Minggu, 08 Februari 2009

ORGANISASI SOSIAL POLITIK DAN KEAGAMAAN DI ACEH PADA AWAL ABAD XX

Oleh Rusdi Sufi

I
Akibat konflik berkepanjangan, bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia, Aceg termasuk daerah yang terlambat menerima pendidikan barat dari pemerintah kolonial Belanda. Pendidikan ini baru diperkenalkan kepada rakyat Aceh pada awal abad XX.
Jika ditelusuri latar belakang mengapa pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan mereka (pendidikan Barat) kepada rakyat Aceh, dapat diketahui bahwa ada dua penyebab utama. Pertama, dalam kaitan dengan pelaksanaan Etische Politiek oleh pemerintah kolonial Belanda, yang salah satu tujuannya memberikan pendidikan modern (barat) kepada penduduk pribumi. Kedua, ada pandangan dari C. Snouck Hurgronje (penasihat pemerintah kolonial Belanda dalam rangka mengamankan Aceh) yang menganggap perlawanan rakyat Aceh terhadap pemerintah Belanda, utamanya digerakkan oleh nilai-nilai yang berasal dari pendidikan agama Islam. Dan perlawanan rakyat itu hanya mungkin dapat dikurangi atau diselesaikan kalau golongan bangsawan Aceh yang dalam hal ini kelompok uleebalang dapat ditarik ke dalam lingkungan budaya Barat (Alfian, 1977: 207-209)). Untuk itu, C. Snouck Hurgronje menyarankan kepada pemerintah Belanda, supaya diciptakan suatu kelompok elite baru yang dididik dan dibina dengan budaya/pendidikan Barat. Melalui cara ini mereka yang sudah berpendidikan tersebut diharapkan tidak lagi terpengaruh dengan nilai-nilai agama yang diajarkan oleh para ulama (C. Snouck Hurgronje, 167: 169).
Sebagaimana pada setiap daerah di Indonesia, pemerintah kolonial Belanda dalam menjalankan pemerintahannya menggunakan golongan bangsawan setempat sebagai perantara antara mereka dengan rakyat. Oleh karenanya golongan pertama kali diperkenalkan sistem pendidikan Belanda di daerah Aceh ialah golongan uleebalang yang merupakan golongan bangsawan Aceh. Selain kepada golongan uleebalang, sesuai dengan tujuan Politik Etis, pemerintah Belanda juga memperkenalkan pendidikannya kepada rakyat biasa meskipun tingkat rendah saja, agar rakyat sekedar dapat menulis dan membaca huruf latin serta berhitung. Sementara kepada golongan bangsawan diberi kesempatan untuk memasuki sekolah-sekolah tinggi, baik yang ada di Aceh maupun di luar Aceh.
Sehubungan dengan maksud di atas, maka sejak tahun 1900, beberapa putera uleebalang telah diikutsertakan untuk mengikuti pendidikan pada sekolah Belanda di Kutaraja (Koloniaal Verslag 1900). Selanjutnya sejak tahun 1901 dan tahun-tahun berikutnya hingga tahun dua puluhan, terdapat sejumlah putera uleebalang yang disekolahkan pada sekolah Belanda, baik yang ada di Aceh maupun yang ada di luar Aceh (Alfian, 1977).
Dengan diperkenalkannya sistem pendidikan Belanda, dalam perkembangannya telah melahirkan suatu kelompok baru dalam masyarakat Aceh. Dan mereka ini menjadi pendukung utama dari sistem pendidikan itu di daerah Aceh. Kehadiran kelompok ini telah mengundang kecemasan kelompok lain yang sudah established, lebih-lebih kelompok baru itu menunjukkan kelebihan-kelebihan tertentu yang diperkirakan dapat mendesak posisi yang dimiliki oleh kelompok yang telah ada. Dengan demikian, dengan kehadiran kelompok baru tersebut, dianggap sebagai suatu ancaman dan tantangan terhadap mereka, yaitu kelompok yang dihasilkan dari lembaga-lembaga pendidikan keagamaan yang tradisional. Untuk mengimbangi kelompok baru itu, kelompok yang tersebut terakhir berusaha untuk meningkatkan diri, terutama dengan mengkoordinir lembaga-lembaga pendidikan yang mereka miliki.
Dalam perkembangannya, pemuda-pemuda Aceh yang telah menyelesaikan pendidikan pada sekolah-sekolah pemerintah kolonial Belanda dan juga dari sekolah-sekolah agama yang modernis sebagiannya menjadi tokoh-tokoh yang memelopori munculnya kesadran nasionalisme di daerah Aceh. Di antara putera-putera uleebalang ini ada yang tetap berpihak kepada kepentingan masyarakatnya dan bahkan juga ada yang tetap menjalin kerjasama dengan para pemimpin agama (ulama) dalam meningkatkan harkat dan martabat masyarakat Aceh. Misalnya mereka yang menentang dirubahnya bahasa pengantar pada sekolah-sekolah rakyat (volkschool) dari bahasa Melayu ke bahasa Aceh pada tahun 1931 (mailr. 504/36: 137). Sebagaimana yang diperlihatkan oleh dua tokoh uleebalang terkemuka yang pernah menjadi anggota volksraad mewakili daerah Aceh. Nama kedua uleebalang ini adalah Teuku Chiek Muhammad Thayeb dan Teuku Nyak Arief.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman mereka selama dalam pendidikan, terutama yang dilihat atau dialami sendiri di luar daerah Aceh, timbul keinginan untuk menghimpun diri dalam wadah tertentu (organisasi modern). Untuk mengahdakan perubahan-perubahan dalam masyarakat mereka mencoba berjuang dengan cara-cara tidak lagi dengan menggunakan kekerasan (senjata), tetapi melalui organisasi-organisasi, baik yang khas Aceh maupun yang berasal dari luar Aceh. Dengan demikian, pergerakan nasional yang telah muncul di pulau Jawa sejak tahun 1908, bergema pula di daerah Aceh.

II

Pada tanggal 17 Desember 1916 di Kutaraja (sekarang Banda Aceh) sekelompok pemuda mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Vereeniging Atjeh (Serikat Aceh). Personalia pengurusnya adalah sebagai berikut : Teuku Chiek Muhammad Thayeb sebagai ketua; Teuku Tengoh wakil ketua, Nyak Cut Sekretaris I, Abu Bakar sekretaris II Teuku Usen dan Teuku Chieh Muhammad sebagai Bendahara; Teuku Johan Alamsyah dan Teuku Asan I sebagai Komisaris. Sedangkan anggotanya terbuka bagi setiap rakyat Aceh, baik laki-laki maupun perempuan yang sudah cukup umur dan mau menjadi anggota dengan menaati ketentuan-ketentuan yang ditetapkan organisasi.
Maksud didirikannya organisasi ini secara umum adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat Aceh. Sehubungan dengan maksud tersebut, dalam satutanya disebutkan: a. untuk memajukan dan memperbaiki sistem pengajaran/pendidikan di Aceh; b. untuk merubah adat-adat yang menghalangi dan mengekang kemajuan serta memperbaiki sopan santun yang sedang berlaku dalam masyarakat Aceh pada waktu itu (mailr. 3225/20). Disebutkan lebih lanjut dalam satuta itu bahwa cara organisasi ini memajukan pendidikan adalah dengan memberi bantuan kepada anak-anak anggota dan anak-anak saudara kandung yang menjadi anggota perserikatan, serta kepada anak-anak Aceh yang bukan anggota perserikatan, tetapi telah menamatkan dan mendapat keterangan sebagai anak cerdas dari Europeesche School dan Hollandsch Inlandsche School yang bermaksdu meneruskan pelajarannya ke negeri lain atau ke luar Aceh (Ibid). Selain itu juga bila murid-murid dari kedua sekolah kematian orang tuanya yang laki-laki, maka perserikatan juga mengusahakan bantuan supaya murid-murid itu dapat melanjutkan sekolahnya. Terhadap murid-murid yang telah menamatkan pelajarannya dari Gouvernements Inlandsche School dan Volkschool, bila dianggap perlu oleh organisasi ini juga akan membantu mereka mendapatkan pekerjaan. Dan bila dirasa perlu pengurus organisasi juga akan membantu murid-murid dari Normaalcursus, Ambachtschool dan Landbouwschool dengan biaya sekedarnya (Ibid).
Sehubungan dengan maksud merubah adat-adat yang dianggap sebagai penghalang dan pengekang kemajuan, disebutkan bahwa adat yang mendatangkan keberatan hendaklah diusahakan mencari jalan ke perubahan yang baik. Misalnya dijaga atau diusahakan supaya anak laki-laki atau perempuan jangan kawin atau dikawinkan di bawah umur 16 tahun (sebelum akil-balig). Juga pesta-pesta yang memboroskan yang berhubungan dengan pesta perkawinan supaya dihindari/ditinggalkan. Dalam hal upacara kematian diusahakan jangan lagi diadakan kenduri-kenduri sebelum yang perlu dikerjakan terlebih dahulu. Sedang hal poemoe baè (upacara penangisan jenazah sebelum dikuburkan) harus dihapuskan sama sekali (Ibid). Yang berkaitan dengan perbaikan sopan santun, organisasi ini mengusulkan agar didirikan suatu perkumpulan wanita yang bertujuan untuk mengubah segala hal ikhwal dalam rumah tangga terutama yang menyangkut dengan kebersihan, kesopanan dan kesehatan. Untuk ini kalau dirasa perlu perkumpulan wanita yang dibentuk itu boleh menggunakan tenaga seorang wanita Eropa memimpinnya (Ibid). Berkait dengan hal ini, rupa-rupanya organisasi ini telah terpengaruh dengan bantuan-bantuan yang diberikan sebelumnya (sebelum Vereeniging Atjeh terbentuk) oleh beberapa orang istri pejabat tinggi Belanda di Aceh. Seperti keikutsertaan Nyonya Swart (istri Gubernur Swart yang menjadi gubernur di Aceh sejak 1908 – 1918), Nyonya Nijs (istri asisten residen Nijs), dan Nyonya Doormik (istri asisten residen Doormik) memberikan jasa-jasa mereka terutama dalam mendidik keterampilan beberapa wanita Aceh, seperti jahit menjahit, merenda, sulam menyulam, adat istiadat, sopan santun dan lain hal yang berhubungan dengan kewanitaan (CL, 1915: 306-309).
Organisasi kebangsaan asal orang Jawa yang pertama masuk ke Aceh ialah Serikat Islam (SI). Pada mulanya muncul di Tapak Tuan (Aceh Selatan) pada tahun 1916 kemudian muncul pula di tempat-tempat lain seperti di Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Beberapa tokoh uleebalang seperti Teuku Keujruen Chiek Muhammad Alibasyah uleebalang Samalanga, Teuku Abdul Hamid Orang Kaya Sri Maharaja uleebalang Lhokseumawe, Teuku Chiek Muhammad Said dari Cunda, Teuku Abdul Latif dari Keudong, dan Teuku Raja Budjang dari Nisam bersama dengan ratusan rakyatnya menjadi anggota Sarikat Islam (Van Sluijs: 15). Hingga tahun 1920, telah menjadi organisasi politik yang cukup kuat di Aceh, sehingga telah mengkhawatirkan pemerintah Hindia Belanda. Karena itu kegiatan-kegiatan pemimpin Sarikat Islam di Aceh selalui diawasi. Pada tahun 1926 pemerintah kolonial Belanda melakukan penangkapan secara besar-besaran terhadap tokoh-tokoh partai tersebut. Penangkapan ini dikaitkan dengan munculnya pemberontakan yang disponsori oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1926/1927, yang juga telah merembes ke daerah Aceh. Meskipun mereka yang ditangkap ini bukan anggota Partai Komunis Indonesia. Di antara tokoh SI yang ditangkap ialah: Teuku Chiek Muhammad Said Cunda, Teuku Abdullatif Geudong, dan Teuku Raja Bujang Nisam, masing-masing dibuang ke Tambua (Timur), Sumatera Barat (kemudian ke Bogor, pulau Jwa) dan ke Bouven Digul Irian atau Papua Barat. Sementara salah seorang pemimpin SI lain, yaitu Teuku Syekh Abdul Hamid Samalanga (populer dengan sebutan Ayah Hamid Samalanga) terhindar dari penangkapan dan menyingkir dari Aceh dan kemudian menetap di Arab Saudi (Mekkah).
National Indische Partij (NIP) masuk ke Aceh pada bulan Februari 1919. Tokoh partai ialah Teuku Chiek Muhammad Thayeb uleebalang Peureulak. Ketua cabang partai ini di Kutaraja dipegang oleh Teuku Nyak Arief. Selain itu pada tahun 1919 Teuku Nyak Arief juga menjadi ketua Atjeh Vereeniging (Serikat Aceh) menggantikan Teuku Chiek Muhammad Thayeb yang telah diangkat menjadi anggota volksraad (1918-1920) di Batavia. Tampaknya organisasi National Indische Partij (NIP) tidak berkembang luas di Aceh, lebih-lebih setelah Teuku Nyak Arief harus berhenti dari keanggotaannya (setidak-tidaknya sebagai ketua), karena pada tahun 1920 diangkat menjadi Panglima Sagi XXVI mukim menggantikan orang tuanya (Mardanas Safwan, 1975) dan kemudian juga pada bulan Mei 1923 induk organisasi ini di pulau Jawa telah membubarkan diri (A.K. Pringgodigdo, 1970). Tokoh NIP yang lain ialah Abdul Karim MS yang berperan di wilayah Aceh Timur. Karena simpatinya kepada NIP, sehingga untuk mengenang keanggotaannya pada organisasi ini, Abdul Karim MS menabalkan nama organisasi ini pada nama putranya, yaitu NIP Karim, yang kemudian juga merupakan seorang tokoh dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI di daerah Sumatera Timur. Setelah NIP membubarkan diri, Abdul Karim MS menjadi pemimpin Partai Komunis Indonesia di Aceh Timur dan kemudian diangkat pula menjadi komisaris pengurus besar partai ini untuk daerah Aceh dan Sumatera Timur.
Organisasi yang berasal dari Jawa yaitu Jong Islamieten Bond (JIB). Rencana pendirian organisasi cabang ini pada mulanya pada tahun 1928. Pada waktu itu (Juni 1928) seorang pengurus pusat JIB, Azis, putera seorang pensiunan Groot Atjehsche Afdeelingbank (Brahim) pulang ke Kutaraja dalam rangka libur sekolah. Akan tetapi usaha itu belum berhasil, baru pada tahun 1930 dengan dukungan Teuku Nyak Arief, cabang JIB dapat didirikan di Kutaraja, Sigli dan Lhokseumawe dengan catatan bahwa organisasi ini tidak mencampuri urusan politik di Aceh, (setiap organisasi Islam yang masuk ke Aceh selalu di curigai oleh pemerintah Hindia Belanda). Cabang Kutaraja juga mendirikan bagian wanitanya yaitu Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling (JIBDA) dan pada tahun 1931, membuka sebuah sekolah khusus untuk puteri (sekolah rakyat puteri), tetapi pada tahun 1932 sekolah ini dirubah menjadi sekolah campuran (untuk pria dan wanita). Pada tanggal 6 Oktober 1932 JIB mendirikan lagi sebuah cabang di Sabang yang diketuai oleh Abdurrahim dan setelah itu kelihatannya JIB tidak mendirikan cabang-cabang lagi pada kota-kota lain di Aceh (Politieke Politoneel Verslag Betreffende het Gewest Atjeh en Onderhoorigheden. No. 130x/29, hlm. 91).
Organisasi Muhammadiyah pada mulanya masuk ke Aceh (Kutaraja) pada tahun 1923; dibawa oleh mantan sekretaris Muhammadiyah cabang Betawi, S. Djaja Soekarta, yang pindah ke Kutaraja dan bekerja pada Jawatan Kereta Api Aceh. Namun pada waktu itu belum dimungkinkan untuk mendirikan sebuah cabang di Aceh, karena personalia pengurus belum ada. Baru pada tahun 1927 dengan mendapat bimbingan dari seorang utusan pengurus pusat Muhammadiyah yang bernama A.R. Soetan Mansoer, organisasi ini secara resmi berdiri di Kutaraja. Adapun pimpinannya dipilih R.O. Armadinata seorang dokter gigi yang pada waktu itu bertugas di Kutaraja. Selaku konsul pertama dijabat oleh Teuku Muhammad Hasan Glumpang Payong, pegawai kantor pusat kas-kas kenegerian di Kutaraja. Pada tahun 1928 organisasi ini mendirikan pula sebuah perkumpulan wanita, Aisyiyah, yang mengurus hal-hal yang menyangkut dengan kepentingan dan kemajuan kaum wanita; sebuah organisasi kepanduan yang bernama “Hizbul Wathan” dan sebuah lembaga pendidikan HIS.
Dalam perkembangannya Muhammadiyah juga mendirikan cabang-cabang pada beberapa kota lain di Aceh. Di Sigli didirikan pada tanggal 1 Juli 1927, Lhok Seumawe pada bulan Agustus 1927 dengan mendapat dukungan sepenuhnya dari uleebalang setempat. Di Kuala Simpang pada tanggal 7 Oktober 1928, Langsa pada tanggal 29 Oktober 1928, Takengon pada bulan Mei 1929 dan Bireun tahun 1928. Cabang-cabang Muhammadiyah tersebut di atas, sebagian besar beralokasi di pantai timur Aceh. Dengan dalih politik Pemerintah Hindia Belanda di Aceh melarang Muhammadiyah mendirikan cabang-cabangnya di wilayah pantai barat Aceh. Namun demikian, di kota Tapaktuan terdapat sebuah organisasi yang bernama Sumatra Thawalib yang mendapat pengaruh langsung dari perguruan Thawalib Sumatra Barat yang anggota-anggotanya juga sebagai pendukung Muhammadiyah (Anthony Reid, 1979: 20). Akan tetapi dalam perkembangan lebih lanjut, sesudah diadakan pendekatan dan persetujuan dengan pemerintah oleh konsul Muhammadiyah sendiri (Teuku Cut Hasan Meuraksa yang menggantikan Teuku Muhammad Hasan Glumpang Payong; maka semenjak tahun tiga puluhan, pemerintah Hindia Belanda telah menyetujui pendirian sebuah cabang Muhammadiyah di Calang (salah sebuah kota di pantai barta Aceh); yang diikuti dengan didirikan sebuah lembaga pendidikan HIS (A.J. Piekar, 1949).
Pada masa akhir pemerintahan Belanda di Aceh (1942), jumlah cabang Muhammadiyah di seluruh Aceh tercatat 8 buah. Pada setiap cabang umumnya terdapat pula organisasi kepanduan “Hizbul Wathan” dan sejumlah lembaga pendidikan adalah sebagai berikut ; 9 buah HIS, masing-masing terdapat di Kutaraja, sigli, Lhok Seumawe, Langsa, Kuala Simpang, Calang, Tekengon, Idi dan Meureudu: I buah MULO dan 1 Leergang Muhammadiyah (Darul Muallimin) keduanya beralokasi di Kutaraja; 10 buah Diniyah yang terdapat di Kutaraja, Lubok, Sigli, Lhok Seumawe, Takengon, Kuala Simpang, Calang, Idi, Meureudu dan Bireun; dan I Taman Kanak-Kanak di Kutaraja (J. Jongenjans, 1939: 261).
Apabila dibandingkan dengan organisasi-organisasi lain yang datang dari Jawa (di antaranya Budi Utomo, Serikat Islam, Insulinde, Taman Siswa, Jong Islamieten Bond (JIB) dan Parindra), Muhammadiyah merupakan organisasi yang relatif dapat hidup dan berkembang di Aceh. Sekelompok cendekiawan Aceh menjadi anggota dan pendukun Muhammadiyah. Melalui organisasi ini mereka menyalurkan aspirasi-aspirasi politik dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang kelihatannya bersifat sosial (A.J. Piekar, 1949) sehingga telah memberi warna tersendiri bagi Muhammadiyah di Aceh. Kalau di Jawa Muhammadiyah lebih menitikberatkan gerakan pada bidang keagamaan dan sosial, di Aceh di samping yang tersebut di atas, juga turut dalam gerakan-gerakan politik (A.J. Piekar, 1949).
Pada tahun 1928 di Kutaraja didirikan sebuah organisasi yang bernama Atjehsche Studiefonds (Dana Pelajar Aceh). Tujuannya membantu anak-anak Aceh yang cerdas tetapi tidak mampu dalam biaya sekolahnya. Lembaga ini pada tahun 1929 dengan Surat Keputusan Pemerintah Pusat tanggal 1 Februari 1929 no. 25 telah memperoleh hak sebagai badan hukum. Adapun pengurusnya terdiri dari : Tuanku Mahmud dan Teuku Hasan Dik sebagai ketua dan wakil ketua, bendahara, H.M. Bintang, serta komisaris Teuku Nyak Arief, Tuanku Djamil, Abidin dan T. A. Salam. Anggotanya terdiri dari para uleebalang, guru-guru dan pedagang yang pada saat mula dibentuk berjumlah 137 orang (Mailr: 10). Sementara di Peureulak (Aceh Timur) pada tahun 1929 berdiri sebuah organisasi pendidikan yang bernama School Vereeniging PUSAKA Perkumpulan Usaha Sama Akan Kemajuan Anak). Tujuannya adalah untuk mendirikan sebuah sekolah rendah berbahasa Belanda seperti Holland Inlandsche School (HIS). Pengurusnya terdiri dari Teuku Chiek Muhammad Thayeb (uleebalang Peureulak) sebagai pelindung; Teuku Cut Ahmad sebagai penasihat; T.M. Nurdin sebagai ketua; H.M. Zainuddin selaku penulis; dan Muhammad Hasyim sebagai bendahara, serta T.M. Hasan, Teuku Itam Osman, Teuku Sabi dan Muhammad Syam masing-masing sebagai komisaris (H.M. Zainuddin, 1965: 127-129).
Dalam rangka memajukan bidang seni di daerah Aceh, pada tahun 1908 di Ulee Lheue didirikan sebuah organisasi musik yang diberi nama Atjeh Bond. Bertindak sebagai sponsor dan pengawasnya Teuku Teungoh uleebalang Meuraksa. Sebagai guru/pengajar ditunjuk seorang Indo Jerman yang bernama A. Theveunet dan sebagai ketua korps pemain ialah Teuku Husein Trumon, alumni Sekolah Raja Bukit Tinggi. Atjeh Bond Ini pada tahun 1909 ikut bermain memeriahkan pasar malam yang dilangsungkan di Kutaraja dan mendapat sambutan baik dari masyarakat Aceh. Pada tahun 1919 juga ikut berperan dalam Pekan Kebudayaan yang diselenggarakan oleh organisasi Atjeh Vereeniging (Serikat Aceh) di Kutaraja Langkah Atjeh Bond diikuti pula oleh beberapa kenegerian di Aceh. Seperti di Peureulak pada tahun 1930 muncul Jolly Night Bond serta Tugep (Tuneel Genelschap Peureulak dan di Jeunib (Aceh Utara) tahun 1937 Liliput Band di bawah asuhan Teuku Ahmad uleebalang Cut Jeunib (H.M. Zainuddin, 1965).
Perguruan Nasional Taman Siswa didirikan di Kutaraja tanggal 11 Juli 1932. Pendirian cabangnya di Aceh diprakarsai oleh tokoh-tokoh masyarakat Aceh sendiri dengan mendapat dukungan dari beberapa orang terpelajar yang berasal dari luar daerah. Untuk ini jauh sebelumnya telah dibentuk panitia pendirinya yang terdiri dari: Teuku Hasan Glumpang Payong (Teuku Hasan Dik) sebagai ketua, Teuku Nyak Arief sebagai wakil ketua, sebagai penulis ialah Pohan dari Tapanuli, sedang anggota-anggotanya A. Aziz (Padang), Paman Ras Martin (Ambon) dan lain-lain. Panitia segera mengirim utusannya, T.M. Usman El Muhammady, ke Yogyakarta menemui Ki Hajar Dewantara, memohon agar Taman Siswa membuka cabangnya di Aceh. Berdasarkan permohonan tokoh-tokoh masyarakat tersebut, Majelis Luhur Taman Siswa mengirimkan tiga orang gurunya ke Aceh, yaitu Ki Soewondo Kartoprojo beserta istri (yang bertugas juga sebagai guru) dan Soetikno Padmosoemarto. Dengan bermodalkan semangat dan kesadaran nasional yang tinggi ketiga tokoh Taman Siswa ini berangkat ke Aceh yang sebenarnya masing Asing dan belum dikenal tentang seluk beluk masyarakat dan adat istiadatnta pada waktu itu, ini tidak terlepas dari usaha pemerintah kolonial Belanda untuk menakuti setiap orang yang masuk ke Aceh. Akan tetapi, setelah mereka tinggal di Aceh, apa yang ditakutkan, bahwa orang Aceh membenci setiap orang luar, ternyata tidak benar sama sekali. Berkat pembinaan yang tekun dari mereka, dalam waktu yang relatif singkat panitia telah berhasil membuka 4 buah sekolah Taman Siswa di Kutaraja, yaitu sebuah Taman Anak, Taman Muda, Taman Antara dan Taman Dewasa.
Sementara itu pada tanggal 12 Mei 1932 dengan mengambil tempat Kantor Uleebalang Kaway XVI Meulaboh telah diadakan rapat dalam rangka pembentukan cabang Taman Siswa. Rapat ini dihadiri oleh sekitar 150 orang dan pengambil insiatifnya ialah uleebalangnya sendiri, Teuku Chiek Mohammad Ali Akbar serta calon penggantinya Teuku R. Neh. Di daerah ini juga selama dua tahun (sampai Tahun 1934) telah berhasil dibuka 4 buah sekolah, serupa dengan di Kutaraja, yaitu Taman Anak, Taman Muda, Taman Antara dan Taman Dewasa.
Pada akhir bulan Juli 1932 di Sabang telah direncanakan untuk mendirikan cabang Taman Siswa; sebagai pengambil inisiatifnya ialah: Teuku Abbas, uleebalang Sabang dan dr. Latumeeten, yang bersal dari Ambon dan bekerja sebagai Kepala Rumah Sakit Jiwa Sabang. Pendiriannya baru dapat dilakukan dalam bulan September 1932 dan pada tahun berikutnya berhasil dibuka dua buah sekolah yaitu Taman Anak dan Taman Muda di bawah pimpinan Soewandi dan Jakob.
Sebagai daerah terakhir yang berhasil dimasuki Taman Siswa pada waktu itu ialah Jeunib, sebuah daerah uleebalang cut yang termasuk dalam wilayah daerah Uleebalang Samalanga di Aceh Utara. Teuku Ahmad, adik Teuku Chiek Samalanga yang ditempatkan sebagai Uleebalang Cut di Jeuniib, pada tahun 1935 mendirikan cabang Taman Siswa dan berhasil membuka dua buah sekolah, yaitu Taman Anak dan Taman Muda di bawah pimpinan Moedhani. Dalam perkembangan selanjutnya Taman Siswa Jeunib kemudian dipindahkan ke Bireun (Rusdi Sufi, 1998: 54-55).
Selain itu, berdiri pula sebuah Organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), yang dari hasil keputusan musyawarah ulama seluruh Aceh yang diadakan pada tanggal 5-8 Mei 1939, bertepatan dengan hari peringatan lahirnya (maulid) Nibi Muhammad tanggal 12 Rabiul Awal 1358 H, di Kampus Madrasah Almuslim Peusangan, Matang Glupang Dua (Onderafdeeling Bireun, Aceh Utara). Sebagai pengambil inisiatifnya ialah Teungku Abdur Rahman Meunasah Meucap dan Teungku Ismail Yacob dengan mendapat restu dan perlindungan dari Teuku Chiek Muhammad Johan Alamsyah, uleebalang Peusangan. Adapun pengurus pertama yang berhasil disusun pada waktu itu terdiri dari Teungku Muhammad Daud Beureu-eh dan Teungku Abdur Rahman Meunasah Meucap sebagai ketua dan wakil ketua, Setia Usaha (sekretaris) I dan II: Teungku M. Nur El Ibrahimy dan Teungku Ismail Yacob, Bendahara T.M. Amin dan komisaris-komisaris ialah Teungku Abdul Wahab Keunalo-Seulimum, Teungku Syekh Abdul Hamid Samalanga, Teungku Usman Lampoh Awe, Teungku Yahya Peudada, Teungku Mahmud Simpang Ulim, Teungku Ahmad Damhuri Takengon, Teungku Muhammad Daud, Teungku Usman Aziz. Berhubung ketua I bertugas di Sigli pada Madrasah Saadah Adabiyah Blang Paseh, untuk sementara waktu, ditetapkan pengurus PUSA berkedudukan di Sigli.
Dalam rangka pembentukan-pembentukan cabang di daerah, pengurus pusat telah memberi mandat, antara lain, keada Teungku Abdul Wahab Keunalo-Seulimum untuk daerah Aceh Besar, Teungku Nyak Cut dan Teungku Syekh Brahim, Aceh Barat, Teungku Zamzamy, Aceh Selatan, Teungku Ismuha dan Teungku Ismail Yacob, Aceh Utara dan Teungku M. Amir Husin Almujahid untuk Aceh Timur. Tanpa menghadapi rintangan yang berarti, para pemegang mandat ini dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
PUSA merupakan sebuah organisasi kedaerahan yang dalam berbagai geraknya tampak watak Aceh yang khas. Oleh Karena itu, tidak mengherankan apabila organisasi ini dalam waktu yang relatif singkat sudah meluas ke daerah seluruh Aceh dan menjadi milik masyarakat. Apabila Teungku Muhammad Daud Beureu-eh atau pengurus PUSA lainnya mengadakan perjalanan keliling untuk propaganda sampai ke daerah pesisir barat Aceh selalu mendapat sambutan yang meriah. Hanya di beberapa tempat saja, yaitu dalam beberapa wilayah di pesisir selatan mungkin karena corak Minagkabau-Tapanulinya kuat di sini gerakan PUSA tidak banyak memperoleh pengikutnya. Di samping itu, sebagian besar para uleebalang, pada awal pendirian PUSA di daerahnya, bahkan Tuanku Mahmud, yang begitu besar simpatinya kepada gerakan ini, telah diangkat menjadi pelindung PUSA seluruh Aceh. Tampaknya dengan lahirnya PUSA, pergerakan nasional di Aceh telah menemukan bentuknya sendiri, dalam pengertian sebagian besar pemimpin pergerakan di daerah ini telah berhasil dipersatukan dalam organisasi tersebut untuk kesatuan geraknya.
Adapun maksud dan tujuan dari gerakan PUSA, seperti tercantum dalam anggaran dasarnya sebagai berikut;
a. Oentoek menyiarkan, menegakkan dan mempertahankan syiar agama Islam
b. Menjatoekan paham pada penerangan Hoekoem
c. Memperbaiki dan menjatoekan leerplan-leerplan pelajaran aga di sekolah-sekolah agma
d. Mengoesahakan oentoek mendirikan perguruan Islam dan mendidik pemoeda-pemoeda serta poetri-poetri Islam dalam keagamaan.
Apabila diperhatikan dari anggaran dasar tersebut, tampaknya PUSA tidak bergerak dalam bidang politik. Akan tetapi, dalam praktek yang secara samar-samar mulai kelihatan semenjak kongres pertama tahun 1940, keadaanya akan berlainan sama sekali. Benih-benih permusuhan terhadap Belanda sungguh-sungguh ditanamkan, terutama kepada pemuda melalui organisasi kepanduannya, Kasysfatul Islam (KI), sehingga pada gilirannya kelak gerakan ini telah menjadikan dirinya sebagai wujud gerakan anti pemerintah Belanda yang cukup membahayakannya.
Untuk mencapai tujuannya, sebagai langkah pertama, sebuah sekolah guru yang bernama Normal Islam Institut Bireun, dibuka pada tanggal 27 Desember 1939. Sebagai pimpinannya ditunjuk M. Nur El Ibrahimy, lulusan Al-Azhar University dan Darul Ulum Mesir, sedang wakilnya ialah Teuku Muhammad, mantan Siswa R.H.S (Rechts Hoge School) di Jakarta. Jumlah siswa tahun pertama sebanyak 57 orang, terdiri dari 55 putera Aceh, seorang putera Minangkabau dan seorang dari Palembang.
Pada tanggal 20-24 April 1940 PUSA mengadakan kongresnya yang pertama di Blang Asan, Sigli. Dalam kongres ini kelihatan kekuatan PUSA yang mengejutkan. Walaupun umurnya masih sangat singkat (satu tahun). Berbagai kekuatan dalam masyarakat, kelompok ulama fanatik atau yang maju, kelompok pemuda konservatif atau yang beraliran nasionalis, modern, para uleebalang yang anti Belanda bersatu dalam wadah ini dan menyalurkan aspirasinya di sana. Semua cabang di daerah mengirimkan wakilnya dan turut juga diundang peserta tamu dari luar, yaitu Mahmud Yunus dari Padang dan Encik Rahman El Junusiyah dari Padang Panjang. Tampaknya pemerintah Belanda waktu itu tidak cukup mempunyai kekuatan untuk membendung atau membubarkan kongres tersebut, walaupun ada pembicara yang diturunkan dari podium, karena kritik tajam terhadap politik pemerintah.
Sebagai hasil kongres telah diambil beberapa keputusan antara lain, yang penting ialah;
a. Pembentukan pemuda PUSA dan Muslimat PUSA, masing-masing dipimpin oleh Amir Husin Almujahid dan Teungku Nyak Asna Daud Beureu-eh (istri Teungku Mohammad Daud Beureu-eh).
b. Untuk menetapkan hukum yang menyangkut dengan berbagai masalah agama dan mengawasi PUSA agar selalu dalam geraknya sejalan dengan ketentuan agama dibentuk pula Majlis Taufiziah Syariyah PUSA di bawah pimpinan Teungku H. Hasballah Indrapuri.
c. Pembentukan bagian penyiaran dan Penerbitan PUSA dengan tugas utama menerbitkan majalah resmi PUSA.
Tugas pertama bagian pemuda adalah mengorganisir gerakan kepanduan, yang diberi nama Kasyafatul Islam (KI). Dengan demikian, kegiatan pemuda menjadi terkoordinir dan kekuatannya semakin tampak dalam masyarakat. Kwartir Induk KI ini ditempatkan di Idi, tempat tinggal Amir Husin Almujahid dan kwartir cabang dalam waktu singkat telah berhasil dibentuk di daerah-daerah, sehingga pada waktu pengangkatan Teuku Panglima Polem Mohammad Ali menjadi Panglima Sagi XXII Mukim, KI ikut ambil bagian sebagai pengawal kehormatan. Sedang pada kongres Pemuda dan Muslimat PUSA di Langsa pada tahun 1941 KI berhasil menjalankan tugasnya dengan baik, sebagai penjaga keamanan selama berlangsungnya kongres, apalagi suasana kongres cukup panas, karena para pemuda dengan bersemangat telah berani memperlihatkan sikap anti pemerintah Belanda, terutama dalam sidang-sidang tertutup suasana ini tampak sekali.
Sementara itu bagian Penyiaran dan Penerbitan berhasil pula menerbitkan majalah Penyoeloeh di bawah pimpinan Teungku Ismail Yakob. Majalah ini diterbitkan di Bireun dan dicetak di Medan. Untuk lebih mensejajarkan geraknya dengan organisasi-organisasi Islam di luar daerah pada akhir tahun 1940 PUSA juga telah menjadi anggota M.I.A.I (Majlis Islam Ala Indonesia).
Menjelang akhir kekuasaan Belanda, PUSA, melalui utusannya, Teungku Syekh Abdul Hamid Samalanga, mengadakan hubungan rahasia dengan Jepang di Penang. Setelah Jepang berkuasa, para pemimpin PUSA menjadi musuh Jepang yang ditakuti, sehingga banyak di antara mereka yang ditangkap, seperti Teungku Mohammad Daud Beureu-eh, Teungku Abdul Wahab Seulimum, Amir Husin Almujahid, Teungku Yunus Jamil, dan lain-lain. Peranan PUSA semakin menentukan nanti dalam mempertahankan kemerdekaan selama revolusi fisik (1945-1950). Pada waktu itu sebagian besar para pejabat pemerintahan, pemimpin/pergerakan masyarakat sampai pada tingkat yang paling bawah, anggota-anggota lasykar rakyat (Mujahidin, Pesindo,, dan lain-lain) terdiri dari mantan pemimpin serta anggota PUSA atau organisasi bawahannya (Kasyafatul Islam dan lain-lain ) di masa yang lalu (Ismuha, 1978).



III

Munculnya berbagai organisasi sosial politik dan keagamaan di Aceh pada masa pergerakan nasional, baik yang bersifat lokal maupun yang bersifat nasional, berkait erat dengan pertumbuhan dan perkembangan sistem pendidikan yang ada di daerah Aceh pada periode itu. Di antara organisasi itu dapat disebutkan di sini, misalnya ; Syarikat Islam (1916), Syarikat Oesaha (1916),, Syarikat Atjeh/Vereeniging Atjeh (1916), Wago Dhono Moeljo (Februari 1917), Syarikat Matoer (Mei 1917), Boedi Oetomo (Januari 1918), Selator rahim (Oktober 1918), Volksonderwijzersbond Atjeh (Desember 1918), Islam menjadi Satoe (1919), Insulinde (Februari 1919), Tjinta Bangsa (Mei (1919), Syarikat Cooperatie Toeloeng Manoeloeng (Desember (1919), Bajoer Oesaha (Maret 1920), Kongsi Atjeh Sumatra (Juli 1920) (mailr. 3225/20), Muhammadiyah (1927), Taman Siswa (1932), PUSA dan Persatuan Oeleebalang Groot Atjeh (POEGA) (1939).
Semua organisasi tersebut di atas umumnya dikoordinir dan dipimpin oleh para cendekiawan, baik dari hasil pendidikan pemerintah Belanda (pendidikan Barat) maupun dari hasil didikan pendidikan agama yang modernis. Hal ini membuktikan adanya kedaran nasional di antara mereka yang umumnya bertujuan untuk memperjuangkan nasib bangsanya melalui organisasi-organisasi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, (ed.), Segi-Segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh, (Jakarta: LP3ES, 1877).
C.L. “School en Huwelijk of Atjeh,” TBB (1915).
C.L., “Meisjesscholen of Atjeh”.
Hurgronje, C. Snouck 1891-1908, Betreffende de Religieus Politieke Toestanden in Atjeh”, Kern/sapieren No. 410. KIT LV Leiden.

Jongenjans, J Lan en Volk van Atjeh Vroeger en Nu (Baarn : N.V. Hollandia Drukkerij, 1939).
Koloniaal Verslag 1900.
Mardanas Safwan, Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arief (Jakarta: proyek Biografi Pahlawan Nasional Depdikbud, 1975).
mailr. 668/1900. mailr. 130x/29. mailr. 322/20. mailr. 3225/20. mailr. 353/109. mailr 234/10, mailr. 504/36, dan mailr. 953/10.
Memorie van Overgave A. Ph. Van Aken, mantan Gubernur Aceh dan Daerah-daerah Taklukannya, Februari 1936.
Menyambut Konferensi Muhammadiyah Wilayah Daerah Aceh Istimewa Aceh ke-26 (1962).
Piekaar, A.J, Atjeh en de Oorlog met Japan (Den Haag: W. Van Hoeve, 1949).
Politieke Politoneel Verslag Betreffende het Gewest Atjeh en Onderhoorigheden. No.130x/29.
Pringgodigdo, A.K, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia (Djakarta : Dian Rakjat, 1970).
Reid, Anthony, The Blood of People (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1979).
Sufi, Rusdi, Gerakan Nasionalisme di Aceh (1900-1942), (BKSNT Banda Aceh, 1998).
“Strukken van Adviseur voor Oosterse Talen en Mohammadan Recht”.
Van Sluijs,”Nota”, Atjeh en onderhoorigheden, September 1918 – Oktober 1920, Kernpapieren, 797/156, KIT.
Vb. 1-2’ 21-87.
Zainuddin, H.M, Bungong Rampö, (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1965).

1 komentar:

walcotjabier mengatakan...

Play roulette online for real money at DrmCad
Real Money 충주 출장샵 Roulette 나주 출장마사지 Online — 충청북도 출장마사지 Roulette is one of the most popular casino games to play, 부천 출장샵 so if you 창원 출장샵 enjoy playing roulette for real money