Minggu, 08 Februari 2009

Mengamankan Aceh Melalui Perbaikan Ekonomi

Oleh: Rusdi Sufi
Perlawanan rakyat Aceh terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah hingga awal abad XX masih tetap berlangsung. Ini membuktikan bahwa pemerintah belum berhasil menaklukan alias mengamankan Aceh. Untuk maksud ini pemerintah ketika memasuki abad XX mencoba melaksanakan suatu kebijaksanaan baru. Sejak waktu itu, pemerintah tidak lagi bertindak hanya dengan mengandalkan politik kekerasan, tetapi juga melalui perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan simpati rakyat. Di antaranya ialah dengan membangun ekonomi daerah dan memajukan ekonomi kerakyatan. Dalam kaitan ini pemerintah berharap bahwa jika ekonomi daerah dan ekonomi rakyat maju, maka dengan sendirinya tingkat kehidupan rakyat juga akan menjadi lebih baik. Dan ini tentunya akan berdampak kepada terjaminnya ketertiban dan keamanan daerah, sehingga rakyat tidak lagi memusuhi pemerintah serta akan melupakan penderitaan yang dialaminya akibat perbuatan pemerintah dalam bentuk penindasan yang sangat menyakitkan hati dan merugikan rakyat Aceh yang telah berlangsung sekian lama.1 Di samping itu juga diharapkan rakyat Aceh tidak lagi menentang pemerintah dan Aceh menjadi daerah yang aman seperti daerah-daerah lainnya di Nusantara.
Usaha pemerintah untuk memajukan ekonomi mulai diupayakan pada tahun 1901. Pada waktu itu Van Heutz (selaku Gubernur Sipil dan Militer di Aceh) meminta kepada Dinas Topografi membuat sebuah peta ikhtisar tentang daerah Aceh.2 Sesudah peta tersebut selesai, beberapa tempat yang dianggap potensial di wilayah Aceh mulai dieksplorasi dan dieksploatasi. Perkebunan-perkebunan swasta/pemerintah dan pertambangan-pertambangan mulai dibuka. Prasarana-prasarana ekonomi seperti jalan (termasuk jalan kereta api), jembatan-jembatan dan pelabuhan-pelabuhan serta irigasi-irigasi mulai dibangun.
Usaha pertanian, khususnya bersawah merupakan mata pencaharian pokok rakyat. Hal ini tercermin dalam sebuah peribahasa Aceh, pangulee hareukat meugoe (pertanian bersawah adalah usaha yang utama). Akibat keadaan politik menjelang akhir abad XIX (disebabkan peperangan yang terus menerus) yang melibatkan sebagian besar penduduk, maka usaha pertanian rakyat mengalami kemunduran. Sesuai dengan kebijaksanaan baru, maka pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk menggalakkan dan meningkatkan hasil produksi pertanian rakyat kembali. Untuk tujuan ini pemerintah menempuh beberapa cara. Diantaranya dengan memberikan bantuan modal kepada rakyat dan uleebalang yang tidak lagi melawan Belanda. Dalam hubungan ini pemerintah mendirikan bank seperti di wilayah Aceh Besar yang diberi nama de Groot Atjehsche Afdeeling bank. Rakyat yang menginginkan bantuan kredit untuk membuka kembali atau memperluas kebun-kebun dan sawah-sawah mereka dapat meminjam modal dari bank tersebut, tanpa dikenakan bunga.3 Selain itu, juga dengan mendatangkan petani-petani dari pulau Jawa (orang-orang Sunda) untuk memperkenalkan cara-cara bertani di Jawa. Di Aceh, mereka mendemontrasikan cara-cara mengolah tanah dengan menggunakan bajak Hindustan dan cara-cara menanam padi yang lebih baik.4 Pemerintah juga memperkenalkan varietas bibit yang lebih baik yang cocok untuk daerah Aceh; membangun irigasi-irigasi modern, serta juga membentuk sebuha badan yang bertugas memberikan penerangan atau penyuluhan di bidang pertanian rakyat. Badan ini disebut landbouwvoorlichtingsdienst (dinas penyuluhan pertanian).5
Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda, jumlah areal persawahan di Aceh pada tahun 1928 adalah 130.000 Ha; pada tahun 1932 sudah meningkat lagi menjadi 132.000 Ha6, dan dalam tahun 1936 meningkat lagi menjadi 140.500 Ha.7 Demikian pula dengan hasil produksinya, jika pada tahun-tahun permulaan abad ke XX hasil padi daerah Aceh hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri, maka pada tahun 1932 Aceh telah surplus beras, dan oleh pemerintah telah diusahakan untuk diekspor ke daerah Sumatra Timur untuk konsumsi karyawan-karyawan pada perkebunan yang berada di sana.8 Dalam tahun 1939 daerah Aceh telah surplus beras sebanyak 5.600 ton dan sebagian besar di antaranya diekspor ke daerah Sumatra Timur. Tahun 1940 dan 1941 surplus beras ini naik lagi menjadi 24.000 dan 36.000; sedang pada tahun 1942 (akhir masa pendudukan Belanda) daerah Aceh telah mengekspor beras ke daerah Sumatra Timur den juga ke daerah Sumatra Barat tidak kurang dari 45.000 ton.9 Ekspor beras untuk Sumatra Timur terutama berasal dari wilayah Aceh Utara, Aceh Timur, Gayo, dan tanah Alas yang diangkut ke daerah itu dengan menggunakan kereta api dan auto barang. Sedangkan yang diekspor ke Sumatra Barat, beras yang berasal dari wilayah Aceh Barat yang diangku ke sana dengan menggunakan kapal laut.10
Selain berusaha meningkatkan hasil produksi bersawah yang merupakan sumber penghasilan rakyat yang utama, pemerintah juga mengusahakan perbaikan-perbaikan pada usaha pertanian rakyat lainnya. Sehubungan dengan hal ini, semenjak awal abad ke XX pemerintah telah menganjurkan kepada rakyat agar mengusahakan kembali dan meremajakan pohon-pohon kelapa, pinang, dan lada pada kebun-kebun mereka. Untuk menunjang usaha ini pemerintah juga memberikan pinjaman modal kepada rakyat yang menginginkannya tanpa dikenakan bunga.11
Sama halnya seperti pada tanaman padi rakyat, untuk meningkatkan produksi lada juga diusahakan untuk memasukkan berbagai varietas bibit yang baik berasal dari Bangka dan Lampung.12 Pemerintah juga memberikan bantuan kredit tanpa bunga kepada rakyat yang memerlukannya, melalui bank-bank kecil yang khusus didirikan untuk menunjang usaha-usaha pertanian rakyat. Di wilayah Aceh Besar dalam tahun 1916 telah didirikan 5 buah bank kecil ini, sementara di Aceh Utara (Lhokseumawe) dan Aceh Timur (Langsa) sejak tahun 1913 juga telah didirikan masing-masing satu buah. Dalam tahun 1918 jumlah bank yang didirikan telah meningkat menjadi 29 buah.13
Usaha pemerintah untuk menggalakkan penanaman lada kembali, nampaknya cukup berhasil. Karena pada tahun 1914 daerah Aceh telah dapat mengekspor 3.303.000 kg lada hitam dan 1.000.000 kg lada putih. Pada tahun 1915 naik menjadi 4.046.000 lada hitam dan lada putih tetap 1.000.000 kg.14 Turunnya harga lada dipasaran dunia (karena macetnya pelayaran akibat Perang Dunia Pertama) telah mengakibatkan penanaman lada menjadi mundur, sehingga produksinya juga tidak dapat dipertahankan. Jika pada tahun 1919 ekspor lada (lada hitam dan lada putih) masih sebanyak 4.340.000 kg, maka pada tahun 1920 merosot menjadi 2.658.000 kg.15
Meskipun pada tahun dua puluhan penanaman lada rakyat mengalami kemunduran, tetapi usaha penanaman pinang menjadi bertambah maju. Pada beberapa wilayah (Aceh Besar, Aceh Utara, dan Aceh Timur) kebun-kebun pinang semakin bertambah. Ekspor pinang Aceh dipasarkan pada pusat-pusat pemasaran pinang terkenal, pinang dan Calcutta (India). Dalam tahun 1935 ekspornya berjumlah 27.000 ton dan pada tahun 1939 sekitar 25.000 ton dengan harga jual 5 per 100 kg. 16
