Minggu, 08 Februari 2009

SEKELUMIT CATATAN TENTANG BANDA ACEH PADA MASA PENDUDUKAN BELANDA

Oleh: Rusdi Sufi

Berdasarkan jejak-jejak sejarah, dapat diketahui bahwa kota Banda Aceh telah memiliki usia yang relatif tua. Manuskrip Adat Aceh yang disimpan pada India Office Library dan telah dimuat dalam Verhandelingen Van het Koninklijk Instituut voor Taal-, en Volkenkunde jilid XXIV (1958), dengan diberi kata pengantar dan catatan oleh G.W.J. Drewes dan P. Voorhoeve, dapat dilihat bahwa raja atau Sultan pertama di negeri Bandar Aceh Darussalam telah memerintah lebih dari 700 tahun (semenjak awal abad ke VII H). Dengan demikian kalau manuskrip Adat Aceh itu benar dapat berarti pula bahwa kota Bandar Aceh Darussalam juga telah berumur lebih dari 700 tahun.
Dalam perjalanan sejarahnya kota ini, selain sebagai ibukota Kerajaan Aceh dan berperan sebagai pusat kedudukan pemerintahan, juga pernah berperan sebagai salah satu pusat perdagangan dan tamaddun di kawasan Asia Tenggara. Hal ini terjadi pada masa jaya-jayanya Kerajaan Aceh, yaitu pada abad ke XVI dan abad ke XVII. Namun ketika kerajaan Aceh telah mengalami kemunduran (abad ke XVIII dan abad ke XIX), kehebatan dan ketenaran kota Banda Aceh juga ikut memudar, lebih-lebih di saat berkecamuknya perang antara Belanda dengan Kerajaan Aceh pada akhir abad ke XIX dan awal abad ke XX. Pada waktu itu pihak Belanda telah berhasil menguasai dan menduduki kota Banda Aceh. Akibat dari pendudukan Belanda ini, maka dalam perkembangannya pola kota Banda Aceh menjadi berubah.1 Kota ini selanjutnya ditata menurut keinginan dan kepentingan Belanda.
Sejak tahun 1974 nama kota Bandar Aceh Darussalam oleh Belanda diganti menjadi Kutaraja.2 Nama ini sebenarnya berasal dari nama sebuah tempat pertahanan/benteng Sultan atau Raja yang terdapat dalam (kraton) bagian dari kota Bandar Aceh Darussalam.3 Kutaraja atau benteng raja ini sudah ada jauh sebelum datangnya Belanda sehingga ketika Belanda berhasil merebut kraton nama Kutaraja tetap mereka gunakan. Bahkan dalam laporannya ke Batavia mereka menyebutkan bahwa nama Kutaraja masih mereka gunakan sebagaimana disebutkan oleh orang Aceh sendiri. Kalau sebelum pendudukan Belanda kota Banda Aceh berperan sebagaimana telah disebutkan di atas (sebagai kota perdagangan, ibukota kerajaan dan pusat tamaddun), maka di bawah Belanda kota ini muncul sebagai kota garnizun yang merupakan tipe kota baru di Aceh pada waktu itu.4 Berpuluh tahun lamanya kota Banda Aceh (yang pada waktu itu disebut Kutaraja) menjadi pusat kegiatan militer Belanda. Pada beberapa bagian dari kota dibangun tangsi-tangsi/barak-barak militer dan tempat-tempat pemukiman orang-orang Belanda, yang secara fisik hingga sekarang sebagiannya masih dapat disaksikan di kota Banda Aceh.
Di bawah kuasa Belanda, kota Banda Aceh dijadikan sebagai tempat kedudukan seorang gubernur, baik gubernur militer (sebelum tahun 1918) maupun gubernur sipil (dari tahun 1918-1936). Gubernur ini membawahi Aceh dan Daerah-Daerah Takluknya yang dalam istilah Belanda disebut Atjeh en Onderhoorigheden. Wilayahnya meliputi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sekarang. Sejak tahun 1936 Pemerintah Hindia Belanda merubah status Aceh dari gubernemen menjadi keresidenan, yang pimpinannya berada di bawah seorang Residen dan juga berkedudukan di Kutaraja (Banda Aceh). Status karesidenan ini berlangsung hingga tahun 1942, saat Belanda harus angkat kaki dari daerah Aceh untuk selama-lamanya.
Untuk kelancaran administrasi pemerintahannya di daerah Aceh dan Daerah-Daerah Takluknya, pemerintah Kolonial Belanda membangun sebuah gedung dalam kompleks bekas kraton Aceh. Pembangunan gedung ini diprakarsai oleh Letnan Jenderal Karel van der Heijden yang pada waktu itu menjabat sebagai Komandan Militer dan Sipil Belanda di Aceh (Juni 1877-1881). Bangunan yang dibangun di kota Banda Aceh ini sangat megah dan merupakan satu-satunya bangunan yang paling anggun di Aceh pada waktu itu. Digunakan pertama kali oleh Letnan Jenderal Karel van der Heijden sendiri pada tahun 1880. Bangunan ini hingga sekarang masih dapat dijumpai di kota Banda Aceh yang populer dengan sebutan Pendopo Gubernur Aceh.5
Setahun kemudian (1881) pemerintah kolonial Belanda membangun sebuah bangunan lain lagi yang juga tidak kalah anggunnya dengan bangunan yang telah digunakan pada tahun 1880. Bangunan yang dimaksud adalah masjid yang hingga sekarang dikenal dengan nama Masjid Raya Baitul Rahman Banda Aceh. Mesjid ini pada mulanya telah berdiri dengan megah sejak didirikan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636).6 Hingga Belanda menyerang kerajaan Aceh pada tahun 1873, Mesjid Baitul Rahman ini masih terpelihara dengan baik dan bahkan dijadikan oleh pejuang-pejuang Aceh sebagai tempat pertahanan dan markas mereka dalam mempersiapkan penyerangan-penyerangan balasan terhadap serdadu Belanda. Dan dari mesjid inilah salah seorang pejuang Aceh berhasil menembak tewas Jenderal Belanda J.H.R. Kohler yang memimpin penyerangan Belanda pertama sekali terhadap kerajaan Aceh. Namun pada tanggal 6 Januari 1874 Belanda berhasil merebut Mesjid Raya tersebut dan juga Kraton Aceh. Disebabkan mungkin karena Belanda menganggap mesjid tersebut sebelumnya sebagai pusat pertahanan pejuang-pejuang Aceh, maka dalam tahun itu juga mesjid tersebut dibakar oleh Belanda.
Mungkin karena menyadari kesalahannya dan untuk menarik hati pejuang-pejuang Aceh, supaya tidak melawan Belanda, maka pada 24 hari bulan Safar 1299 Hijrah atau bertepatan dengan 27 Desember 1881, Belanda membangun kembali sebuah mesjid di tempat mesjid yang mereka bakar pada tahun 1874. Peletakan batu pertama mesjid ini dilakukan oleh Letnan Jenderal Karel van der Heyden dan pihak yang mewakili rakyat Aceh yaitu oleh Teuku Kadhi Malikul Adil.
Perintisan pembangunan kembali mesjid ini sebenarnya sudah terlintas dalam pikiran Jenderal van Swieten (yang memimpin penyerangan Belanda ke II terhadap Aceh). Sebelum kembali ke Batavia, van Swieten memaklumkan bahwa pemerintah Belanda menghormati sepenuhnya kemerdekaan beragama orang-orang Aceh dan hendak membangun kembali mesjid yang telah dibakar oleh Belanda itu. Rencana untuk membangun kembali mesjid ini dibuat oleh seorang arsitek yang bernama Bruins dari Departement van Burgelijke openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum) di Batavia. Untuk pengawasannya dilakukan oleh insinyur L.P. Luyke dan beberapa insinyur lainnya. Untuk urusan keagamaan diminta bantu kepada Penghulu Besar Garut agar polanya tidak bertentangan dengan aturan-aturan dalam agama Islam. Bangunan ini diborong oleh seorang Cina yang bernama Lie A Sie (seorang Letnan orang-orang Cina yang berkedudukan di Banda Aceh pada waktu itu). Material untuk membangun mesjid ini, sebagian didatangkan dari pulau Pinang, Batu marmer dari negeri Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai didatangkan dari negeri Cina, Besi untuk jendela dari Belgia, Kayu dari Birma dan tiang-tiang besi dari Surabaya.7
Mesjid ini selesai dibangun pada tahun 1882, dan mempunyai sebuah kubah. Pada tahun 1936 (di bawah Gubernur van Aken) mesjid ini diperbesar lagi menjadi tiga kubah. Dan sebagaimana diketahui di masa kemerdekaan yaitu dalam tahun 1958 (di bawah Gubernur Ali Hasjmy) mesjid ini diperbesar lagi menjadi 5 kubah dan ditambah dengan dua buah menara di sampingnya.
Usaha lain yang dilakukan Belanda dalam rangka penataan kota Banda Aceh menurut kehendak mereka yaitu dibukanya sebuah komplek tempat pemakaman yang pada mulanya dikhususkan bagi serdadu-serdadu Belanda yang tewas di Aceh dan kemudian juga untuk keluarga mereka. Pekuburan ini disebut dengan istilah Belanda Kerkhoff. Secara resmi mulai digunakan untuk pemakaman serdadu-serdadu Belanda pada tahun ± 1880. Hingga akhir masa pendudukan Belanda di Aceh, tidak kurang dari 2.200 orang serdadu Belanda yang dimakamkan di sini.8 Secara fisik pekuburan ini hingga sekarang masih dapat disaksikan di tengah-tengah kota Banda Aceh dan oleh masyarakat Aceh lazim disebut dengan nama Kerkop ataupun ada juga yang menggunakan istilah Peucut.9
Setelah kedudukan Belanda sedikit mapan, di awal abad XX, mereka juga mulai mendirikan beberapa fasilitas yang berhubungan dengan perekonomian. Pada tahun 1900 di dekat mesjid raya Baitul Rahman didirikan sebuah kantor percetakan yang dalam istilah Belanda disebut De Atjehdrukkerij. Sisa dari bangunan inipun hingga sekarang masih dapat disaksikan di tengah-tengah kota Banda Aceh. Selain itu pada tahun 1916 Belanda membangun sebuah gedung yang paling megah di kota Banda Aceh. Gedung ini pada masa sekarang digunakan untuk Bank Indonesia dan masih merupakan gedung paling anggun dan indah untuk kota Banda Aceh. Bangunan lain yang dibangun yaitu kantor Der Nederlandsche Handelmaatachappij (mungkin gedung yang sekarang digunakan untuk PDIA atau Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh) dan juga sebuah hotel di muka sebelah kanan Mesjid Raya Baitul Rahman yang diberi nama Atjeh Hotel. Pada tahun 1914 pemerintah kolonial Belanda membangun sebuah bangunan berupa rumoh Aceh (rumah Aceh). Bangunan ini dimaksudkan untuk tempat pameran dengan memamerkan barang-barang yang berasal dari daerah Aceh. Pameran ini dilaksanakan di Semarang Jawa Tengah. Setelah selesai pameran, bangunan ini dibawa kembali ke Kutaraja (Banda Aceh) dan selanjutnya di-jadikan sebagai Museum Aceh yang ditempatkan di samping lapangan Eksplanade, Kuta-raja (Banda Aceh). Selain itu Belanda juga membangun sebuah Museum Militer yang dalam istilah mereka disebut Het Legermuseum, yang berlokasi di komplek militer Kutaalam sekarang.10
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa Banda Aceh merupakan tempat kedudukan Gubernur Militer/Sipil Belanda yang membawahi Aceh dan Daerah-Daerah takluknya. Namun demikian kota Banda Aceh pada waktu itu tidak mencapai status sebagai sebuah kotapraja atau menurut istilah Belanda disebut Gemeente. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk kota pada waktu itu tidak memenuhi syarat sebagai sebuah Gemeente.
Corak dan pertumbuhan kota itu masih sangat ditentukan oleh kepentingan dan kebudayaan asing. Orang-orang Aceh sendiri sangat minim jumlahnya yang berdomisili di Banda Aceh. Hal ini mungkin karena ke-engganan mereka untuk tinggal bersama-sama dengan orang-orang Belanda dan suku-suku bangsa lainnya yang dianggap pro Belanda. Menurut sensus penduduk tahun 1930, di Kutaraja (Banda Aceh) pada saat itu sedikit sekali didiami oleh suku Aceh, yaitu 746 orang. Sebagian besar penduduk pribumi yang oleh orang Belanda disebut dengan istilah Inlander yang mendiami kota Banda Aceh yaitu terdiri dari suku Jawa 1937 orang, orang Melayu 676 orang dan Minangkabau sebanyak 482. Keseluruhan penduduk Banda Aceh waktu itu, termasuk dengan orang Eropa, orang-orang Cina dan Timur Asing lainnya adalah sebanyak 10.726 jiwa.11
Berapa jumlah penduduk di Banda Aceh sebelum pecahnya perang antara Belanda dengan pihak Aceh tidak ditemukan suatu data konkrit. Namun untuk wilayah Aceh keseluruhannya, menurut K.F.H. van Langen jumlahnya berkisar sekitar 500.000 jiwa.12 Dan pada bulan Desember 1905 jumlah penduduk ini ± 600.000 jiwa, yang dapat diperinci sebagai berikut: orang-orang Eropa 761 orang, orang-orang Cina 8.575 orang, orang Arab 101 jiwa, Timur Asing lainnya 1.361, orang Aceh yang laki-laki 292.379 jiwa, dan yang perempuan 279.098 jiwa; sedang penduduk Gayo dan Alas (Aceh bagian tengah) sekitar 60.000 jiwa dan orang-orang Siemeulu (Pulau Siemeulu) ± 10.000 jiwa.13 Sebagaimana telah disebutkan bahwa sesudah tahun 1936 sampai dengan berakhir-nya kedudukan Belanda (1942), Kutaraja (Banda Aceh) adalah sebagai ibukota Karesidenan Aceh. Hal ini disebabkan karena sejak tahun 1936 daerah Aceh dirubah statusnya menjadi daerah Keresidenan. Selain sebagai ibukota Aceh dan Daerah-Daerah Takluknya, Banda Aceh waktu itu, juga sebagai tempat kedudukan ibukota Afdeeling van Groot Atjeh (Daerah Kabupaten Aceh Besar sekarang).


Catatan Akhir

1Lihat Lance Castles dan Elizabeth C. Morris, "Pola Perkembangan Kota di Aceh", dalam Seminar Wilayah Pembangunan III Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Unsyiah dan Pemda DISTA, 1976, hal. 103-104.

2J. Jongejans, Land en Volk van Atjeh Vroeger en Nu. (Baarn: Holandia Drukkerij, 1939, hal. 268.

3Kuta dalam istilah Aceh artinya benteng; jadi Kutaraja berarti benteng raja.

4Lance Castles dan Elizabeth C. Morris, loc.cit.

5Uraian tentang asal mula bangunan ini, lihat misalnya T.A. Talsya, "Pendopo Gubernur Aceh Bangunan Tua Abad XIX", Waspada Rabu 29 Januari 1986.

6Nuruddin ar-Raniri, Bustanul Salatin disusun oleh Dr. T. Iskandar, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1966), hal. 36.

7Uraian mengenai sejarah pembangunan mesjid raya ini, dapat dilihat misalnya, dalam J. Kremer, "De Groote Moskee te Koeta-Radja", Nederlandsche-Indiƫ Oud en Nieuw, tahun ke V (1920). K. F. H. van Langen, "De Overgave de Nieuw Mesdjid Raja te Kotta Radja aan het Atjehsche Volk", Tijdschrift voor Nederlandsche Indiƫ deel XI, (1982). Dan dalam J. Staal, "De Missigit Raja in Atjeh", De Indische Gids (1882).

8Lihat dalam Du Croo dan H.J. Generaal Swart Pacificator Van Atjeh. (Maastricht: N.V. Leiter Nypels, 1939), hal. 93-130.

9Lihat Tjoetje, Pekuburan Belanda "Peutjoet" membuka tabir Sedjarah Kepahlawanan Rakjat Atjeh, 1972.

10Tentang beberapa bangunan yang ter-kenal di kota Banda Aceh ada waktu itu, baik yang dibangun oleh Belanda maupun yang merupakan warisan dari orang-orang Aceh sendiri, dapat dilihat dalam J. Jongejans, op.cit, hal. 27-29.

11Volkstelling (1930), jilid IV, hal. 24-27.

12K.F.H. van Langen, "De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur Onder het Sultanaat", BKI 37 (1888), hal. 382.

13J. Paulus, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie I, (1917), hal. 69.

Tidak ada komentar: