Oleh Rusdi Sufi
I
Tulisan ini mencoba membuat suatu kajian tentang salah satu sisi sejarah kota Banda Aceh yang hingga kini belum banyak mendapat perhatian di kalangan sejarawan akademis. Sisi yang dimaksud adalah tentang peran kota Banda Aceh sebagai pusat perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme di kawasan Selat Malaka.
Untuk merekonstruksi sejarah kota Banda Aceh, khususnya yang menyangkut periode-periode awal, merupakan suatu hal yang sulit. Hal ini disebabkan selain karena keterbatasan sumber-sumber yang tersedia juga karena kita dihadapkan kepada kesukaran dalam penggunaan sumber-sumber yang ada. Adapun sumber-sumber yang dimungkinkan untuk digunakan sejauh ini, yaitu beberapa historiografi tradisional 1 setempat dan sumber-sumber asing, baik berupa laporan-laporan maupun buku-buku yang ditulis oleh orang-orang Barat. Jika di satu pihak historiografi tradisional setempat di dalamnya mengandung pembauran antara unsur-unsur kebenaran dan unsur-unsur yang mitis legendaris, maka di pihak lain adanya berat sebelah serta tidak lengkapnya uraian yang berasal dari sumber-sumber asing. Oleh karena itu, dalam penggunaan kedua jenis sumber tersebut tentunya sangat diperlukan sikap yang kritis dan hati-hati, terutama dalam mengkaji fakta-fakta yang termuat di dalamnya.
Akibat adanya penetrasi kekuasaan asing dalam bentuk penjajahan atau penindasan, telah menyebabkan timbulnya perjuangan berupa perlawanan yang bertujuan untuk mempertahankan eksistensi bangsa yang bersangkutan. Jika kita menelusuri sejarah dari pada penetrasi kekuasaan kolonial di Kerajaan Aceh akan terlihat adanya dua kekuasaan yang menonjol yaitu yang dilakukan oleh bangsa Portugis dan yang dilakukan oleh bangsa Belanda. Dengan demikian juga telah timbul dua perlawanan menonjol yang dilakukan oleh masyarakat Aceh dalam mempertahankan eksistensinya, yaitu perlawanan menentang Conwuistador Portugis dan perlawanan terhadap kolonialis Belanda. Kedua perlawanan tersebut terjadi dalam ruang lingkup temporal yang berbeda, yaitu sejak awal abad ke XVI, perempatan pertama abad ke XVII dan akhir abad ke XIX atau pada saat kedatangan bangsa Portugis di kawasan Selat Malaka, masa kejayaan Kerajaan Aceh dan masa Belanda menyerang Kerajaan Aceh.
II
Berdasarkan hasil kajiannya atas beberapa sumber lokal (Aceh) yang diperbandingkan dengan sumber-sumber Barat Prof. Dr. Hoesin Djajadiningrat, berkesimpulan bahwa kerajaan Aceh Darussalam didirikan oleh Ali Mughayat Syah yang merupakan sultan pertama dari kerajaan tersebut pada sekitar 1514.2 Adapun ibukota kerajaannya bernama Bandar Aceh atau secara lengkap Bandar Aceh Darussalam.3 Berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam ini berkait erat dengan penaklukkan kota Malaka oleh bangsa Portugis pada tahun 1511, yang salah tujuannya ialah untuk menghancurkan perdagangan saudagar-saudagar Islam di kota itu.4 Penaklukkan ini berakibat timbulnya kegoncangan dalam jaringan perdagangan di kawasan Selat Malaka. Para pedagang Islam yang sudah secara tradisional berdagang di Malaka terpaksa menyingkir dari kota Bandar Aceh Darussalam. Oleh para saudagar Islam, kota ini hendak dijadikan sebagai pengganti Malaka, baik untuk tempat berdagang maupun tempat menyebarkan agama Islam. Hal ini dimanfaatkan oleh Ali Mughayat Syah untuk mendirikan Kerajaan Aceh Darussalam.
Setelah menduduki Malaka, pihak Portugis berusaha menguasai jaringan lalu lintas perdagangan di kawasan Selat Malaka dan meneruskan memerangi orang-orang Islam, lanjutan dari Perang Salib. Oleh karena itu, Selat Malaka menjadi tidak aman lagi bagi pedagang-pedagang Islam. Selain kota Bandar Aceh para pedagang Islam juga ada yang mendatangi kota Pelabuhan Pedir (Pidie) dan Pasai. Kedua tempat yang tersebut terakhir, rupa-rupanya menjadi incaran pula dari pihak Portugis. Mereka tidak menginginkan ada tempat-tempat lain di sekitar Selat Malaka yang berkembang menjadi saingan Malaka yang telah didudukinya. Oleh karena itu, terlebih dahulu Portugis mengirimkan armadanya ke Pedir dan Pasai. Rupa-rupanya di kedua tempat tersebut, karena tidak menunjukkan keagresifannya armada Portugis ini mendapat sambutan baik dari penguasa setempat, bahkan kepada mereka diberi hadiah-hadiah sebagai tanda persahabatan dengan kedua kerajaan itu.5 Khusus di Pedir, pihak Portugis berhasil pula memperoleh izin untuk mendirikan sebuah factorij (kantor dagang) milik mereka disana. Dan untuk memperkuat segi keamanan terhadap kantor ini oleh Portugis didirikan pula sebuah benteng di sekelilingnya.6
Bersamaan dengan kehadiran Portugis di Pedir, tentara Kerajaan Aceh menyerang Pedir dalam rangka memmbebaskan diri dari pengaruhnya dan untuk menyatukan Pedir dengan Kerajaan Aceh. Penguasa Pedir terpaksa meminta bantuan Portugis yang berada di sana untuk melawan serangan Aceh. Permintaan ini diterima, sehingga terjadilah kontak senjata pertama kali antara Aceh dan Portugis. Dalam kontak ini Aceh keluar sebagai pemenang dan sejak itu Pedir tunduk di bawah kuasa Aceh. Tentara Portugis yang tersisa terpaksa melarikan diri ke Malaka. Pada tahun 1915 pihak Portugis dipimpin oleh Gaspar de Costa melakukan penyerangan langsung ke ibukota Kerajaan Aceh. Namun penyerangan ini berhasil dipatahkan oleh pihak Aceh. Dua tahun kemudian (1521) kembali Portugis menyerang kota Bandar Aceh dan kali ini mengalami kegagalan, bahkan pimpinan mereka yang bernama Joge de Brito tewas dalam penyerangan itu.7
Setelah kejadian itu Aceh menganggap Portugis adalah agresor yang telah merusak keharmonisan jaringan perdagangan di kawasan Selat Malaka. Karenanya, Portugis harus diusir dari wilayah itu. Sebagai langkah awal, pada tahun 1524 Aceh melakukan pengejaran terhadap Portugis yang sedang berada di Pasai. Seperti halnya Pedir, Pasai yang memperoleh bantuan Portugis pada tahun itu juga disatukan menjadi bagian dari Kerajaan Aceh Darusssalam.
Pada tahun 1547 Aceh melakukan penyerangan pertama kali terhadap kedudukan Portugis di Malaka. Dalam penyerangan ini berhasil menenggelamkan dua buah kapal Portugis yang berada di Pelabuhan Malaka dan juga berhasil mendaratkan tentaranya di sana serta mengepung Portugis yang hanya bertahan di dalam bentengnya. Aceh mengultimatum penguasa Portugis yang berada di benteng yaitu Simao de Mello supaya menyerah kepada pihak Aceh.8 Namun sebelum hal ini terwujud, pihak Portugis telah mendapatkan bantuan yang datang dari Goa dan juga Kerajaan Johor. Dengan demikian, pasukan Aceh terpaksa menarik diri dari Malaka.
Karena Kerajaan Johor telah membantu pihak Portugis, maka pada tahun 1564 Aceh menyerang kerajaan itu dan berhasil mendudukinya. Sultan Johor terbunuh dalam penyerangan itu dan sejumlah tawanan dari Johor diangkut ke ibukota Kerajaan Aceh. Untuk beberapa tahun Johor menjadi vazal Kerajaan Aceh.9 Tindakan ini juga dimaksudkan oleh Aceh sebagai persiapan menyerang Portugis di Malaka, agar Johor tidak berkesempatan membantu Portugis seperti penyerangan tahun 1547. Sementara itu, Portugis memperbesar kekuatannya di Malaka dan mengatur persiapan untuk menyerang balas Kota Bandar Aceh. Don Antonio de Noronda penguasa Portugis yang baru untuk Malaka, dalam tahun 1564 telah memperoleh informasi tentang Aceh yang telah membentuk suatu persekutuan dengan beberapa kerajaan Islam untuk menentang Portugis.10
Langkah berikut yang ditempuh Aceh dalam rangka mengusir Portugis dari kawasan Selat Malaka adalah memperkuat angkatan Perang terutama armada lautnya. Hal ini dilakukan di bawah kuasa Sultan Alaudin Riayat Syah al Kahhar (1537-1571). Untuk tujuan ini, salah satu cara yang ditempuh adalah menjalin hubungan dengan kerajaan Islam terkemuka pada waktu itu, yaitu Turki. Dengan harapan kerajaan ini akan memberikan bantuan militer kepada Aceh. Pada tahun 1563 Sultan Aceh mengirimkan sebuah utusan ke Kerajaan Turki. Utusan tersebut membawa serta hadiah-hadiah berharga seperti emas dan lada untuk dipersembahkan kepada penguasa Kerajaan Turki.11 Setiba di Turki para utusan Aceh telah meyakinkan pihak Turki mengenai keuntungan yang akan diperoleh kerajaan itu bila orang Portugis dapat diusir dari Malaka oleh Aceh dengan bantuan Turki.12 Misi Aceh ini berhasil, karena pihak Turki telah bersedia mengirimkan bantuan militer kepada Aceh. Bantuan ini berupa dua buah kapal perang dan 500 personal Turki untuk mengelola kapal-kapal itu. Kelima ratus orang Turki itu terdiri dari ahli-ahli militer yang juga dapat membuat kapal-kapal perang dalam berbagai ukuran dan meriam-meriam besar. Selain itu, pihak Turki juga memberikan sejumlah meriam milik mereka dan perlengkapan-perlengkapan militer lainnya.13 Semuanya tiba di kota Bandar Aceh Darussalam pada tahun 1566/1567.14 Selain bantuan militer dari Turki, Aceh juga menggunakan sejumlah tentara sewaan yang terdiri dari selain orang Turki juga orang-orang Gujarat, Malabar, dan Abessinia.15
Pada tahun 1568, Kerajaan Aceh kembali menyerang kedudukan Portugis di Malaka. Serangan ini adalah yang paling hebat yang pernah dilakukan oleh Sultan Alaudin Riayat Syah al Kahhar. Dalam penyerangan ini, Aceh berkekuatan 15.000 orang Aceh, 400 orang Turki termasuk tentara sewaan dan menggunakan 200 pucuk meriam besar dan kecil yang terbuat dari tembaga.16 Penyerangan ini dipimpin sendiri oleh Sultan Alaudin Riayat Syah Al Kahhar.17 Namun pada penyerangan kali inipun Aceh belum berhasil mengeyahkan Portugis dari kota Malaka.
Setelah penyerangan yang dilakukan Aceh tahun 1568 itu, Portugis menginsafi benar bahwa membiarkan Aceh merebut Malaka, berarti membunuh diri bagi Portugis di Timur. Oleh karena itu diputuskan oleh pemerintahnya di Lisabon untuk mengirim suatu armada sekuat mungkin ke Malaka.18
Pada tanggal 1 Januari 1577 Aceh kembali menyerang Malaka di saat Portugis sedang menghimpun kekuatannya. Menurut I.A. Macgregor kekuatan Aceh yang menggempur Malaka kali ini ada sekitar 10.000 tentara dengan menggunakan meriam yang cukup banyak.19 Namun penyerangan kali ini pun belum memberi hasil bagi Aceh, yaitu mengusir Portugis dari Malaka.
Suatu hal yang unik terjadi di Aceh ketika memerintah Sultan Alaudin Riayat Syah al Mukammil (1587-1604). Sikap sultan ini terhadap Portugis berbeda dengan sultan-sultan Aceh lain sebelumnya. Sultan al Mukammil telah mengadakan suatu hubungan untuk berdamai dengan pihak Portugis di Malaka.20 Usaha sultan ini mendapat sambutan baik pula dari Portugis, sehingga pada waktu itu terjadi suatu situasi damai antara pihak Aceh dengan Portugis. Pada tahun 1600 suatu delegasi Portugis atas nama rajanya telah datang di Kota Bandar Aceh untuk mengadakan perundingan lebih lanjut.21
Mengenai sebab-sebab mengapa Aceh dan Portugis mau menjalin suatu hubungan baik, C.R. Boxer menyebutkan bahwa perubahan sikap kedua belah pihak yang sebelumnya saling bertentangan itu adalah disebabkan karena kejenuhan yang terus menerus melibatkan diri dalam peperangan-peperangan itu.22 Portugis ingin memanfaatkan masa damai tersebut untuk beristirahat dan untuk menyiapkan suatu serangan secara besar-besaran terhadap Aceh. Namun dari perkembangan situasi selanjutnya pihak Portugis benar-benar telah merubah maksudnya itu. Mereka rupa-rupanya tetap menginginkan suatu suasana damai dengan Kerajaan Aceh.23
Mulai hubungan baik antara Kerajaan Aceh dengan Portugis di Malaka dirintis ketika Sultan al Mukammil mengirim seorang utusan ke Malaka. Utusan ini membawa serta hadiah-hadiah dari Sultan Aceh untuk diberikan kepada penguasa Malaka pada waktu itu yang berada di bawah D. Paulo de Lima.24 Melalui tulisan ini Aceh mengucapkan selamat kepada Portugis yang telah berhasil menghancurkan Kerajaan Johor, yang pada waktu itu telah bermusuhan/dengan Portugis di Malaka. Utusan Aceh ini juga meminta kepada Portugis agar seorang wanita Aceh yang sedang ditahan oleh Portugis supaya dibebaskan. D. Paulo de Lima mengabulkan permintaan ini dan juga bersedia untuk menjalin suatu hubungan damai dengan Kerajaan Aceh.25
Sejak adanya perdamaian tersebut (1587), maka pihak Aceh tidak lagi melakukan penyerangan atas kapal-kapal Portugis yang lewat di perairan Aceh dan Selat Malaka. Kepada orang-orang Portugis juga diperkenankan untuk datang dan berdagang di kota Bandar Aceh Darussalam.
Situasi damai antara Aceh dengan Portugis tidak berlangsung lama. Pada tahun 1602 Sultan Aceh mulai menaruh curiga kepada Portugis, yaitu ketika mereka meminta kepada sultan agar diberikan suatu pulau yang terletak di depan pantai Aceh. Tujuannya adalah untuk mendirikan sebuah benteng di tempat itu, dengan alasan untuk menjamin keselamatan perdagangan Portugis di Aceh.26 Sultan Aceh tidak hanya menolak permintaan itu, tetapi juga merasa tersinggung karena diajukan dengan sangat angkuh.27 Sejak saat itulah Sultan Aceh merubah kembali sikapnya terhadap Portugis.28 Dan mulai saat itu pula terjadi lagi hubungan yang tidak baik antara Kerajaan Aceh dengan pihak Portugis.
Pada bulan Juni 1606 tentara Portugis di bawah pimpinan Martin Alfonso menyerang kota Bandar Aceh Darussalam. Pada waktu itu yang memerintah di Aceh adalah Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607), putra Sultan al Mukammil. Sultan ini mempunyai kemenakan yang bernama Darma Wangsa Tun Pangkat. Ketika Portugis menyerang kota Bandar Aceh si kemenakan ini berada dalam tahanan yang dihukum oleh pamannya karena suatu kesalahan.
Ketika mendengar adanya penyerangan yang dilakukan oleh Portugis ia memohon kepada pamannya agar dia dibebaskan dan diperkenankan ikut berperang melawan orang-orang Portugis. Permohonan ini dikabulkan dan selanjutnya Darma Wangsa Tun Pangkat bersama dengan tentara Aceh lainnya melakukan perlawanan terhadap Portugis. Tentara Aceh ini berhasil mengusir kembali orang-orang Portugis dari wilayah Kota Bandar Aceh Darussalam. Darma Wangsa Tun Pangkat yang telah berjasa karena keikutsertaannya dalam pertempuran-pertempuran melawan pihak Portugis itu, menjadi terkenal dan menarik perhatian orang-orang di kalangan kraton Aceh.29
Meninggalnya Sultan Ali Riayat Syah menurut Nuruddin ar Raniry pada hari Rabu 4 April 1607.30 Sebagai penggantinya adalah kemenakannya sendiri yakni Darma Wangsa Tun Pangkat dengan gelar Sultan Iskandar Muda.31 Di bawah sultan ini, Aceh tetap melakukan perlawanan dengan menyerang kedudukan Portugis di Malaka. Dan juga melakukan penaklukan-penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan Melayu di sekitarnya. Menurut N.J. Ryan penaklukan-penaklukan ini dilakukan dengan maksud memudahkan penyerangan yang akan dilakukan Aceh secara besar-besaran terhadap Malaka Portugis.32 Dengan harapan kerajaan-kerajaan Melayu tidak akan membantu pihak Portugis.33
Pada tahun 1615 Aceh melakukan akan suatu serangan terhadap Portugis di Malaka. Namun karena sebelumnya Aceh terlebih dahulu telah menyerang Johor dengan armada yang disiapkan untuk menyerang Malaka, maka berita penyerangan ini telah diketahui oleh Portugis,34 sehingga Aceh membatalkan maksudnya itu. Meskipun demikian, ketika armada Aceh ini dalam perjalanan pulang sempat juga terlibat dalam pertempuran dengan kapal-kapal Portugis di dekat kota Malaka.35
Penyerangan terhadap Portugis di Malaka baru dilakukan kembali oleh Aceh pada tahun 1629. Penyerangan ini merupakan yang terbesar. Karena untuk ini Aceh telah menggunakan sebuah armada yang telah lama dipersiapkam di kota Bandar Aceh Darussalam, sehingga merupakan sebuah armada yang cukup besar menurut ukuran waktu itu. Tidak kurang dari 250 buah perahu layar dan 47 kapal berukuran besar dengan sekitar 20.000 personal tenaga telah digunakan oleh Aceh dalam penyerangan tersebut. Namu dalam penyerangan kali ini pun Aceh mengalami kegagalan, sehingga menjadikan penyerangan ini yang terakhir yang dilakukan Aceh terhadap Portugis.36
Tahun 1873 Belanda menyerang Kerajaan Aceh. Sasaran pertama mereka yaitu kota Bandar Aceh karena disinilah pusat kedudukan Kerajaan Aceh dan pusat pertahanan rakyatnya. Dalam menghadapi penyerangan Belanda ini rakyat Aceh telah siap. Karena sebelumnya berbagai kegiatan dalam hubungan ini telah dilakukan di antaranya meningkatkan hubungan diplomatik dengan beberapa negeri luar dalam rangka memperoleh bantuan moral dan senjata dan meningkatkan pertahanan dengan mendirikan sejumlah kuta di kota Bandar Aceh dan sekitarnya. Di antara kuta-kuta dapat disebutkan kuta Meugat, kuta Pohama, kuta Musspi, kuta Gunongan dan kuta Raja (dalam atau istana). Selain itu, sebuah masjid lama yaitu mesjid Baiturrahman juga dijadikan untuk salah satu tempat pertahanan. Untuk menghadapi serangan Belanda ini, rakyat Aceh yang berasal dari luar Bandar Aceh, baik dari sekitar Bandar Aceh maupun dari kenegerian-kenegerian di luar Bandar Aceh seperti Samalanga, Meureudu, Pidie dan sebagainya, berdatangan ke kota ini untuk ikut berperang melawan Belanda. Tidak mengherankan jika penyerangan yang dilakukan Belanda pada tahun 1873 atas Kerajaan Aceh khususnya kota Bandar Aceh mengalami kegagalan.37 Namun dalam penyerangan Belanda pada kesempatan lainnya (1874) mereka berhasil mematahkan pertahanan-pertahanan penting rakyat Aceh yang terdapat di Bandar Aceh dan sekitarnya. Dapat disebutkan misalnya Mesjid Raya Baiturrahman, kuta Gunongan dan kuta Raja (dalam) dapat dikuasai oleh Belanda.
Dengan demikian, Belanda telah berhasil merebut pusat pertahanan rakyat Aceh dalam melawan mereka, yaitu kota Bandar Aceh Darussalam. Pusat pertahanan dalam melawan Belanda selanjutnya berpindah ke tempat-tempat lain dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh sekarang. Kota Bandar Aceh untuk seterusnya dijadikan oleh Belanda sebagai tempat kedudukan dalam mengamankan atau mendudukkan Aceh secara keseluruhan. Hasil ini berlangsung hingga tahun 1942 saat Belanda harus angkat kaki meninggalkan daerah ini untuk selama-lamanya.
III
Setelah pada bagian II di atas diuraikan tentang perlawanan-perlawanan yang dilakukan Aceh terhadap Portugis dan sedikit dengan Belanda. Berikut ini akan diberikan pula gambaran tentang situasi kota Bandar Aceh khususnya yang berhubungan dengan kegiatan pertahanan terutama dalam melawan Conquistador Portugis dan kolonial Belanda.
Di kota Bandar Aceh mengalir sebuah sungai yang bernama Krueng Aceh (kali Aceh). Di depan muara sungai ini yang jaraknya sekitar 3 km dari ibukota terdapat beberapa pulau yang membentuk sebuah teluk luas yang digunakan untuk tempat berlabuh beratus-ratus buah kapal pada saat yang bersamaan. Kapal-kapal yang berukuran 60 – 70 ton, baik kapal dagang maupu kapal perang/galley dapat berlayar melalui muara sungai Aceh menuju ibukotanya.38
Pada saat kejayaannya Kerajaan Aceh mempunyai suatu angkatan perang yang kuat menurut ukuran masa itu. Kekuatan terpenting terletak pada kapal-kapal galley yang dimiliki oleh armada lautnya dan pasukan gajah yang dipunyai oleh angkatan daratnya. Aceh pada itu memiliki lebih dari 500 buah kapal layar dan 100 buah kapal galley yang berukuran besar yang ditempatkan selain di kota Bandar Aceh juga pada beberapa pelabuhan besar lainnya seperti Daya dan Pedir. Kapal-kapal galley yang dimiliki Kerajaan Aceh dapat mengangkut 600 hingga 800 orang penumpang. Di antara kapal-kapal itu ada yang besarnya melebihi daripada kapal-kapal yang dibangun di negara-negara Eropa pada masa itu.39 Selain besarnya kapal-kapal itu juga mempunyai suatu tempat menembak di haluan depan yang dilapisi dengan kepingan-kepingan emas murni yang pada waktu itu banyak terdapat di Bandar Aceh.40 Gajah-gajah yang dimiliki Kerajaan Aceh merupakan kekuatan inti angkatan daratnya dan sebagai benteng kota sesungguhnya.41 Jumlah binatang ini pada masa jaya Kerajaan Aceh sekitar 900 ekor. Mereka telah dilatih sedemikian rupa, sehingga tidak takut lahi kepada api atau suara-suara tembakan, selain itu juga diajarkan cara-cara “penghormatan” yang dilakukan di halaman kediaman Sultan Aceh.42
Sultan Aceh juga memiliki tentara khusus sebagai pengawal istana yang langsung berada di bawah perintahnya. Mereka sebenarnya pasukan berkuda yang setiap saat mengadakan patroli, baik di sekeliling kraton maupun di dalam kota Bandar Aceh. Jumlah mereka sebanyak 200 orang. Dengan demikian, jumlah kuda yang ditungganginya juga 200 ekor.43
Dalam melakukan peperangan atau ekspansi Sultan Aceh tidak membutuhkan biaya banyak. Hal ini disebabkan karena tentara yang diperintahkan untuk maju ke meda pertempuran di seberang lautan telah menyediakan sendiri makanan atau pekerjaan bagi dirinya selama tiga bulan.44 Yang mereka terima dari Sultan Aceh hanya senjata-senjata, tetapi bila suatu ekspedisi melebihi jangka waktu yang ditetapkan melebihi yaitu 3 bulan, maka barulah Sultan Aceh menyediakan perbekalan untuk tentaranya. Setelah kembali dari suatu ekspedisi, senjata-senjata yang telah diberikan oleh sultan harus dikembalikan ke gudang persenjataan di Bandar Aceh.
Menurut Augustin de Beulieu yang mengunjungi kota Bandar Aceh pada tahun 1621 di kota ini terdapat 2000 pucuk meriam yang terdiri dari 1200 pucuk meriam berkaliber sedang dan 800 berkaliber besar, yang kesemuanya terbuat dari perunggu.45 Suatu hal yang sangat menguntungkan pasukann atau tentara Aceh pada waktu itu yaitu didapatkannya sedemikian banyak belerang di Pulau Weh yang terletak beberapa kilometer sebelah utara pantai Aceh dan pada sebuah gunung di dekat Pedir. Dengan adanya belerang ini memudahkan tentara Aceh membuat bahan-bahan peledak atau mesiu-mesiu bagi meriam-meriamnya di kota Bandar Aceh.46
Laporan lembaga pertahanan dan persenjataan Belanda pada tanggal 29 Januari 1874 (ketika Belanda telah berhasil merebut kraton Aceh) menyebutkan bahwa di kraton Aceh diketemukan berbagai jenis meriam yang tergeletak begitu saja di atas tanah.47 Lembaga Belanda tersebut membuat sebuah daftar mengenai hasil temuannya itu. Dari daftar tersebut kita dapat melihat dan mengetahui bahwa dalam suatu hari saja (khususnya tanggal 29 Januari) pihak Belanda menemukan meriam-meriam ini dalam jumlah yang lebih banyak lagi.
Dari uraian dan penggambaran di atas, jelas menunjukkan kepada kita bahwa kota Bandar Aceh dalam perjalanan sejarahnya pernah sebagai pusat pertahanan dalam melawan kolonialisme dan imperialisme.
Catatan Akhir:
Di antara Historiografi tradisional setempat yang dapat digunakan misalnyam “Hikayat Aceh”, “Adat Aceh”, dan “Bustanu’s Salatin”.
2R.A. Hoesein Djajadiningrat, “Critisch Overzicht van de in Maleische Werken vervatte Gegevens over de Geschiedenis van het Soeltanaat Atjeh”, BKI 65 (1911), hlm. 213.
3Lihat Teuku Iskandar, “De Hikajat Atjeh”, VKI 26, (1958). Hlm. 28.
4Mengani faktor-faktor yang mendorong bangsa Portugis datang ke Indonesia dan merebut Malaka, lihat Sartono Kartodirdjo, “Religious and economic aspects of Portuguese – Indonesian relations”, Separata de Studia-Revista Quadrimestral No. 29 (Lisboa: April 1970).
5C. Wessels S.J. “Portugeesen en Spanjaarden in den Indischen Archipel tot aan de komst an de O.I. Compagnie 1515-1605, di dalam F.W. Stapel (ed) Geshiedenis van Nederlandsch Indie deel II, (Amsterdam: 1938) hlm. 153.
6Benteng ini mungkin yang dinamakan Benteng Kuta Asan sekarang.
7Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh tahun 1520-1675. (Medan, 1972), hlm. 37.
8R.O. Winstedt, A History of Malaya, (London: 1935), hlm. 78.
9I.A. Macgregor, “A Portuguese Sea Fight Near of Singapore”, JMBRAS, Vol. XXIX, part 3, (1957, hlm. 6).
10Ibid., hlm. 7. Lihat juga D.G.E. Hall, A Histrory of South East Asia, (London: 1960), hlm. 284).
11Secara tradisi utusan ini di Aceh dikenal dengan kisah “Lada Sicupak”.
12 C.R. Boxer, “A Note On Portuguese Reactions to The Revival off The Red Sea Spice Trade and The Rise of Acheh, 1540-1600”, International Conference on Asian History, paper No. 2, (Kuala Lumpur: Department of History, University of Malaya, 5 th-10th August, 1968), hlm. 9.
13Ibid.
14Ibid.
15R.O. Winstedt, op.cit, hlm. 79.
16R.A. Hoesein Djajadiningrat, op.cit., hlm. 153.
17I.A. Macgregor, loc.cit.
18 Ibid.
19Ibid.
20C. Wessel S.J., op.cit., hlm. 159.
21P.A. Tiele, “De Europeers in de Maleische Archipel”, BKI 36 (1877), hlm. 16.
22C.R. Boxer, op.cit., hlm. 17-18.
23 Ibid.
24P.A. Tiele., Ibid., BKI 37 (1888), hlm. 177.
25 Ibid.
26 J. Langhout, Economische Staatkunde in Atjeh, (Den Haag, 1923), hlm. 12.
27P.J. Veth, Atchin en Zijne Betrekkingen tot Nederland, (Leiden, 1887), hlm. 71.
28Teuku Iskandar, op.cit., hlm. 42.
29A.J. Gerlach, Atjih en De Atjinezen, (Arnhem, 1873), hlm. 37.
30Nurrudin Ar-Raniri, Bustanus Salatin, disusun oleh T. Iskandar (Kuala Lumpur, 1966), hlm. 34.
31R.A. Hoesein Djajadiningrat, op.cit., hlm. 175.
32N.J. Ryan, Sejarah Semenanjung Tanah Melayu, (Kuala Lumpur, 1966), hlm. 54-55.
33Ibid.
34P.A. Tiele, op.cit., hlm. 306-307.
35Ibid.
36Uraian tentang pertempuran antara Kerajaan Aceh dengan Portugis di Malaka pada tahun 1629 dapat dilihat misalnya dalam T. Iskandar, op.cit., hlm. 47-48. R.A. Hoesein Djajadiningrat, op.cit., hlm. 180-181. Nurruddin Ar-Raniry, loc.cit. P.J. Veth, op.cit., hlm. 74. Mohammad Said, Atjeh Sepandjang Abad, (Medan, 1961), hlm. 169-173). Dan R.O. Winstedt, op.cit., hlm. 86.
37Cukup banyak literatur yang membicarakan peperangan antara Kerajaan Aceh dengan Belanda. Di antaranya dapat disebutkan karya Anthony Reid, The Contest for North Sumatra Atjeh, the Nederlands and Britain 1858-1898, (Kuala Limpur, University of Malaya Press, 1969). T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, (Jakarta, Sinar Harapan, 1986). E.S. Klerk. De Atjeh Oorlog, del I-II (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1912).
38Arun Kumar, Das Gupta, “Acheh in Indonesia Trade and Politics: 1600 – 1641”, uppublished Ph. D. Thesis, (Cornell University, 1962), hlm. 108.
39T. Braddel, “On The History ofe Achen”, JIAEA, Vol. V, (Singapore, 1851), hlm. 19. Lihat juga Denys Lombard Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), (Jakarta, Balai Pustaka, 1986), hlm. 113.
40H. Yule, “On Nothern Sumatera and Especially”, BKI VIII (1873), hlm. 72.
41Lihat Laporan Perjalanan Augustin de Beaulieu ke Aceh dalam J. Jacobs, Het Familie en Kampongleven op Groot Atjeh, (Leiden: E.J. Brill, 1894), hlm. 251. Lihat juga dalam Denys Lombard, op.cit., hlm. 117.
42Ibid.
43Ibid., hlm. 119.
44Lihat A.J.A. Gerlach, op.cit., hlm. 40.
45Deny Lombard, op.cit., hlm. 120.
46A.J.A. Gerlach, loc.cit.
47Beschrijving van den Kraton Groot Atjeh, (Batavia: Lands-Drukkerij, 1874), hlm. 14-16.
Lailatul Qadar
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar