Minggu, 08 Februari 2009

Struktur Lapisan Sosial dan Otonomi Wanita Pedesaan

Oleh: Rusdi Sufi

Dalam kehidupan suatu masyarakat terdapat norma-norma, aturan-aturan atau nilai-nilai yang mengatur pola tingkah laku anggota masyarakat. Namun tidak semua anggota masyarakat dapat memenuhi hak dan kewajibannya sesuai norma, aturan atau nilai yang dituntut masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya lapisan-lapisan masyarakat.1 Lapisan-lapisan masyarakat yang dimaksud sudah ada semenjak zaman dahulu yang secara historis diperkirakan sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama di dalam organisasi sosial. Aristoteles seorang filsof Yunani misalnya, membagi masyarakat dalam tiga lapisan, yaitu lapisan kaya, lapisan miskin dan lapisan yang berada di tengahnya (antara lapisan kaya dan lapisan miskin).2 Diperkirakan jauh sebelum Aristoteles atau pada zaman-zaman sebelumnya telah adanya lapisan-lapisan sosial di dalam masyarakat. Lapisan-lapisan dalam masyarakat yang dimaksud itu dikenal dalam ilmu kemasyarakatan dengan istilah sosial stratification (stratifikasi sosial).3
Sistem berlapis-lapisan itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur. Bentuk-bentuk lapisan dalam masyarakt ini berbeda-beda dan ada di mana-mana. Apakah lapisan itu terdapat dalam masyarakat modern ataupun dalam masyarakat tradisional dan lain sebagainya. Pada masyarakat sederhana kebudayaannya, lapisan-lapisan ini mula-mula didasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antara yang dipimpin/pemimpin, golongan budak belian dengan yang bukan budak belian, golongan berdasarkan pembagian kerja dan perbedaan berdasarkan kekayaan. Semakin kompleks dan semakin majunya perkembangan teknologi sesuatu masyarakat di dunia ini semakin kompleks pula sistem lapisan-lapisan dalam masyarakat di dunia ini semakin kompleks pula sistem lapisan-lapisan dalam masyarakat.4 Oleh karena itu dalam masyarakat yang sudah kompleks, perbedaan kedudukan dan perannya juga bersifat kompleks. Oleh karena banyaknya orang dan berbagai ukuran yang dapat diterapkan terhadapnya. 5
Meskipun bentuk kongkrit dari pada lapisan-lapisan masyarakat tersebut tidak sedikit, akan tetapi secara prinsipil bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga macam kelas, yaitu yang bersifat ekonomis, politis dan didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat. Umumnya ketiga bentuk pokok tersebut mempunyai kaitan yang erat satu dengan lainnya, di mana terjadi saling pengaruh memperngaruhi. Misalnya, mereka yang tergolong ke dalam suatu lapisan atas dasar politis, biasanya juga merupakan orang-orang yang menduduki suatu lapisan tertentu atas dasar ekonomis. Demikian pula mereka yang kaya, biasanya menempati jabatan-jabatn yang penting. Akan tetapi tidak semua demikian keadaannya. Hal ini tentu sangat tergantung dari pada sistem nilai yang berlaku serta berkembang dalam masyarakat yang bersangkutan.6
Sifat sistem berlapis-lapisan ini di dalam suatu masyarakat dapat bersifat tertutup atau yang disebut Stratifikasi Sosial Tertutup (Closed Sosial Stratification), dan ada pula yang bersifat terbuka (Open Sosial Stratification). Adapun yang tersebut pertama (yang tertutup) tidak memungkinkan pindahnya/beralihnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain, baik yang merupakan gerak ke atas atau ke bawah. Di dalam sistem yang demikian itu, satu-satunya jalan untuk menjadi anggota dari suatu lapisan dalam masyarakatadalah faktor kelahiran atau keturunan.7 Sebaliknya di dalam sistem yang terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk naik atau pindah lapisan, atau bagi mereka yang tidak beruntung untuk jatuh ke lapisan di bawahnya.8
Adapun penggolongan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan dapat disebutkan sebagi berikut :
1. Penggolongan berdasarkan ukuran kekayaan. Kekayaan/kebendaan seseorang dapat dijadikan suatu ukuran. Siapa yang memiliki kakayaan termasuk lapisan teratas. Kekayaan ini dapat dilihat misalnya pada kebendaan yang dimilikinya seperti rumah, mobil, cara berpakaian, gaya hidup, dan sebagainya.
2. Penggolongan berdasarkan kekuasaan. Biasanya seseorang yang memiliki kekuasaan atau yang memiliki wewenang terbesar, menempati lapisan tertinggi.
3. Penggolongan berdasarkan kehormatan.Ukuran kehormatan ini mungkin terlapis dari ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati biasanya mendapat tempat teratas. Ukuran semacam ini dapat dijumpai pada masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa kepada masyarakat.
4. Penggolongan berdasarkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai oleh masayrakat yang menghargai ilmu pengetahuan.
5. Penggolongan berdasarkan keturunan. Penggolongan ini berkaitan dengan tingkat kebangsawanan.9
Sebenarnya masih banyak ukuran lain yang dapat dipergunakan. Tetapi ukuran-ukuran tersebut si atas adalah yang paling menonjol sebagai dasar timbulnya sistem berlapis-lapisan dalam masayrakat.

II
Secara teoritis semua manusia dapat dianggap sederajat. Tetapi dalam kenyataan kehidupan di daerah ini dan juga di daerah-daerah lain di Indonesia tidaklah demikian. Hal ini antara lain disebabkan karena dalam suatu kelompok masyarakat ada hasrat untuk menghargai sesuatu. Hal inilah yang menjadi embrio untuk menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapisan dalam masyarakat yang bersangkutan. Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat tersebut mungkin dapat berupa uang/kekayaan, kekuasaan, ke- hormatan, ilmu pengetahuan, keturunan dan sebagainya.
Secara historis sistem berlapis-lapisan di dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Tetapi ada juga yang dengan sengaja disusun untuk mencapai suatu tujuan bersama.
dalam tulisan ini mencoba untuk menyoroti lapisan-lapisan dalam masyarakat Aceh secara garis besar sejak masa kesultanan hingga masa kemedekaan. Dalam memberikan uraian mengenai struktur lapisan sosial dalam masyarakat Aceh, penulis menitik beratkan pada pendekatan historis. Berdasarkan pendekatan historis ini, lapisan masyarakat Aceh yang paling menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan yaitu golongan umara dan golongan Ulama. Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah dalam suatu unit wilayah kekuasaan. Contohnya seperti jabatan Sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, Uleebalang sebagai pinpinan unit pemerintahan Nanggroe (negeri), Panglima Sagoe (Panglima Sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unti pemerintahan Mukim dan Keuchiek atau Geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan Gampong (kampung). Kesemua mereka atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniawian atau kelompok elite sekuler.
Sementara golongan Ulama yang menjadi pimpinan yang mengurusi masalah-masalah keagamaan (hukom atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius. Oleh karena para Ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah seorang yang berilmu, yang dalam istilah Aceh disebut ureung nyang malem. Dengan demikian tebntunya sesuai dengan predikat/sebutan Ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan.10 Adapun golongan atau kelompok Ulama ini dapat disebut yaitu :
1. Tengku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan pada suatu unit pemerintahan Gampong (kampung).
2. Imum Mukim (Imam Mukim), yaitu yang mengurusi masalah keagamaan pada tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan.11
3. Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang dipandang mengerti mengenai hukum agama pada tingkat kerajaan dan juga pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang.
4. Teungku-teungku, yaitu pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi mereka yang sudah cukup tinggi tangkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chiek
Selain pembagian atas kedua kelompok tersebut di atas, yang paling menonjol dalam masyarakat Aceh tempo doeloe, juga dalam masyarakat Aceh terdapat lapisan-lapisan lain seperti kelompok Sayed yang bergelar habib untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Kelompok ini dikatakan berasal dari keturunan Nabi Muhammad. Jadi kelompok Sayed ini juga merupakan lapisan tersendiri dalam masyarakat Aceh.
Pelapisan masyarakat Aceh juga dapat dilihat dari segi harta yang mereka miliki. Untuk itu maka ada golongan hartawan/orang kaya. Mereka adalah pekerja-pekerja keras dalam mengembangakn ekonomi pribadi. Dari mereka yang sudah berada inilah terbentuk suatu golongan dalam masyarakat, yaitu golongan hartawan. Kelompok yang paling menonjol dalam masyarakat Aceh yaitu lapisan rakyat biasa yang didistilahkan dalam sebutan Ureung leue (orang banyak). Golongan ini merupakan golongan yang mayoritas.
Penggolonganmasyarakat Aceh atas dasar adat/tradisi pada masa sekarang sudah mulai berubah. Meskipun beberapa lapisan tersebut masih tampak atau ada dalam masyarakat, tetapi tidak memperlihatkan lagi perbedaan-perbedaan yang tajam dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa sekarang (sesudah kemerdekaan) sudah muncul elite-elite baru dalam masyarakat Aceh. Dengan tumbuh dan berkembangnya beberapa perguruan tinggi bagi putera-puteri Aceh, baik ke luar daerah maupun di daerah Aceh sendiri sudah semakin mendorong proses perubahan pelapisan sosial atau stratifikasi sosial dalam masyarakat Aceh. Pimpinan pemerintahan mulai dari tingkat atas sampai tingkat bawah (dari Gubernur hingga Keuchiek) sudah dijabat oleh mereka yang memiliki kecakapan dan kemampuan untuk mengatur dan memimpin.
Dengan adanya perubahan strtifikasi sosial tersebut, maka dewasa ini masyarakat Aceh umumnya dapat dikelompokkan ke dalam:
1. Golongan penguasa, terdiri atas penguasa pemerintahan dan pegawai negeri.
2. Kelompok Ulama, yaituorang-orang yang berpengetahuan di bidang agama.
3. Kelompok hartawan (mereka yang memiliki kekayaan).
4. Kelompok rakyat biasa.
Keempat kelompok tersebut, tidak menunjukkan batas-batas yang tajam. Antar kelompok itu dapat saja memasuki atau menjadi kelompok yang lain. Timbulnya pelapisan-pelapisan tersebut merupakan hasil kompetisi ilmu pengetahuan. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahua, dapat saja masuk ke dalam kelompok penguasa, atau seseorang yang mempunyai pengetahuan di bidang keagamaan dengan sendirinya menjadi bagian dari kelompok Ulama.12 Demikian pula kelompok hartawan, pengusaha atau rakyat biasa, dapat saja beralih ke kelompok atau lapisan lainnya.

III
Bila berbicara tentang otonomi wanita pedesaan, maka hal ini tidak terlepas dari pada membicarakan tentang peranan dan kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat. Seperti diketahui peranan mereka dalam sebuah keluarga adalah sangat besar dan bahkan sangat menentukan. Agama Islam telah menempatkan wanita pada kedudukannya yang sangat penting, terutama dalam pembangunan masyarakat dan negara. Sehubungan dengan hal ini Nabi Muhammad SAW., telah bersabda bahwa "wanita adalah tiang negara", apabila baik wanitanya, maka baiklah negara, sebaliknya apabila rusak wanitanya mak rusak pula negara. Dalam kaitan ini maka ada suatu ungkapan dalam bahasa Aceh yang berbunyi sebagai berikut : "Meutuah aneuk meusebab ma, meutuah bak donya meunyo na hareuta"artinya, bertuah anak karena jerih payah seorang ibu, bertuah hidup di dunia bila memiliki harta.13 Selain itu tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa "sorga itu terletak di bawah telapak kaki ibu".14
Sebagai ibu wanita adalah yang pertama sekali bertanggungjawab untuk mendidik, membina moral dan akhlak anak-anaknya. Oleh karenanya tidak dapat disangkal bahwa peranan utama seorang ibu di dalam pengawasan anak-anak besar sekali. Ini disebabkan karena secara langsung ialah yang pertama-tama bergaul dengan anak-anak, khususnya di dalam rumah.15
Seperti diketahui seorang wanita Aceh di pedesan tetap tinggal di rumahnya sendiri atau rumah orang tuanya setelah ia berkeluarga. Dengan demikian anak-anak biasanya dididik dan dibesarkan di rumah ibu mereka. Selain itu karena rumah adalah milik isteri maka ia bebas bertindak di rumahnya tersebut. Namun sebelum berkeluarga sesungguhnya penghidupan seorang wanita tidak terlalu bebas, baru setelah kawin ia mempunyai kedudukan yang bebas (otonomi) sebagai "nyonya rumah". Dengan demikian dapat dikatakan dengan pasti bahwa anak-anak lebih banyak berkembang di bawah asuhan ibunya atau kerabat ibunya dari pada di bawah bimbingan ayahnya. Hal ini antara lain juga disebabkan karena sang ayah sering tidak berada di rumah, kadang-kadang untuk jangka waktu yang cukup lama.17 Sebagai ibu rumah tangga, selain mengurus/mengasuh anak-anak seorang wanita juga bertugas mengurusi pekerjaan rumah lainnya, seperti memasak, mencuci, menyapu, membersihkan tempat tidur, menata rumah merangkai bunga dan lain sebagainya.18
Bagi masyarakat Aceh tempo doeloe, dalam beberapa linteratur tampaknya peranan wanita dalam masyarakat adalah sangat menonjol, yang sekaligus memberikan kedudukan tersendiri dalam masyarakatnya. Para wanita di Aceh pernah menjadi penguasa-penguasa (sebagai Sultanah- Sultanah) yang menentukan atas urusan kerajaan yang tidak pernah ditemukan pada daerah-daerah lain di Nusantara ini.19 Selama ini setengah abad (1641-1699), Kerajaan Aceh dikepalai oleh para raja wanita. Selain itu ada pula para wanita yang menjadi penguasa-penguasa lokal seperti menjadi Uleebalang atau penguasa lainnya yang mempunyai pengaruh besar dalam semua tindak-tanduk jabatannya. Sering pula terjadi ada isteri-isteri penguasa yang melaksanakan kekuasaan suaminya bila sang suami berhalangan.20 Demikian pula pada masa perang dengan Belanda, peranan wanita juga sangat menonjol. Pada waktu itu mereka mempunyai tugas rangkap, yaitu di samping sebagai ibu rumah tangga dan isteri yang tercinta juga ikut bersama berjuang dengan kaum pria melawan penjajah Belanda.21
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa posisi wanita khususnya wanita pedesaan dalam masyarakat Aceh cukup tinggi dan memiliki otonomi-otonomi tersendiri.


Catatan Akhir

1Muhammad Rusli Kasim (ed), Seluk Beluk Perubahan Sosial, (Surabaya : Usaha Nasional, 1983), hal. 93.

2Ibid., hal 94. Lihat juga dalam Elvin M. Tumin, Sosial Stratification The Forms And Functions of Inequality, (New Delhi: Prentice Hall of India, 1978), hal. 2

3Ibid., hal.66

4Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: UI Press, 1981), hal.134

5Ibid.

6Ibid., hal.135

7Melvin M.Tumin, op.cit., hal.67

8 Soerjono Soekamto,op.cit., hal.137

9 Ibid., hal 141-142

10Taufik Abdullah (ed),Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta:CV. Rajawali, 1983), hal. 3.

11Th.W.Juynbol, "Atjeh", The Encyclopaedia of Islam, Vol.I, (1960), hal.74.

12Lihat T.Syamsuddin dkk., Adat Istiadat Daerah Propinsi Istimewa Aceh. (Banda Aceh: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan daerah, Depdikbud Propinsi daerah Istimewa Aceh, 1977/1978), hal. 152

13Muhammad Hakim Nyak Pha, Wanita Aceh dan Peranannya, (Banda Aceh: P3IS Aceh, 1987), hal. 2.

14 Ibid., hal. 1.

15 Justus Inkiriwang, Pembagian Pekerjaan Pria dan Wanita di dalam Mata Pencaharian Hidup Masyarakat Aceh, (Banda Aceh: P3IIS Aceh, 1975), hal. 22.

16 J.Jongejans, Land En Volk Van Atjeh Vroeger En Nu, (Baarn: Hollandia Drukkerij, 1939), hal.91

17C. Snouck Hurgronje, terjemahan Ng. Singarimbun dkk. Aceh Di Mata Kolonialis, (Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985), hal. 449.

18 Justus Inkiriwang, op.cit., hal. 21.

19 P.J.Veth, "Vrouwen Regeeringen In Den Indischen Archipel", T.N.I.IV, 1870.

20C. Snouck Hurgronje, loc.cit.

21H.C.Zentgraff, Atjeh, (Batavia: Koninklijke Drukkerij De Unie, 1939), hal. 44-85

Tidak ada komentar: