Minggu, 08 Februari 2009

PERKEMBANGAN MUHAMMADIYAH DAN PERANNYA DALAM BIDANG POLITIK PADA MASA KOLONIAL

Oleh: Rusdi Sufi

Muhammadiyah mula masuk ke Aceh (Kutaraja) pada tahun 1923 dibawa oleh bekas sekretaris Muhammadiyah cabang Betawi S. Djaja Soekarta yang pindah ke Kutaraja dan bekerja pada Jawatan Kereta Api di Aceh.1 Namun pada waktu itu belum dimungkinkan untuk mendirikan sebuah cabang di sana karena personalia pengurus belum ada. Baru pada tahun 1927 dengan mendapat bimbingan dari seorang utusan pengurus Pusat Muhammadiyah yang bernama A.R. Soetan Mansoer organisasi ini berdiri secara resmi di Kutaraja.2 Adapun pimpinan dipilih R.O. Armadinata seorang dokter gigi yang pada waktu itu bertugas di Kutaraja. Selaku konsul pertama dijabat oleh Teuku Muhammad Hasan Glumpang Payong, pegawai kantor kas-kas kenegerian di Kutaraja.3 Pada tahun 1928 organisasi ini mendirikan pula sebuah perkumpulan wanita, Aisyiyah, yang mengurus hal-hal yang menyangkut dengan kepentingan dan kemajuan kaum wanita, sebuah organisasi kepanduan yang bernama Hizbul Wathan dan sebuah lembaga pendidikan HIS.
Dalam perkembangannya Muhammadiyah juga mendirikan cabang-cabang pada beberapa kota lain di Aceh. Di Sigli didirikan pada tanggal 1 Juli 1927, Lhokseumawe pada bulan Agustus 1927 mendapat dukungan sepenuhnya dari uleebalang setempat. Di Kuala Simpang pada tanggal 7 Oktober 1928, di Langsa pada tanggal 29 Oktober 1928, Takengon pada bulan Mei 1929 dan Bireuen pada tahun 1928. Cabang-cabang Muhammadiyah tersebut di atas, sebagian besar berlokasi di wilayah pantai timur Aceh. Dengan dalih politik pemerintah Hindia Belanda di Aceh melarang Muhammadiyah mendirikan cabang-cabangnya di wilayah pantai barat Aceh. Namun demikian di sana (kota Tapaktuan) terdapat sebuah organisasi yang bernama Sumatra Thawalib yang mendapat pengaruh langsung dari perguruan Thawalib Sumatra Barat yang anggota-anggotanya juga sebagai pendukung Muhammadiyah.4 Namun dalam perkembangan lebih lanjut sesudah diadakan pendekatan dan persetujuan dengan pemerintah oleh konsul Muhammadiyah sendiri (Teuku Cut Hasan Meuraksa yang menggantikan Teuku Muhammad Hasan Glumpang Payong), maka sejak pertengahan tahun tiga puluhan, pemerintah Hindia Belanda telah menyetujui pendirian sebuah cabang Muhammadiyah di Calang (salah satu kota di pantai Barat Aceh) yang diikuti oleh dengan didirikan sebuah lembaga pendidikan HIS.5
Pada masa akhir pemerintahan Belanda di Aceh (1942) jumlah cabang Muhammadiyah di seluruh Aceh tercatat 8 buah. Di setiap cabang pada umumnya terdapat pula organisasi kepanduan Hizbul Wathan dan sejumlah lembaga pendidikan yang semuanya dikelola oleh Muhammadiyah. Adapun jumlah lembaga pendidikan adalah sebagai berikut 9 HIS masing terdapat di Kutaraja, Sigli, Lhokseumawe, Langsa, Kuala Simpang, Calang, Takengon, Idi dan Meureudu; 1 Mulo dan 1 Leergang Muhammadiyah (Darul Mualimin) keduanya berlokasi di Kutaraja; 10 Diniyah yang terdapat di Kutaraja, Lubok, Sigli, Lhokseumawe, Takengon, Kuala Simpang, Calang, Idi. Meureudu dan Bireuen; dan 1 Taman Kanak-Kanak di Kutaraja.6

II
Bila dibandingkan dengan organisasi-organisasi lain yang datang dari Jawa (di antaranya Budi Utomo, Serikat Islam, Insulinde, Taman Siswa, Jong Islamieten Bond (JIB) dan Parindra), Muhammadiyah merupakan organisasi yang relatif dapat hidup dan berkembang di Aceh. Sekelompok cendekiawan Aceh menjadi anggota dan pendukung Muhammadiyah. Melalui organisasi ini mereka menyalurkan aspirasi-aspirasi politik dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang kelihatannya bersifat sosial 7, sehingga telah memberi warna tersendiri bagi Muhamadiyah di Aceh. Kalau di Jawa Muhammadiyah lebih menitikberatkan gerakan pada bidang keagamaan dan sosial, maka di Aceh di samping yang disebutkan di atas, juga turut dalam gerakan-gerakan politik.8 Berikut ini dipaparkan sejumlah gerakan yang berbau politik tersebut.
Pada tahun 1931 pemerintah Hindia Belanda di Aceh menghendaki supaya bahasa Aceh dipergunakan sebagia bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat menggantikan bahasa Melayu (bahasa Indonesia) yang sudah digunakan sebelumnya. Alasan yang diberikan pemerintah kepada rakyat Aceh adalah dengan menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar, murid-murid akan lebih cepat mengerti dan cepat menangkap pelajaran yang diberikan oleh guru-guru mereka. Selain itu juga murid-murid akan dapat membaca dan menulis bahasa ibunya sendiri dengan menggunakan huruf latin, sehingga bahasa Aceh sebagai bahasa literatur akan dapat dihidupkan kembali.9 Untuk melaksanakan maksud tersebut, pemerintah telah menetapkan tanggal 1 Juli 1932 sebagai tonggak pemakaian secara resmi bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat, sebagai pengganti bahasa Melayu. 10
Kehendak pemerintah di atas tidak disetujui oleh para cendekiawan Aceh waktu itu. Untuk menghalang-halanginya, pada tanggal 5 Maret 1932 mereka membentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Teuku Muhammad Hasan Glumpang Payong dan wakilnya Teuku Cut Hasan Meuraksa. Keduanya adalah aktifis Muhammadiyah daerah Aceh (Teuku Muhammad Hasan Glumpang Payong selaku konsul Muhammadiyah yang pertama untuk daerah Aceh dan Teuku Cut Hasan Meuraksa adalah konsul yang kedua). Dengan mengambil tempat di Deli Bioscoop Kutaraja, panitia ini pada tanggal 6 Maret 1932 melaksanakan suatu rapat terbuka untuk membahas lebih lanjut tentang masalah tersebut. Sekitar 20 orang cendekiawan Aceh yang kebanyakan dari uleebalang Aceh yang kebanyakan dari uleebalang dan juga selaku anggota Muhammadiyah, hadir dalam rapat itu. Mereka secara terang-terangan menentang kehendak pemerintah.11 Menurut mereka, maksud pemerintah itu akan menyebabkan tidak berkembangnya bahasa Indonesia di daerah Aceh. Dengan demikian akan menghambat terwujudnya cita-cita persatuan nasional sebagaimana telah diikrarkan melalui Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Selain itu juga akan menghambat rakyat Aceh untuk mengerti bahasa tersebut yang amat diperlukan bagi pengembangan ekonomi mereka dan dalam berhubungan dengan suku-suku lain di daerah-daerah sekitarnya.
Pemerintah Hindia Belanda dalam hal ini tetap bersikeras untuk melaksanakan rencananya itu. Namun dengan adanya protes dari para cendekiawan tersebut hanya sebagian saja dari sekolah-sekolah rakyat di Aceh yang telah diganti bahasa pengantarnya (bahasa Indonesia dengan bahasa Aceh).
Menurut laporan umum pemerintah Hindia Belanda tentang pendidikan, di daerah Aceh pada tahun 1933 dan tahun 1934 masih terdapat 88 buah sekolah (yang berlokasi di kota-kota besar) yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Sedangkan yang lainnya (sebanyak 207 buah) yang menyebar di desa-desa telah menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar.12
Ketidakpuasan para cendekiawan Aceh terhadap masalah itu, hingga akhir tahun 1939 masih tetap nampak. Mereka tetap mengadakan protes-protes atas tindakan pemerintah tersebut.13 Oleh karenanya pemerintah juga masih menaruh perhatian terhadap masalah ini. Untuk pemecahannya, dalam tahun 1904 Departement van Onderwijs en Eeredients (Departemen Pendidikan dan Peribadatan) di Batavia mengirimkan wakilnya ke Aceh untuk menjajangi kemungkinan-kemungkinan penyelesaian yang berhubungan dengan masalah itu.14 Akan tetapi para cendekiawan Aceh pada waktu itu tetap menganggap pemerintah telah menghalang-halangi berkembangnya bahasa Indonesia di daerah Aceh.
Krisis ekonomi dunia yang juga dialami pemerintah Hindia Belanda pada awal tahun tiga puluhan membawa pengaruh di bidang pendidikan. Pemerintah dalam hal ini terpaksa mengadakan penghematan dalam pengeluaran biaya. Misalnya, dengan mengurangi subsidi kepada sekolah-sekolah swasta dan melakukan penutupan sejumlah sekolah, terutama yang disebut de Schakel School.15 Selain itu juga melakukan penyusutan formasi guru yang disesuaikan dengan jumlah murid yang ada, terutama pada sekolah-sekolah rakyat.16 Di daerah Aceh hingga bulan Juli 1931 terdapat 116 orang guru sekolah rakyat yang diberhentikan.17 Juga diadakan pengaturan tentang jumlah murid dalam satu kelas disesuaikan dengan jumlah guru yang tersedia. Misalnya, sebelum tahun 1932 seorang guru untuk 45 orang murid, maka setelah tahun itu satu orang guru untuk 60 murid. Tindakan lain yang diambil yaitu pemerintah terpaksa menghentikan subsid pada beberapa sekolah rakyat, malahan di antaranya ada harus tutup.18
Adanya tindakan-tindakan pemerintah di atas telah menimbulkan ketidakpuasan di kalangan cendekiawan bumi putera di Aceh, khususnya di Kutaraja. Pada tanggal 19 Juli 1932 dengan mengambil tempat di Deli Bioscoop Kutaraja, mereka mengadakan suatu rapat umum untuk memprotes tindakan-tindakan pemerintah tersebut.
Rapat diorganisir oleh PGHB (Perkumpulan Guru Hindia Belanda) dengan ketuanya Zainul Baharuddin, seorang guru HIS Muhamadiyah di Kutaraja. Rapat ini dihadiri sekitar 600 orang peserta. Di antara pembicaranya yaitu selain Zainal Baharuddin (selaku ketua) juga Teuku Muhammad Hasan Glumpang Payong yang mewakili Muhammadiyah. Dalam pidatonya tokoh Muhammadiyah ini antara lain mengemukakan bahwa di Asia Muka dan Philipina, keadaan pendidikan jauh lebih maju dibandingkan dengan di Indonesia. Oleh karena itu sudah sewajarnya bila di Indonesia didirikan sekolah-sekolah swasta dalam usaha meningkatkan kecerdasan rakyatnya.19
Selain kedua peristiwa yang telah dikemukakan di atas, masih terdapat beberapa peristiwa lain yang juga didukung atau diprakarasai oleh perkumpulan Muhammadiyah di Aceh. Di antaranya yaitu peristiwa yang terjadi pada tanggal 27 Mei 1928. Pada tanggal tersebut anggota/pengurus Muhammadiyah daerah Aceh diselenggarakan suatu rapat umum yang diramaikan dengan pertunjukan musik, dalam rangka menggembleng rakyat agar menyokong usul kelebihan anggota-anggota yang berasal dari kalangan bumi putera untuk duduk di dalam Volksraad (Dewan Rakyat). Rapat ini diketuai oleh Teuku Muhammad Hasan Glumpang Payong dengan dibantu oleh Ridwan Hajir (seorang guru HIS Muhammadiyah asal Yogyakarta) dan Muhammad Jailani (Jaksa Kepala Kutaraja); kedua yang disebut terakhir juga selaku anggota Muhammadiyah cabang Kutaraja. Rapat ini telah berhasil menelorkan suatu keputusan yaitu bulan September 1928 akan dikirim suatu delegasi khusus ke negeri Belanda untuk memperjuangkan agar usul tersebut diterima oleh pemerintah Belanda. Biaya untuk itu selain diharapkan dari sumbangan-sumbangan rakyat juga oleh pengurus Muhammadiyah cabang Kutaraja akan diselenggarakan pertandingan-pertandingan sepak bola yang akan memungut bayaran. Juga diputuskan dalam rapat itu, seandainya biaya untuk pengiriman delegasi tersebut bersisa, sisanya akan digunakan untuk mendirikan sebuah HIS swasta di Kutaraja.20
Atas inisiatif perkumpulan Muhammadiyah cabang Lhokseumawe pada tanggal 25 Desember 1928 diadakan suatu rapat umum dengan mengambil tempat di gedung bioskop kota tersebut. Rapat ini dihadiri oleh utusan-utusan Muhammadiyah dari Kutaraja, Sigli, Langsa, Kuala Simpang dan juga dari Sumatra Barat serta utusan dari perkumpulan Al-Irsyaad cabang Lhokseumawe.21 Tujuan rapat ini khusus untuk membahas masalah ordonansi guru. Sehubungan dengan masalah ini rapat telah memutuskan untuk mengajukan suatu usul kepada pemerintah agar ordonansi guru tersebut dicabut.22
Pada bulan Oktober 1928 di wilayah pantai Barat Aceh telah datang seorang propagandis Muhammadiyah asal Minangkabau, Mohammad Zein Jambek. Tujuannya untuk menjajaki kemungkinan didirikannya cabang Muhammadiyah di kota Tapaktuan dan memberikan serangkaian ceramah di wilayah itu. Namun karena dikhawatirkan akan terjadi agitasi-agitasi politik, maka pemerintah telah melarang kegiatan Mohammad Zein Jambek di daerah itu dan juga melarang Muhammadiyah membentuk cabangnya di wilayah pantai barat Aceh.23 Hal ini dikaitkan dengan situasi politik di wilayah itu yang pada waktu itu masih dianggap belum stabil oleh pemerintah. Di sana masih terjadi serentetan perlawanan bersenjata terhadap Belanda. Jika Muhammadiyah juga terdapat di sana pemerintah khawatir pengikut-pengikut dari organisasi ini akan terpengaruh ikut memerangi Belanda. Dan juga diperkirakan akan membesar kemungkinan timbulnya apa yang diistilahkan oleh Belanda, Atjeh Moorden (pembunuhan-pembunuhan khas Aceh) di wilayah itu.24
Pada tanggal 29 April sampai dengan 2 Mei 1938 perkumpulan Muhammadiyah Aceh di bawah pimpinan konsulnya pada waktu (Teuku Cut Hasan Meuraksa) telah mengadakan suatu konperensi tahunan di kota Idi (Aceh Timur). Konperensi ini menarik perhatian banyak orang dan juga telah menimbulkan kekhawatiran di pihak pemerintah. Oleh karena di antara yang ikut berbicara dalam konperensi itu terdapat seorang propagandis Muhammadiyah terkenal saat itu, yaitu Haji Abdoel Malik Karim Amrullah (HAMKA) yang datang khusus untuk menghadiri konperensi itu dari Medan.25
Dari beberapa peristiwa yang telah diutarakan di atas, menunjukkan bahwa dengan adanya Muhammadiyah di daerah Aceh telah menimbulkan sejumlah kegiatan dari masyarakat bumi putera setempat. Kegiatan ini tidak saja dalam bidang keagamaan, pendidikan dan sosial, tetapi juga dalam bidang politik. Hal ini merupakan fenomena tersendiri yang sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Demikian sekelumit catatan tentang kiprah organisasi Muhammadiyah pada masa-masa awal kelahirannya di Aceh. Semoga tulisan ini dapat menambah wawasan dan menjadi renungan serta kenangan tersendiri bagi peserta Muktamar Muhammadiyah ke-43 yang berlangsung di Banda Aceh dari tanggal 6-10 Juli 1995.

Catatan Akhir
Menyambut Konperensi Muhammadiyah Wilayah Daerah Istimewa Aceh ke 26 (1962), hal. 60.

2Ibid.

3Ibid.

3 Lihat Anthony Reid. The Blood of People. (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1979), hal. 20.

4A.J. Piekar. Atjeh en de Oorlog Met Japan. (Den Haag: W. Van Hoeve, 1949), hal. 17.

5 Lihat misalnya dalam J. Jongenjans. Land en Volk Van Atjeh Vroeger en Nu. (Baarn: N.V. Hollandia Drukkerij, 1939), hal. 261.

6A.J. Piekar, loc.cit.

7Ibid.

8 J. Jongejans. Op.cit., hal. 254.

10 De Deli Courant, Medan 9 Maret 1932.

11 Memorie van Overgave A. Ph. Van Aken, aftredend Gouverneur van Atjeh en Onderhoorigheden, Pebruari 1936, hal. 137. Mailr. 504 geh. 1936.
12 Algemen Verslag van Het Onderwijs in Nederlandsch – Indie Over Het Schooljaar 1933-1934. (Batavia: Landsdrukkerij, 1936). Hal. 71.

13 Welke Voertaal op de Atjehsche – Scholen”. De Telegraaf 19 Nopember 1939.

14 Ibid.

15 Lihat dalam I.J. Brugmans. Gaeschiedenis van het ondre-wijs in Nederlandsch Indie. (1938). Hal. 336 dan hal. 360.

16 Algemen Verslag van Het Onderwijs in Nederlandsch – Indie Over Het 72 Schooljaar 1933-1934.

17 “De Bezuinigingen bij het Onderwijs” De Deli Courant, Medan 29-1-1923. Juga lihat “Bezuiniging op Volkonderwijs in Atjeh”, De Deli Courant, Medan 18-1-1932.

18 Ibid.

19 Mailr. No. 667x/33.

20 Mailr. No. 835x/28.

21 Mailr. No. 130x/29.

22 Ibid.

23 A.J. Piekar, loc.cit.

24 Mailr. No. 130x/29.

25 Mailr. No. 959x/39.

Tidak ada komentar: