Minggu, 08 Februari 2009

Penelitian Arkeologi di Aceh

Oleh: Rusdi Sufi

I
Pada tahun 1884 di Museum di Jakarta menerima suatu laporan tentang diketemukannya beberapa nisan kuno di Kampung Blang Me Kecamatan Samudra Kabupaten Aceh Utara dan pada beberapa tempat lainnya di kecamatan tersebut. Dengan adanya laporan tersebut, maka perhatian pemerintah Hindia Belanda terhadap penelitian objek-objek Arkeologi di daerah Aceh mulai timbul.1 Hasrat serta perhatian akan penelitian tersebut menjadi bertambah besar terutama di kalangan Museum Jakarta, setelah mereka menerima suatu laporan yang lebih lengkap disertai dengan saran-saran dari Dr. Snouck Hurgronje dan Mulert yang telah mengadakan kunjungan ke tempat nisan-nisan tersebut diketemukan, masing-masing pada tahun 1899 dan tanggal 31 Maret 1901.2
Selanjutnya setelah adanya laporan dan saran dari kedua tokoh tersebut, oleh kalangan Museum Jakarta dan pemerintah telah merencanakan untuk mengadakan penelitian, pemotretan, pemugaran, penggambaran, Abklatsch (pembuatan acuan) terhadap peninggalan-peninggalan Islam terutama nisan-nisan yang terdapat di Blang Me dan Samudra tersebut di atas. Namun rencana ini tidak segera dapat terlaksana, oleh karena untuk sementara harus ditangguhkan menunggu selesainya pembuatan jalan kereta api antara Lhokseumawe dan Idi.3
Penelitian Arkeologi di daerah Aceh baru dimulai pada tahun 1906. Karena dalam tahun itu pekerjaan penelitian, pemugaran, pemotretan dan sebagainya telah dilakukan oleh kalangan pemerintah Hindia Belanda, terutama di lokasi-lokasi diketemukan nisan-nisan tersebut di atas. Pelaksanaan penelitian yang kontinu sesungguhnya baru dilaksanakan sejak tahun 1912 hingga tahun 1917 dan tidak terbatas lagi di tempat-tempat tersebut di atas saja, melainkan juga tempat-tempat lain seperti Kutaraja (sekarang Banda Aceh) dan sekitarnya. Usaha ini dipimpin oleh seorang petugas pemerintah dalam bidang kepurbakalaan yaitu bernama J.J. de Vink.4 Hasil-hasil penelitian tersebut, kesemuanya telah dikirim ke Jakarta dan disimpan di Kantor Dinas Purbakala. Di antara hasil-hasil tersebut ada yang diterbitkan dalam bentuk laporan-laporan ilmiah, artikel-artikel ilmiah yang dimuat dlam beberapa majalah ilmiah yang terdapat pada waktu itu, baik di negeri Belanda maupun di Indonesia.5
Selain oleh petugas resmi pemerintah penelitian dalam bidang arkeologi di daerah Aceh juga dilakukan oleh beberapa para ahli terutama yang berminat dalam bidang tersebut. Dan kajian mereka tentang masalah ini tidak saja terbatas pada nisan-nisan seperti tersebut di atas, tetapi juga atas beberapa peninggalan kepurbakalaan lainnya yang terdapat di daerah Aceh. Dapat disebutkan di antaranya yang dilakukan oleh C. Snouck Hurgronje tentang nisan-nisan yang terdapat di Koeta Kareueng Samudra – Pasee. Dan hasil telaahannya ini telah ia ucapkan dalam suatu pidato inaugrasi di Universitas Leiden pada tanggal 23 Januari 1907.6 Juga J.P. Moquette yang telah melakukan penelitian dan pembacaan atas beberapa nisan yang berasal dari Kampung Samudra (Kabupaten Aceh Utara). Di sini ia berhasil membaca nama-nama Sultan Malik As-Saleh yang wafat pada tahun 696 A.H. (1297 M) dan puteranya yang bernama Sultan Muhammad Malik az-Zahir yang wafat pada tahun 726 A.H. (1326 M).
Dari hasil bacaannya itu dan setelah diperbandingkan dengan beberapa sumber sejarah lokal (Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu) dan berita-berita asing, J.P. Moquette berkesimpulan bahwa nama Sultan Malik as-Saleh adalah merupakan sultan pertama atau sebagai pendiri kerajaan tertua bercorak Islam6 di Indonesia. Selain itu, J.P. Moquette juga mengadakan serangkaian penelitian pada beberapa makam kuno di Kutaraja (yang sekarang Kompleks Kandang XII). Di sini ia berhasil membaca nama-nama sultan yang pernah memerintah di Kerajaan Aceh. Di antaranya yaitu nama-nama Sultan Ali Muqhayat Syah yang wafat pada tahun 936 A.H. (1930 M), Sultan Salah-uddin yang wafat pada tahun 955 A.H. (1546 M), Sultan Alaudin al-Kahhar yang wafat pada tahun 979 A.H. (1571 M), Sultan Ali Riayat Syah yang wafat pada tahun 987 A.H. (1579 M) dan Sultan Yusuf yang wafat pada tahun 987 A.H. (1579 M).7
Dalam tahun 1914 – 1915 Dr. R.A.H. Hoesin Djajadiningrat mengadakan suatu penelitian atas kelompok bangunan yang oleh rakyat disebut dengan nama Gunongan di Kutaraja. Hasil penelitian ini pada tahun 1916 diterbitkan berupa karangan yang membahas tentang kelompok bangunan itu.8 Ia berpendapat bahwa bangunan itu adalah bahagian dari kepurbakalaan Islam yang terdapat di daerah Aceh. Bangunan itu dibangun pada zaman Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636) dan dilanjutkan pada zaman Sultan Iskandar Thani (1637 – 1641). Pendapat ini berdasarkan hasil penelitian yang dibandingkan dengan uraian yang terdapat di dalam Kitab Bustan As-Salatin yang berasal atau ditulis pada zaman itu juga.9
Pada tahun 1919, J. Kreemer mengadakan penelitian pada sebuah bangunan kuno di Kutaraja, yaitu Mesjid Raya (yang pernah dibakar oleh pihak Belanda (1874) saat mereka masih berperang dengan pihak Aceh). Dalam tahun 1920 ia mengeluarkan sebuah artikel yang dimuat dalam majalah N.I.O.N yang menguraikan tentang asal-usul mesjid tersebut.10 Berdasarkan penyeledikannya ia berpendapat bahwa mesjid itu dahulunya bernama Bait ar-Rahman yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636). Dalam rangka menarik hati rakyat Aceh (agar mengurangi kefanatikan dalam berperang dengan mereka), maka pihak Belanda pada 24 hari bulan Safar 1292 H atau bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1879 mesjid tersebut dibangun kembali dalam bentuk baru yang didasarkan kepada rencana gambar yang dibuat oleh seorang arsitek bangsa Belanda bernama Bruins yang pada waktu itu bekerja pada Departemen van Burgelijke Openbare Weken. Selain J. Kremer penelitian tentang mesjid raya ini juga pernah dilakukan oleh K.F.H. van Langen11 dan J. Stal.12
Pada tahun 1922, J. Kreemer menerbitkan suatu karya (2 jilid) tentang Aceh.13 Dalam jilid I karya tersebut dia telah pula mengemukakan tentang arkeologi Islam yang terdapat du daerah Aceh, meskipun dalam bentuk uraian hanya secara garis besar saja. Di antara para ahli lainnya yang telah menyelidiki mengenai masalah arkeologi di daerah Aceh yaitu G.L. Tichelman. Dalam tahun 1938 ia telah menterjemahkan dan mengkaji tentang sarakata-sarakata yang berasal dari Samalanga (Kabupaten Aceh Utara sebagai lanjutan kajian sarakata-sarakata dari masa Sultan-sultan Aceh yang pernah diterbitkan pada waktu 1933.14
Selain itu, pada tahun 1938 juga Dr. H.K.J. Cowan telah meneliti tentang 4 buah mata uang emas yang diketemukan di daerah Samudra – Pasai (Kabupaten Aceh Utara) yang belum pernah dikemukakan oleh ahli-ahli lainnya. Dengan penelitian mata uang tersebut ia telah dapat menambah keterangan atau menjelaskan lebih lanjut mengenai Kerajaan Samudra Pasai, sebagaimana telah dikemukakan oleh J.P. Moquette dan lain-lain. Adapun mata uang yang diteliti itu menurut nama-nama Sultan Alau’din, Sultan Mansur Azzanir, Sultan Abu Zaid dan Abdullah.15 Selain itu, penelitian tentang mata uang kuno di daerah Aceh juga pernah dilakukan di antaranya oleh J. Hulshoff Pol 16, K.F. H. Van Langen, J. Kreemer 17 dan F.W. Stammeshaus.18
Penelitian arkeologi lainnya yang pernah dilakukan di daerah Aceh meskipun tidak begitu mendalam adalah studi tentang sebuah bangunan/monumen kuno yang terdapat di wilayah XXVI mukim (IX mukim Tungkob) dekat Desa Ladong Kabupaten Aceh Besar. Bangunan tersebut oleh penduduk di sekitarnya dikenal dengan nama Benteng Indra Putra. Penelitian ini dilakukan oleh W. Goldie seorang perwira Belanda (Kapten Infantri) pada tahun 1910. Berdasarkan hasil penelitiannya ia menulis sebuah artikel tentang bangunan itu.19 Namu ia sama sekali belum memberikan suatu kepastian/kesimpulan tentang fungsi dan asal-usul dari pada bangunan tersebut. Dalam artikelnya itu ia lebih banyak membahas tentang struktur dari pada bangunan.
Dapat juga disebutkan penelitian yang pernah dilakukan oleh G.L. Tichelman pada tahun 1939 20 pada sebuah lonceng besar yang terdapat di Kutaraja yang oleh penduduk setempat lebih dikenal dengan sebutan Lonceng Cakra Donya (sekarang lonceng tersebut digantung di depan Museum Negeri Aceh).

II
Apa yang telah dikemukakan di atas merupakan gambaran kegiatan serangkaian penelitian Arkeologi yang pernah dilakukan terutama oleh para sarjana asing pada zaman Hindia-Belanda di daerah Aceh. Dapat disebutkan kesemua penelitian tersebut menyangkut bidang arkeologi Islam. Sedangkan yang menyangkut arkeologi Hindu (berdasarkan beberapa indikasi diperkirakan juga terdapat di daerah Aceh) nampak-nampaknya kurang mendapat perhatian para sarjana Belanda tersebut ataupun karena langkanya peninggalan-peninggalan kepurbakalan Hindu di daerah Aceh.
Adapun yang menyangkut arkeologi prasejarah dapat disebutkan misalnya yang dilakukan oleh Schurmann dan H.R. van Heekeren (meskipun secara agak umum)22 terutama di daerah sebelah timur situs Tamiang yang melaporkan tentang diketemukan sejumlah bukit karang dan juga penemuan kapak Sumatra (Sumatralith) di daerah Lhokseumawe, yang menandakan bahwa tingkat mata pencaharian manusia di daerah Aceh pada waktu itu masih dalam fase meramu.
Dari semua kegiatan pencatatan arkeologi/kepurbakalaan di daerah Aceh pada masa pendudukan Belanda tercatat sekitar 138 kompleks kepurbakalaan, baik yang terdisi dari sisa prasejarah, sisa-sisa zaman Hindu (yang diperkirakan juga ada), dan sisa-sisa peninggalan zaman Islam. Namun kesemua yang tercatat itu belum seluruhnya berhasil dilakukan penelitian yang teratur dan mendalam. Meskipun demikian pemerintah pada masa itu telah mengambil beberapa tindakan yang berkaitan dengan masalah pengamanan dan pemeliharaan atas beberapa kompleks/Objek dari sisa peninggalan tersebut.
Namun saja sesudah Perang Dunia II termasuk masa pendudukan Jepang dan masa awal kemerdekaan, objek-objek atau kompleks-kompleks kepurbakalaan tersebut terbengkalai. Meskipun demikian jika ada laporan-laporan dari daerah-daerah tentang diketemukannya objek-objek kepurbakalaan baru oleh bidang PSK Kanwil P dan K Propinsi Daerah Istimewa Aceh tetap disampaikan/dilaporkan ke Lembaga Purbakala. Berdasarkan hasil laporan-laporan tersebut, baik sebelum pecah Perang Dunia II maupun sesudahnya ternyata bahwa di Daerah Istimewa Aceh terdapat 250 kompleks kepurbakalaan.
Menurut Drs. Zakaria Ahmad yang sekarang menjabat sebagai Kepala Bidang Permuseuman Sejarah dan Kepurbakalaan dalam rangka peningkatan dan inventarisasi warisan budaya nasional (berupa peninggalan kepurbakalaan di Daerah Istimewa Aceh) selama Pelita I dan Pelita II di daerah ini telah dilakukan kegiatan-kegiatan reinventarisasi dan inventarisasi selama tahun 1973 dan tahun 1974, tahun 1975, tahun 1976 dan tahun 1977 telah dilakukan pula kegiatan-kegiatan dalam rangka penyusunan master plan kepurbakalaan di seluruh Indonesia. Selama pekerjaan reinventarisasi tersebut di atas, maka telah dikunjungi dan disurvei 200 kompleks kepurbakalaan yang meliputi peninggalan-peninggalan, baik yang sudah tercatat maupun yang belum tercatat pada Dinas Purbakala.
Adapun objek/situs kepurbakalaan yang telah diprioritaskan untuk ditata/dipugar pada Pelita III terutama pada tahun anggaran 1979/1980 adalah Benteng Indera Patra, rumah tradisional dalam Kompleks Awe Geutah, kompleks-kompleks kepurbakalaan di Kotamadya Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Utara. Adapun kegiatan pemugaran Benteng Indera Patra yang dibangun pada tahun anggaran tersebut di atas sampai sekarang masih dalam pelaksanaan. Selain itu juga terdapat beberapa objek yang dibantu secara insedentil, baik pembinaan maupun pemeliharaannya (karena biaya untuk itu memang tidak tersedia) di antaranya yaitu perpustakaan, pesantren Tanoh Abee Seulimeum dimana tersimpan lebih dari 3.000 buah buku (yang sudah disusun katalognya).

III
Dari sejumlah objek-objek kepurbakalaan yang telah diinventarisasi tersebut di atas hingga sekarang sebagian besar daripadanya belum diteliti secara teratur guna mendapatkan informasi dan agar dapat menikmati oleh seluruh bangsa khususnya rakyat di daerah Aceh. Sehubungan dengan hal ini, pemerintah daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh telah menggariskan suatu kebijakan yang diarahkan dan ditujukan kepada
1. Tujuan edukatif dengan maksud menimbulkan kegairahan dan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan.
2. Tujuan komersial dengan maksud pengembangan kepariwisataan yang sejalan pula dengan usaha memperkenalkan Aceh dunia luar.
3. Tujuan pemeliharaan dimaksudkan untuk meningkatkan usaha-usaha pemeliharaan warisan budaya nasional yang pernah dihasilkan oleh daerah ini dan sejalan dengan itu untuk meningkatkan fungsi dan daya guna peninggalan-peninggalan kepurbakalaan yang ada di daerah ini.
4. Tujuan pengembangan kebudayaan dimaksudkan sebagai usaha mengembangkan kebudayaan Aceh sebagai salah satu unsur kebudayaan nasional.
Adapun yang telah digariskan oleh pemerintah daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh tersebut adlaah berlandaskan UUD 1945 pasal 32 dan TAP MPR tentang GBHN khusus bidang pendidikan dan kebudayaan (TAP MPR No. IV/1978).
Berdasakan dari apa yang telah dikemukakan di atas maka dapat diketahui beberapa masalah kepurbakalaan di daerah ini yang perlu dipikirkan dan ditanggulangi bersama. Di antara masalah-masalah tersebut adalah
1. Mengingat banyaknya objek-objek kepurbakalaan yang menyebar di seluruh Aceh, maka sangat dirasakan akan kehadiran suatu Balai Pusat Penyimpanan dan Penelitian Kepurbakalaan.
2. Kurangnya tengaga yang trampil dan ahli dalam bidang arkeologi, maka tampak adanya kesenjangan antara masa pemerintah Hindia-Belanda dengan masa kemerdekaan.Untuk mengatasi hal itu perlu dibina/dipersiapkan ahli-ahli dalam bidang tersebut.
3. Kurangnya alat-alat dan media untuk penelitian di bidang arkeologi di daerah ini.
4. Masih banyak situs-situs kepurbakalaan yang letaknya di hutan-hutan dan paya-paya yang sulit untuk dijangkau dan yang status tanah tidak jelas pemiliknya.
5. Biaya dari pemerintah maupun nonpemerintah yang sangat terbatas.
6. Kurangnya partisipasi masyarakat untuk ikut bertanggung jawab atas peninggalan-peninggalan sejarah dan purbakala.
7. Masih banyak peninggalan sejarah dan purbakala yang perlu diselamatkan dari kehancuran dan kemusnahan.


Catatan Akhir
1Notulen van Algeeme en Bestuurs Vergederingen van het Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen dl XXII, 1884, hal. 51

2Ibid dl XXXIX, 1901, hal.. 61.

3 Encyclopaedie van Nederlandsch Cost-Indie. Jil. 3 Leiden.

4 Lihat 50 Tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional 1913 – 1963 (Jakarta: Proyek Pelita Pembinaan Kepurbakalaan dan Peninggalan Nasional Departemen P dan K, 1977). hal. 110.

5 Di antaranya yang terkenal OV: Oudheidkundig Verslag; ROD: Raport Oudheidkudig Dienst

6 Lihat Tiechelman Een Marmeren Praalgraf te Koeta Kareu eng Culturee Indie Tweede Jaargang. (Leiden: E.J. Brill, 1940). Hal. 106-211.

7 J.P. Moquette. “De Oudste Versten van Samudra Pase”. Rapporten van de Commisie in Nederlandschm Indie voor Qudheid Kundig Onderzoek op Java en Madoera. (1913). Hal. 1-12.

8Lihat 50 Tahun Lembaga Purbakala. op.cit. hal. 109.

9R.A.H. Hoesin Djajadiningrat. “De Stichting van het Goenongan geheeten monument te Koetaraja”. TBG. 57 (1961). Hal. 561-576.

10Ibid.

11J. Kreemer. “De Groote Moskee te Koeta Raja”. N.I.O.N. V. 1920.

12 K.F.H. van Langen. “De Overgave de Nieuw Mesjid Raja te Kotta Radja aan het Atjessche Valk”. Tijdschift voor Nederlandsch-Indie, XI. (1882).

13 J. Staal. “De Missigit Raja in Atjeh”. De Indische Gids. (1882).

14J. Kreemer. Atjeh I. Algemeen Samenvatend Overzicht van Land en Volk van Atjeh Onderhorigheden. (Leiden: E.J. Brill, 1922). Hal. 49-57.

15G.L. Tichen. “Een Atjehsche Sarakata”. (Afschrift van een besluit van Sultan Iskandar Muda). TBG 73. (1933) 351 – 358.

16H.K.J. Cowan. “Bijdage tot de kennis der geschiedenis van het rijk Samoedra Pase”. TBG (1938).

17J. Hulshoff Pol. “De Geuden Munten (mas) van Noord – Sumatra Jaarboek voor Munt-en Penningkunde XVI. (1929).

18J. Kreemer. Loc.cit.

19F.W. Stammeshaus. “Atjehsche Munten”. Cultureel Indie Achtste Jaargang. (Leiden: E.J. Brill, 1946). Hal. 113-121.

20W. Goldie. “Het Een En Ander Over Oudheidkundige Monumenten in De XXVI Moekims (IX Moekims Toengkoeb) in Groot Atjeh”. Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkenkunde deel III. (Batavia: Albrecht & Co, 1911 hal. 301-313).

21G.L. Tichelman. “Tjakra Donja”. De Indische Gids 61 (1938) hal. 23- 27. Karangan ini telah dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penulis makalah ini dan telah diterbitkan sebagai Seri Penerbitan Museum Negeri Aceh No. 5.

22H.R. vam Heekeren. “The Stone Age of Indonesia”. Verhandelingen van het Ken Inst voor Taal Land en Volkekunde. (1972) hal. 86-89.

1 komentar:

infogue mengatakan...

Artikel anda di

http://arkeologi.infogue.com/penelitian_arkeologi_di_aceh

promosikan artikel anda di infoGue.com. Telah tersedia widget shareGue dan pilihan widget lainnya serta nikmati fitur info cinema, game online & kamus untuk para netter Indonesia. Salam!