G 30 S.
Pada tanggal 3 Oktober 1965 Front Nasional mengadakan rapat untuk menyatakan sikap mengutuk gerakan yang mengambil alih kekuasaan negara. Rapat dipimpin Nyak Adam Kamil (selaku Gubernur), hadir Brigjend Ishak Djuarsa (Pangdam I/Iskandar Muda), Syamsuri Martoyoso (kepala Kepolisian), Said Mukhtar (PSII), Syarifuddin (NU), T. Ibrahim (Perti), Thaib Adamy dan Abubakar Sidik (PKI), H. Syamaun (PNI). Pangdam I/IM dengan tegas mengatakan serahkan saja kepada rakyat, apakah ia mau mempertahankan Pancasila atau memihak PKI.
Sejak tanggal 5 Oktober 1965 di Banda Aceh dan kota lain di Aceh telah terjadi demonstrasi dari PNI (Haji Syamaun), para mahasiswa, organisasi massa. Dengan mengucapkan Allahu Akbar, mereka menuntut membubarkan PKI. Kantor PKI diubrak-abrik. Malamnya terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap anggota dan onderbouw PKI serta Baperki.
Pada tanggal 16 Desember 1965 diadakan Musyawarah Ulama Aceh yang melahirkan fatwa komunisme hukumnya kufur dan haram (seperti telah disebutkan di atas). Oleh Pangdam I/Iskandar Muda selaku Pepelrada untuk Kodim 0101 (Kotamadya Banda Aceh dan Aceh Besar pada saat itu) selaku Kosekhan diperintahkan untuk membentuk Tim Secreening guna meneliti dan memproses para anggota PKI dan ormasnya. Tim Secreening dapat menentukan apakah mereka terlibat atau tidak dalam G 30 S. Dengan adanya tim ini telah dapat dihindarkan tindakan liar dari para pemuda atau Ormas untuk mengambil keputusan terhadap orang yang tersangka anggota PKI serta Ormasnya.
Ketua Tim Secreening Kosekhan 0101 dipegang oleh Dandim sendiri, wakil Kapten Drs. M. Syah Asyik, anggota-anggota Letnan T.M. Jalil, Letnan M. Daud Musa (CPM), Peltu Syamsuddin (CPM), Suherman, A. Mukti, Syamsuddin (dari Kepolisian), Sudarman dari Kejaksaan Negeri dan Said Abubakar dari Biro Politik dan Keamanan. Kantornya berada di gedung Baperki (sekarang SMP 7 Peunayong Banda Aceh), kemudian dipindahkan ke kantor Kodim 0101 di Jalan Sultan Mahmudsyah. Selain itu, anggota PKI dan ormasnya dari Kotamadya Sabang juga dibawa ke Banda Aceh untuk diseleksi terlibat atau tidak.
Sekretaris dan wakil sekretaris CD PKI Aceh, Muhammad Samidikin dan Thaib Adamy serta sejumlah anggota PKI dan ormas-ormasnya juga mereka yang diangggap PKI telah terbunuh. Thaib Adamy waktu akan dipancung dia minta disampaikan salam pada Bung Karno dan meneriakkan Hidup Bung Karno. Ketua Gerwani, Ketua Pemuda Rakyat, anggota CGMI, ketua Baperki dan lain-lainnya telah dieksekusi oleh massa pemuda. Biro khusus Nyak Amat diajukan ke pengadilan. Keluarga (istri dan anak-anak M. Samidikin) oleh Kosekhan (Tim Screening) dikawal melalui kereta api diantar dengan selamat ke kampungnya di Tanjungpura, Sumatra Utara. Ada 1 orang anak-anak yang dibunuh oleh massa, seperti anak dari Thaib Adamy yang berumur 14 tahun. Demikian juga Kasan Siregar, mantan ketua PKI juga menemui ajal karena dieksekusi. Padahal Kasan Siregar selaku kepala Kampung Baru, Banda Aceh seorang yang sering shalat ke Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Terdapat juga aktivis PKI yang lari ke luar Aceh seperti Cut Husin, K. Ampio, dan Lim Ka Kee.
Pembersihan-pembersihan terhadap anasir-anasir PKI hingga tahun 1966 terus dilakukan, tetapi ternyata di beberapa dinas dan jawatan serta ditubuh aparat keamanan sendiri disinyalir masih ada oknum PKI maupun simpatisannya. Melihat hal ini para aktivis mahasiswa Darussalam kembali mencoba mengadakan gebrakan. Kali ini gebrakan yang mereka lakukan bukan melalui selebaran, tetapi mereka coba melalui pemancar gelap. Beberapa pemuda dari kalangan Kesatuan Aksi Pemuda Indonesia (KAPPI) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) seperti Mansyur Amin, Nurdin AR (mantan Bupati Pidie), Let Bugeh dan T. Syarief Alamuddin meminta agar Tjut Sofyan meminjamkan perangkat radio yang dimilikinya. Kemudian muncullah radio Hanura (Hati Nurani Rakyat) yang mengudara dan berstudio diatas dek rumah bekas gembong Baperki yang telah direbut massa, mulai menuding satu persatu oknum PKI yang masih bercokol di pemerintahan daerah dan ditubuh aparat keamanan. Akhirnya, setelah beberapa minggu radio gelap itu mengudara mulailah bercopotan oknum dan simpatisan di dinas dan jawatan serta aparat keamanan, meskipun para aktivis itu dikejar-kejar aparat keamanan.
Dari beberapa informan dapat diketahui bahwa para eksekutor terhadap aktivis PKI, ormas-ormasnya, dan mereka “yang dianggap” PKI diantaranya ada yang dikenal dari kalangan “preman” seperti di Banda Aceh dikenal Rami Plang dan Tuan Saleh. Namun dalam perkembangannya kedua eksekutor ini pun akhirnya “disingkirkan” juga oleh OTK (orang tidak dikenal). Adapun tempat eksekusi yang terkenal di sekitar Banda Aceh pada waktu itu adalah Mon Benggali di daerah Indrapuri dan kawasan Ie Seum (air panas) Krueng Raya. Untuk daerah di Meulaboh (Aceh Barat) tempat yang cukup dikenal sebagai tempat eksekusi adalah Rantau kepala Gajah, Kuala Trang.
Gerakan pembersihan aktivis-aktivis PKI tidak hanya terbatas di Banda Aceh saja, tetapi juga di daerah lain di Aceh. Di Kabupaten Pidie, seperti di daerah lain di Aceh, rakyat bergerak secara massa. Mereka terdiri dari partai politik, rakyat biasa, pemuda pelajar sedangkan aparat keamanan mengendalikan saja agar tidak terjadi hal-hal yang tidak melanggar hukum. Gerakan spontan dari masyarakat Pidie terjadi pada tanggal 6 Oktober 1965 setelah diketahui secara pasti bahwa PKI berada dibalik G 30 S. Saat itu, dipelopori partai NU, PNI, PSII bersama pemuda dan pelajar dan masyarakat, ribuan massa berkumpul di Mesjid Raya Sigli. Dari situlah pertama kalinya arus massa bergerak menghancurkan markas PKI di Kuala Pidie dan kantor Baperki di kota Sigli. Rumah-rumah yang dikenal kepunyaan tokoh PKI di beberapa tempat diobrak-abrik massa sehingga hancur lebur.
Pada beberapa daerah lain di Aceh, gerakan pembersihan aktivis-aktivis PKI juga berlangsung. Di Meulaboh (Aceh Barat) kantor PKI diobrak-abrik oleh massa pemuda yang mengamuk dan para aktivisnya pun banyak yang dieksekusi. Peristiwa eksekusi aktivis PKI ini memang bukan rahasia lagi kalau terjadi di Aceh. Hal-hal serupa terjadi pula di Aceh Tenggara, Aceh Tengah, Aceh Selatan, dan Aceh Timur.
Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa pembersihan aktivis-aktivis PKI di Aceh adalah sebuah perjuangan yang secara tidak langsung membendung kehadiran komunisme di Aceh yang disinyalir akan atau malah sudah memanfaatkan ajaran Islam untuk tujuan politik PKI.
IV
Menarik untuk disimak tulisan dalam koran Harian Serambi Indonesia tanggal 10 Oktober 2000 berjudul Sejarah G 30 S/PKI di Aceh perlu diluruskan. Dalam tulisan ini dimuat himbauan Panglima Perang AGAM (Angkatan Gerakan Aceh Merdeka) wilayah Batee Iliek Teungku Darwis Djeunib agar sejarah pemberangusan PKI di Aceh pada tahun 1965 perlu diluruskan kembali. Pada waktu itu, disebut Darwis, cukup banyak rakyat Aceh yang tidak tahu apa-apa tentang PKI menjadi korban pembunuhan dengan tuduhan sebagai anggota PKI atau simpatisannya. Sementara di Pulau Jawa sebagai basisnya PKI hanya sekedar ditahan dan kemudian dilepaskan kembali. Ini menjadi tanggung jawab pemerintah Republik Indonesia. Teungku Darwis Djeunib mengemukakan hal ini dalam mengkritisi keinginan Menteri Pendidikan Nasional pada waktu itu Yahya Muhaimin buku-buku sejarah seputar Serangan Umum 1 Maret 1949 dan Peristiwa G 30 S/PKI.
Apa yang dikatakan Teungku Darwis Djeunib tersebut merupakan sekedar gambaran tentang banyaknya rakyat Aceh yang menjadi korban akibat dieksekusi pada peristiwa G 30 S/PKI tersebut. Memang menurut perkiraan seorang informan yang informasinya didapatkan dari keterangan Panglima Penguasa Militer pada waktu ada sekitar 2000 jiwa rakyat Aceh yang menjadi korban akibat peristiwa itu. Di antara mereka yang dieksekusi disinyalir ada yang tidak mengerti apa yang disebut dengan PKI itu sesungguhnya. Mereka hanya “dituduh” sebagai PKI karena diberikan cangkul oleh sebuah organisasi (BTI) yang konon disebutkan “Barisan Tani Islam” dan mereka tidak pernah atau tanpa diadili terlebih dahulu. Misalnya, kejadian yang dialami oleh Ibrahim Kadir dari Aceh Tengah. Ia diseret ke penjara dengan tuduhan terlibat PKI. Namun pada hari ke-23, Ibrahim Kadir dilepaskan dari penjara dengan alasan kekeliruan dalam penangkapan. Kejadian seperti ini diakui oleh beberapa aktivis organsisasi massa pada waktu itu yang ikut bersama massa dalam “pembasmian” PKI di Aceh pada waktu itu.
Massa mulai beraksi setelah mendapat informasi bahwa dalam peristiwa G 30 S yang telah membantai sejumlah perwira TNI Angkatan Darat di Jakarta adalah PKI. Dengan serta merta berbagai kekuatan sosial politik yang anti PKI (lebih-lebih organisasi yang sebelumnya dimusuhi oleh PKI) langsung bertindak. Para aktivis PKI ditangkap, dipenjarakan atau dibunuh. Sementara kantor, markasnya diobrak-abrik oleh massa yang sedang diamuk kemarahan. Reaksi massa ini didukung atau mendapat angin dari pihak militer dan ulama Aceh pada waktu itu.
Terlepas dari persoalan setuju atau tidak setuju dan suka atau tidak suka terhadap tindakan /kekuatan dari organisasi massa seperti demikian, suatu hal yang menarik untuk dikaji adalah mengapa massa rakyat Aceh begitu cepat dan antusias bergerak dalam “pembasmian” PKI dan simpatisannya di daerah Aceh pada waktu itu.
Paham atau ajaran komunis yang mengingkari esensi dan eksistensi Tuhan sangat bertentangan dengan kepercayaan masyarakat Aceh sebagai penganut fanatik ajaran agama Islam. Selain itu, gerakan-gerakan komunis dinilai mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan seperti yang diperlihatkan ketika terjadinya peristiwa G 30 S. Ditinjau dari ajarannya sangat wajar sekali kalau komunis harus dienyahkan dari bumi Aceh, karena sangat bertentangan dengan naluri rakyat Aceh yang dikenal agamais. Namun apabila dikaji secara cermat, faktor paling dominan yang meluapkan kemarahan rakyat untuk “mengganyang” komunis dan ormas-ormasnya di Aceh ialah karena gerakannya bukan pahamnya. Hal ini dapat dilihat bahwa komunis sempat bercokol di Aceh (ada yang menjadi anggota DPRD-GR) meskipun diketahui dari semula bahwa mereka menganut paham yang jelas-jelas bertentangan dengan mayoritas keyakinan masyarakat Aceh. Namun belum ada upaya pada waktu itu untuk menghancurkan kaum komunis.
Dengan demikian sebab yang paling dominan penyebab “penyingkiran” kaum komunis dan antek-anteknya dari Aceh pada hakikatnya adalah karena gerakannya yang kemudian dibumbui dengan pahamnya yang atheis. Adanya legalitas dari para ulama menyebabkan massa menjadi tidak ragu-ragu dalam bertindak untuk “menyingkirkan” PKI dari daerah Aceh.


Daftar Pustaka
1. Buku dan Artikel

A. Hakim Dalimunthe. Gerak-gerik Partai Politik. Langsa: Toko Buku “Gelora”, 1950.

A. Hasjmy. Semangat Merdeka. Jakarta: Bulan Bintang tahun 1985

Andari Karina Anom dan J. Kamal Farza.”Ibrahim Kadir: “Saya Melihat Manusia Dibantai Seperti Binatang”. Tempo No. 52/XXVIII/28 Februari – 5 Maret 2000.

A.R. Ibrahim. “Awal Kehancuran PKI di Aceh” dalam Serambi Indoensia tanggal 30 September 1993.

Ismuha. “Dua Kali Pemberontakan PKI Jatuh dalam bulan September”, dalam Waspada tanggal 2 Oktoberr 1985.

Kementerian Penerangan RI. Kepartaian di Indonesia. Jakarta: Kementerian Penerangan RI, 1950.

Penguasa Perang Daerah Militer I Atjeh. Sumbangan Pemuda Atjeh Pada Kongres Pemuda Seluruh Indonesia tanggal 14-21 Februari 1960 di Bandung. Banda Atjeh: Penguasa Perang Daerah Militer I Atjeh, 1960.

M. Isa Sulaiman, “Hilangnya Sebuah Gerakan Radikal di Aceh”. Atjeh Post. Minggu Kelima September 1989

Miswar Sulaiman. “Mesjid Bebesen Aceh Tengah Korban Kebrutalan PKI” dalam Waspada tanggal 5 Februari 1986.

“Mesjid Quba’ Takengon akan diusulkan jadi Monumen Pancasila” dalam Waspada tanggal 10 Januari 1986.

Ramadhan K.H. dan Hamid Jabbar. Sjamaun Gaharu Cuplikan Perjuangan di Daerah Modal. Jakarta: Sinar Harapan, 1998.

Ramli Abdul Wahid. “Komunisme dan Keputusan Muktamar Alim Ulama Se Indonesia”. Waspada tanggal 12 Mei 2000.

Rasyidin Sulaiman. “Mengenang Peristiwa G 30 S di Pidie” dalam Waspada tanggal 29 September 1986.

Said Abubakar. Berjuang untuk Daerah. Banda Aceh: Yayasan Naga Sakti Banda Aceh, 1995.

“Said Umar Al Habsyi: Hanya Sekali PKI Lancarkan Aksinya di Banda Aceh” dalam Waspada tanggal 22 September 1986.

“Sejarah G30S PKI di Aceh perlu diluruskan” dalam Serambi Indonesia tanggal 4 Oktober 2000.

Sekretariat Negara RI. Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994.

Surat Keputusan Panglima Daerah Pertahanan A No. Kep/Pepelrada-29/10/1965 tanggal 29 Oktober 1965 tentang pembekuan dan pemberhentian kegiatan PKI dan ormas-ormasnya di Aceh.

T. Alibasyah Talsya. “Aceh Menentang Pengkhiatan Komunis” dalam Waspada tanggal 29 April 1986.

__________________. Sepuluh Tahun Daerah Istimewa Atjeh. Banda Atjeh: Pustaka Putro Tjanden, 1969.

Teuku Raja Itam Aswar . “Awas Bahaya Latent Komunis”. Makalah

Thaib Adamy. Atjeh Mendakwa. Banda Aceh: Comite PKI Atjeh, 1964.


2. Laporan

Laporan Politik Hindia Belanda di Aceh Mailr No. 899geh/26, Mailr No. 1304geh/33, dan Mailr No. 259geh/39 pada tahun 1920-an


Daftar Informan

1. Mudji Budiman, 74 Tahun, Mantan Anggota DPR RI.

2. T. Raja Itam Aswar, SH, 75 tahun, mantan jaksa dan ketua DPRD Kab. Aceh Besar

3. Mahyudin Hasyim, 72 tahun, mantan anggota DPR, Bupati Pidie, dan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi D.I. Aceh.

4. Said Abubakar, 75 tahun, mantan wartawan dan sekretaris DPRD Aceh.

5. Ridwan Azwad, 57 tahun, sekretaris Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

6. Zainudin Hamid (populer dengan sebutan Let Bugeh), 62 tahun, mantan aktivis mahasiswa Unsyiah.