Penanaman kelapa juga mendapat perhatian pemerintah. Sehubungan dengan hal ini pada wal abad ke XX, pemerintah telah menganjurkan kepada penduduk untuk meremajakan pohon-pohon kelapa pada kebun-kebun mereka.17 Untuk menggalakkan penanaman tanaman ini, pemerintah juga memberikan pinjaman modal tanpa bunga kepada mereka yang membutuhkan. Daerah yang banyak menarik perhatian melakukan penanaman kelapa pada mulanya adalah daerah Aceh Besar dan pulau Weh. Selanjutnya merembes ke beberapa tempat di wilayah pantai Barat Aceh, seperti Calang, Meulaboh, dan Singkil. Di tempat- tempat ini penanaman kelapa dilakukan secara besar-besaran. Keseluruhan areal perkebunan kelapa di daerah meliputi 1.000 Ha.18
Kelapa setelah dijadikan kopra kebanyakan diekspor ke Penang/Semenanjung Tanah Melayu dan Eropa. Ekspor Kopra Aceh pada tahun 1919 berjumlah 6.000 ton, dan pada tahun 1920 turun menjadi 4.000 ton.19 Turunnya ekspor kopra ini berkaitan dengan situasi harga pada waktu itu, yang sedang mengalami kemerosotan. Dalam tahun 1939 ekspor kopra Aceh hanya mencapai 12.150 ton dengan harga jual 3.50/100 kg.20
Selain mengusahakan peningkatan hasil produksi pertanian rakyat, pemerintah Hindia Belanda juga menginginkan hasil dari usaha pertanian budi daya. Dalam hubungan ini pemerintah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada perusahaan perkebunan swasta Eropa yang disebut ondernemingslandbouw untuk menanamkan modalnya dalam usaha pertanian/perkebunan di daerah Aceh. Untuk menggalakkannya, dalam tahun 1907 pemerintah memberikan tanah-tanah konsesi pertanian/perkebunan seluas 16.700 Ha, sedang jumlah konsesi untuk membuka hutan sebanyak 21 buah yang tersebar di seluruh Aceh.21 Untuk memperkenalkan cara-cara perkebunan yang modern, sebagai contoh, pemerintah mendirikan pula sebuah perkebunan karet pemerintah di Langsa (Aceh Timur).22
Pada mulanya perkembangan perusahaan perkebunan swasta ini berkaitan erat dengan situasi keamanan pada masa itu. Di daerah-daerah yang relatif telah aman, usaha-usaha ini dapat berjalan lancar, sementara pada daerah-daerah yang belum aman tidak dapat dilaksanakan. Sebagai contoh, daerah Gayo dan tanah Alas, baru dibuka untuk perusahaan perkebunan setelah ditaklukkan. Daerah yang paling banyak dibuka untuk usaha ini yaitu daerah pantai timur Aceh. Beberapa perusahaan perkebunan besar yang terdapat di wilayah ini antara lain:
1. De Bajan Sumatra Rubber Maatschappij. Didirikan pada bulan Mei 1911, dengan modal f. 1.000.000; luas 1.700 Ha.
2. Naamlooze Vennotschap Langsar-Landsyndicaat. Didirikan pada bulan Agustus 1910, modal f 500.000; luas 5.460 Ha.
3. Langsar Sumatra Rubber Maatschappij. Didirikan pada bulan Juni 1910 modal f 1.500.000.
4. Rubber Cultuur Maatschappij Soengey Raja. Didirikan pada bulan Oktober 1909, modal f 2.000.000; luas 14.184 Ha.
5. Batang Ara Cultuur Mij. Didirikan pada bulan Januari 1911, modal f 500.000.
6. Songei-Lipoet Cultuur Maatschappij. Didirikan pada bulan Pebruari 1908, modal f 750.000; luas 1.500 Ha.
7. Tamiang Rubber Estates Limited. Didirikan pada bulan September 1909, modal f 120.000; luas 4.752 Ha.23
Pada tahun 1923 jumlah perkebunan ada sekitar 20 buah; 12 di antaranya adalah kebun karet, 7 kebun kelapa sawit dan 1 kebun kelapa. Selain itu, terdapat juga sebuah perkebunan milik Perancis dan Belgia, Soc Fin (Societe Financiere des Caoutchoucs), lokasinya di daerah Tamiang dekat perbatasan dengan Sumatra Timur. Perkebunan ini mulai dibuka pada 26 Februari 1908, dengan arela seluas 30 Ha, dan pada tahun 1922 telah berkembang menjadi 5.751 Ha, dengan jumlah pekerja sebanyak 3.600 orang. Selain diperuntukkan untuk penanaman karet, perkebunan ini juga untuk penanaman kopi dan kelapa sawit.24
Di wilayah pantai Barat juga didirikan beberapa ondernemingslandbouw yang mengusahakan perkebunan karet dan kelapa sawit. Di daerah Meulaboh dan sekitarnya pada tahun 1934 terdapat 400.000 batang karet yang telah disadap getahnya.25 Usaha perkebunan kelapa sawit di wilayah ini dilaksanakan oleh N.V. Handelscereeniging Amsterdam dan Societe Financiere des Caoutschoucs. Pada tahun 1937 areal perkebunan kelapa sawit di daerah tersebut meliputi 11.325 Ha, dengan produksi 8.835,5 ton.26
Setelah daerah Gayo berhasil ditaklukkan (1908) beberapa perusahaan swasta kecil dan menengah mulai melakukan penanaman kopi di daerah itu. Adapun jenis kopi pertama yang ditanam adalah robusta. Lokasi penanaman kopi yang terkenal di daerah Gayo adalah Lampahan dengan areal tanah yang ditanami lebih kurang 100 Ha dan jumlah produksi sebanyak 75 ton pertahun. Produksi ini kemudian terus meningkat menjadi 225 ton. Pada tahun 1937 produksi daerah Gayo meningkat menjadi 589 ton dari luas areal 2.400 Ha.27 Daerah Alas yang tanahnya juga cocok untuk tanaman kopi beberapa perusahaan perkebunan telah pula dimanfaatkan untuk membuka perkebunan kopi. Hasil kopi dari seluruh Aceh terutama dipergunakan untuk konsumsi daerah Sumatra dan selebihnya diekspor ke Eropa. Selain kopi di daerah Gayo juga diusahakan perkebunan pohon tusam (pinus merkusi) yang luas arealnya mencapai 70.000 Ha. 28
Pada akhir tahun 1939 di seluruh Aceh terdapat tidak kurang dari 133 buah usaha perkebunan budi daya, dengan luasnya masing-masing 2.000 Ha atau lebih. Luas areal tanah yang ditanami menurut jenis di antaranya, karet 34.060 Ha, kelapa sawit 11.325 Ha, kopi 2.745 Ha, teh 850 Ha, dan pohon tusam (pinus merkusi) 70.000 Ha.29
Masuknya perusahaan-perusahaan perkebunan swasta Eropa ke daerah Aceh, secara tidak langsung telah membawa pengaruh pada sistem pertanian tradisional penduduk. Penanaman karet yang dipelopori oleh perusahaan-perusahaan tersebut seperti di daerah-daerah pantai timur dan pantai Barat Aceh telah menyebabkan rakyat juga menanam karet pada kebun-kebun milik mereka sendiri.30 Dengan adanya landbouwvoorlichtingdienst yang memberi penyuluhan tentang pertanian modern kepada rakyat dan keberhasilan badan ini dalam membuat proeftuin (kebun percontohan)31, juga telah menarik perhatian rakyat. Berhasilnya dengan baik kebun percontohan tanaman kopi di daerah Tangse (Pidie), telah membawa pengaruh kepada rakyat di daerah tersebut dan sekitarnya. Mereka mulai tergugah untuk menanam kopi pada tanah-tanah milik mereka. Tanaman kopi yang diusahakan rakyat ini rupa-rupanya dapat berkembang di wilayah itu, lebih-lebih dengan mendapat dukungan dari uleebalang setempat. Selanjutnya, penanaman kopi oleh rakyat ini diikuti pula oleh daerah-daerah lain sekitarnya.32
Diketemukannya sumber minyak bumi di wilayah pantai Timur dan pantai Utara Aceh menyebabkan daerah-daerah itu dibuka untuk kegiatan pertambangan. Pemboran pertama dimulai di daerah Peurelak pada tahun 1900, kemudian pada tahun 1902 dan tahun 1903 masing-masing di daerah Langsa, Peudada, Idi, Julok Reyeuk dan Cunda.33 Dengan demikian, di daerah-daerah itu muncul beberapa maskapai perminyakan seperti Holland Perlak Maatschappij, Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), Perlak Pertoleum Maatschappij, Petroleum Mij Zuid Perlak dan Nederland Koningklijk Petroleum Maatschappij (NKPM). Di antara maskapai yang paling banyak melakukan kegiatan adalah BPM. Maskapai ini memperoleh konsesi terbanyak meliputi beberapa ini memperoleh konsesi terbanyak meliputi beberapa petak wilayah, yaitu petak Aceh Timur, petak Tamiang, petak Aceh Utara dan Jambo Aye. Konsesi ini diperoleh Gubernur Jenderal pada tahun 1927, dan karena majunya usaha-usaha yang dilakukan BPM, pada bulan September 1930 mendapatkan lagi konsesi yang diberikan oleh Gubernur Aceh dan daerah-daerah takluknya.34
Dimilikinya daerah konsesi petak Taminag dengan umur Rantau oleh BPM, telah memberikan keuntungan besar bagi perusahaan itu. Karena Petak itu merupakan pusat penghasilan minyak bumi yang paling produktif di wilayah Kepulauan Indonesia, dengan produksi rata-rata 1.700 ton perhari.35 Selain itu juga, jika sumur-sumur minyak lainnya di Indonesia pemboran paling kurang untuk menghasilkan minyak mencapai ke dalaman 600 meter, maka di petak Tamiang dengan sumur Rantau cukup pada kedalaman 350 meter.36
Adapun jumlah produksi minyak BPM di daerah Tamiang dan Langsa pada tahun 1929 sebanyak 61.698 M3, dan pada tahun 1933 (hingga bulan Agustus) 727.267 M3. Semua minyak yang dihasilkan dari daerah Aceh ini, baik dari Perlak, Langsa maupun Tamiang selanjutnya dialirkan melalui sebuah pipa panjangnya 120 Km ke tempat penyulingan di Pangkalan Brandan (wilayah Sumatra Timur).37
Dengan adanya hasil minyak ini, selain memberi keuntungan bagi pemerintah, juga bagi daerah-daerah di mana minyak dihasilkan. Berdasarkan surat keputusan Gubernur Aceh dan Daerah Takluknya No. 9097/LK., tanggal 7 Juli 1934, ditetapkan bahwa daerah-daerah kenegerian yang ada usaha pertambangan minyak, berhak mendapatkan pemasukan dari usaha pertambangan itu.38 Dengan demikian, maka daerah-daerah Tamiang, Langsa, idi, dan Peureulak memperoleh penghasilan dari perusahaan-perusahaan pertambangan yang ada di wilayahnya sehingga daerah-daerah ini merupakan yang terkaya di daerah Aceh pada waktu itu.
Pembangunan jalan-jalan termasuk jalan kereta api yang dilaksanakan pemerintah Hindia Belanda di Aceh, pada mulanya semata-mata untuk kepentingan politis.39 Jaringan jalan yang pertama dibangun adalah di wilayah Aceh Besar. Pada saat Belanda masuk, daerah ini hanya memiliki 3 buah jalan yang berarti selebihnya adalah jalan-jalan setapak yang menghubungkan antarkampung di wilayah Aceh Besar.40 Untuk kepentingan militer, dalam rangka penaklukkan, Belanda terpaksa membangun jalan-jalan baru, jembatan-jembatan dan jalan kereta api yang kesemuanya dilakukan oleh zeni militer. Pada tahun 1904 sejumlah jalan-jalan yang telah dibangun ini diperbaiki dan jembatan-jembatannya dibuat yang permanen.41
Setelah Aceh Besar, perhatian berikutnya ditujukan ke daerah-daerah lain di luar Aceh Besar. Pembangunan kereta api secara bertahap diteruskan ke wilayah Pidie; selanjutnya sepanjang pantai Aceh Utara, Aceh Timur hingga ke Besitang (perbatasan dengan Sumatra Timur). Di sini kereta api ini (Atjeh-Tram) dihubungkan dengan kereta api milik DSM (Deli Spoorweg-Maatschappij), yang peresmiannya dilakukan pada 29 Desember 1999.42
Daerah Gayo setelah ditundukkan (1908) diusahakan agar tidak terisolir lagi. Untuk ini, pemerintah membangun sebuah jalan yang dapat membuka dan menghubungkan daerah ini dengan daerah-daerah lain di tepi pantai. Panjang Jalan yang dibangun sekitar 125 Km, mulai dari kota Bireun (Aceh Utara) hingga kota Takengon (Gayo, Aceh Tengah). Dalam tahun 1914 pembangunan jalan ini selesai dengan menelan biaya 1½ Juta gulden.43
Masa antara tahun 1915-1918 pembuatan jalan di Aceh semakin meningkat. Jalan-jalan raya yang telah ada diperbaiki dan diperpanjang juga dibangun jalan-jalan baru terutama untuk keperluan mobil yang mulai digunakan di Aceh. Dalam tahun 1918 sudah ada 154 buah mobil, 10 sepeda motor dan ribuan buah sepeda.44 Selain itu, juga dibangun sejumlah jalan kecil yang hanya dapat dilewati oleh gerobak. Gunanya untuk menghubungkan daerah-daerah terpencil dengan daerah-daerah "terbuka". Misalnya, jalan-jalan yang menghubungkan Aceh Timur dengan negeri Alas. Karena mendesak untuk kepentingan keamanan, beberapa jalan dibangun dengan bantuan militer, seperti jalan Blangkejeren denga Kutacane dan jalan antara Seulimum dengan Padang Tiji.
Tahun dua puluhan dan tiga puluhan, pembangunan jalan terus mengalami peningkatan. Karena rupa-rupanya pembangunan ini mendapat prioritas dari pemerintah45, yang menganggapnya sebagai salah satu alat untuk mencapai sasaran politik pasifikasi.46
Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda dalam rangka mengambil hati rakyat dapat dikatakan cukup berhasil. Keadaan ekonomi dan politik daerah Aceh menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda menjadi bertambah baik. Keamanan daerah semakin mantap; rakyat mulai percaya terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Kehidupan ekonomi yang sebelumnya mengalami kemunduran akibat perang dengan Belanda, juga menjadi semakin meningkat; terutama jika dilihat dari segi-segi hasil-hasil produksi dan ekspor beberapa jenis hasil pertanian sehingga daerah Aceh pada waktu itu telah sejajar dengan daerah-daerah lain dalam wilayah Hindia Belanda.47
Di lain segi, adanya berbagai kegiatan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda sehubungan dengan politik menyenangkan rakyat telah menyebabkan timbulnya beberapa perubahan dalam masyarakat. Rakyat Aceh mulai mengenal sistem pertanian baru dan daerah Aceh mulai terbuka bagi pendatang-pendatang dari luar. Posisi politik dan kedudukan para uleebalang menjadi berubah.48 Aceh mulai terkait pada politik kolonial, ekonominya berubah wajah menjadi ekonomi kolonial dalam bentuk-bentuk eksploitasi.
Tujuan pemerintah Hindia Belanda untuk memperbaiki dan meningkatkan perekonomian di Aceh, tidak terlepas dari kepentingan politis. Pembangunan sarana-sarana perhubungan (jalan-jalan raya dan jalan kereta api) lebih ditekankan pada kepentingan politis daripada kepentingan ekomomis.49
Pembuatan jalan dimaksudkan sebagai usaha membebaskan daerah-daerah yang terisolir. Karena adanya jalan-jalan itu memungkinkan penduduk melakukan kontak yang terus menerus dengan dunia luar sehingga mentalitas mereka di daerah-daerah yang telah terbuka itu akan mengalami perubahan. Dengan demikian, akan membuat keadaan politik menjadi lebih baik. Begitu pula dengan pembangunan beberapa irigasi besar, meskipun biaya itu sangat besar jumlahnya bila dibandingkan dengan kepentingan ekonomis, tetapi tetap dilaksanakan. Karena dalam hal ini pemerintah telah menempatkan keuntungan politik di atas kepentingan ekonomi.50

Catatan Akhir

H.N.A. Swart, Memorie van Overgave van Atjeh en Onderhorigheden, 30 Agustus 1918. Mailr. 2398/18.

2J. Langhout, Economische Staatkunde in Atjeh (Den Haag: W.P. Van Stockum & Zoon, 1923), hal. 84.

3Ibid., hal. 91.

4Koloniaal Verslag (1907), hal. 18. Lihat juga J. Langhout, op.cit, hal. 89-90.

5J. Jongejans, Land en Volk van Atjeh Vroger en Nu. (Baarn: Hollandia Drukkerij, 1939), hal. 187.

6Memorie van Overgave van Atjeh en Onderhorigheden van A.H. Philips, 31 Mei 1932. Mailr. 1624-'32. hal. 46-47.

7J.R.C. Gonggrijp, op.cit., hal.7.

8De Deli Courant, Medan, 12 Juni 1933.

9A.J. Piekar, Atjeh en De Oorlog met Japan. (The Hague: Van Hoeve, 1949). hal. 24.

10Ibid., hal. 25.

11Koloniaal Verslag (1905), hal. 21.

12J. Langhout., op.cit., hal. 171.

13Ibid., hal. 110.

14K.A. James, "De pepercultuur ter Oostkust van Atjeh", Koloniale Studien. (Weltevreden: G. Koeff & Co, 1922), hal. 375.

15J. Langhout, op.cit., hal. 120.

16Ibid., hal. 127.

17A.J. Piekar, op.cit., hal. 26.

18Koloniaal Verslag (1905), hal. 21.

19J.Jongejans, op.cit., ha. 158.

20J. Langhout, op.cit., hal 120.

21A.J. Piekar, loc.cit.

22J. Langhout, op.cit., hal 90.

23Ibid.

24Van Eijbergen, "Atjeh" up to Date", Tijdschrift Voor Het Binnenlandsch Bestuur. (Batavia: G. Kolff & Co, 1914), hal. 13-16.

25J. Langhout, op.cit., hal. 188.

26A. Th. Smeets, Memorie van Overgave van Onderafdeeling Meulaboh, 9 Mei 1934.

27J. Jongejans, op.cit., hal. 162.

28Ibid.

29A. J. Piekar, loc.cit.

30Ibid. hal. 27.

31J.Jongejans, op.cit., hal.188.

32Ibid.

33P. Schtolten, Memorie van Overgave van Onderafdeeling Lameulo, 5 Desember 1933.

34J. Jongejans, op.cit. Lihat juga J. Langhout, op.cit., hal. 85.

35Th. O.B. Gunther, Memorie van Overgave van den Controleur van Tamiang, 1 November 1933.

36J. Jongejans, op.cit hal. 201.

37K.H. de Boer, Bestuurs-memore tevens Memorie van Overgave van Onderafdeeling Langsa, 10 Juli 1927.

38Ibid.

39R. Broesma, Atjeh Als Land voor Hadel en Bedrijf, (Utrecht: Gebrs Cohen, 1925), hal 34.

40O. Treffers, Berstuurmemorie tevens Memorie van Overgave van der Controleur der Onderafdeeling Langsa, 7 November 1934.

41Lihat D.H. Burger, Sedjarah Ekonomi Sosiologis Indonesia. (Djakarta: Paradya Paramita, 1970), hal. 140. Terjemahan Prajudi Atmosudirdjo.

42J.C.A. Bannink, "De Verovering en Pacificatie van Atjeh, Vergeleken Met De Geschiedenis Van Britisch Birma", De Indische Gids (Amsterdam: J.H. De Bussy, 1936), hal. 146.

43Koloniaal Verslag (1905), ha. 21.

44G.P.J. Caspersz, De Atjehtram hare geschiedenis: haar aandel in onderwerping en pacificatie van Atjeh; technische bijzonderheden.('s-Gravenhage: F.J. Belinfante, Voorh. A.d Schinkel, 1927). hal. 29-30.

45C.L., "De Gayoweg", TBB (Batavia: G. Kolf & Co, 1915), hal. 299.

46J. Langhout, op.cit., hal. 112.

47A.J. Piekar, op.cit., hal. 28.

48Mailr. 1624-'32.

49M.H. Du Croo, loc.cit., lihat jugca J.H.C. Gonggrip, loc.cit.

50Lihat J. Kreemer, "De Inkomsten van het Landschapbestuur in het Gewest Atjeh en Onderhoorigheden", De Indische Gids, 42, I, (1920), hal. 12

Tidak ada komentar: